Kreativitas Budi Darma dan Jalan Pedang Musashi
KEMPALAN : Sekira 3 minggu lalu saya membaca esai berjudul ‘Kreativitas’ yang ditulis oleh Budi Darma pada tahun 1981. Esai ini dishare oleh pemikir budaya Jil Kalaran di grup WA ‘Bulan Purnama’ salah satu WAG komunitas seni Bengkel Muda Surabaya.
Sebagian dari esai tersebut saya kutip begini:
Pada tahun 1967, seorang kritikus seni rupa dan sastra bernama Sir Herbert Read menerbitkan sebuah buku ‘Poetry and Experience’ (Horizon Press, New York) — Puisi dan Pengalaman.
Dalam buku ini dia mengatakan, bahwa kreativitas bukan kerja mudah. Dengan contoh-contoh yang banyak dan mantap dia berusaha menunjukkan, bahwa tidak sembarang orang dapat berkreasi, dan tidak semua orang yang dapat berkreasi dapat selamanya berkreasi.
Bagi orang-orang jempolan pun, kreasi merupakan perjuangan yang mahaberat dan mahahebat.
Selanjutnya dia menganjurkan kepada para seniman muda hendaknya mereka tidak gegabah. Dalam pandangan Herbert Read, banyak seniman muda dilanda oleh suatu penyakit, yaitu penyakit ingin menjadi seniman terkemuka, akan tetapi modalnya hanya dengkul.
Marilah kita melupakan Sir Herbert Read sejenak. Sekarang kita menengok ke buku lain, The Renaissance, yang diterbitkan pada tahun 1873 oleh seorang kritikus seni rupa dan sastra bernama Horatio Walter Pater. Buku ini mengenai jiwa dan semangat Renaissance.
Salah satu bagian buku ini yang penting adalah pembicaraan mengenai pelukis Leonardo da Vinci. Karya-karya pelukis ini bermutu tinggi dan abadi.
Lukisan-lukisannya, seperti misalnya : ‘Medusa’, ‘La FanoriĆ©re’, ‘Mona Lisa’, dan lain-lain, menunjukkan betapa besar kemampuan kreativitas pelukis ini. Mungkin kita akan terkejut kalau kita mengetahui, bahwa meskipun Leonardo da Vinci seorang pelukis, hampir dalam seluruh perjalanan hidupnya dia tidak pernah bersikap sebagai pelukis.
Pada waktu kecil dia suka berjalan-jalan seolah-olah tanpa tujuan di kota kelahirannya, yaitu Florence, sering membeli burung dalam sangkar dan kemudian melepaskannya, mengenakan pakaian norak, naik kuda binal, memainkan instrumen musik yang dibuatnya sendiri, dan sebagainya.
Menjelang dewasa, dia suka mencampur-campur cat tanpa tujuan untuk melukis. Kemudian dia suka memperhatikan gejala-gejala alam. Dia tahu mengapa sebagian bulan tidak bercahaya terang, dia tahu gerak-gerik air laut di daerah khatulistiwa, dia juga tahu bahwa gunung-gunung yang banyak kerangnya dahulu kala pernah menjadi bagian laut.
Pada waktu itu, yaitu abad kelima belas, dia sudah dapat meramalkan bahwa pada suatu saat kelak manusia akan dapat terbang, atau menciptakan alat untuk terbang. Pada waktu itu belum ada satu orang pun yang mempunyai pikiran sejauh itu kecuali dia, dan kecuali para tokoh dalam dunia mitologi.
Pada hari tuanya dia banyak bergaul dengan para ahli ilmu pengetahuan, seperti misalnya ahli matematika, ahli anatomi, dan lain-lain. Sikap dan gaya hidupnya bukan sebagai seniman, akan tetapi sebagai ahli ilmu pengetahuan. Dan memang dia banyak menulis buku mengenai ilmu pengetahuan, yang notabene juga banyak mempunyai pengaruh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.
Bagi Leonardo da Vinci, saat-saat kreativitas itu sendiri tidak begitu perlu. Yang lebih perlu baginya adalah proses yang dapat melahirkan kreativitas. Proses ini panjang. Dalam proses ini dia tidak diam, atau hidup tidak keruan serta eksentrik, akan tetapi bekerja keras.
Dia bekerja keras bukan untuk melukis itu sendiri, akan tetapi untuk memperkaya dirinya yang memungkinkan dia menjadi pelukis.
Dengan demikian, bekerja di sini tidak berarti melukis itu sendiri, akan tetapi menjadi seorang intelektual, yang selalu ingin tahu, selalu ingin menambah ketajaman pandangannya, dan selalu ingin menambah ketajaman otaknya.
Andai kata dia hanya melukis saja, mungkin dia tidak akan menjadi apa-apa. Baginya, belajar adalah lebih penting daripada melukis itu sendiri, sedangkan melukis itu sendiri baginya relatif mudah.
*
Postingan Jil yang juga dikenal sebagai sutradara film dokumenter ini lantas saya tanggapi begini :
Dalam konteks lain sehubungan dengan penjelajahan intelektual Leonardo da Vinci di luar karya-karya lukisannya, saya teringat Mushasi.
Memang tidak persis, tetapi esensinya sama, ada hal-hal di luar “core” yang mesti dilakukan untuk menunjang keutamaan sebagai pribadi yang pada akhirnya diperhitungkan.
Dia seorang samurai sederhana, ronin (tidak terikat kepada Tuan), unggul dalam seni pertarungan. Namanya dikenal hampir seluruh negeri, sehingga terdengar oleh samurai lain yang bernama Kojiro.
Dalam ilmu pedang, disebutkan bahwa Kojiro ilmunya setingkat di atas Mushasi.
Kojiro personal samurai yang dikenal ganteng, jenius, flamboyan, bergaul dengan kalangan elit, glamour, dan ada nuansa jumawa.
Kojiro rupanya cemburu dengan keterkenalan Mushasi. Lewat kaki-kaki tangannya, Kojiro menantang pertarungan samurai dengan disaksikan banyak orang. Tapi Mushasi selalu menghindar. Mushasi menyadari bahwa untuk saat sekarang dia tidak akan bisa mengalahkan ilmu pedang Kojiro.
Satu-satunya cara mengalahkan Kojiro adalah “menghantam” kelemahannya, yakni kejumawaan Kojiro. Dengan apa?
Melawan ‘kejumawaan’ adalah dengan hati yang tenang (orang Jawa bilang : ati menep). Jiwa yang bening.
Maka untuk mematangkan jiwa yang bening, Mushasi menghilang sekian waktu. Ternyata dia belajar apa saja untuk menunjang mematangkan jiwanya : belajar melukis, belajar upacara minum teh, belajar merangkai bunga, membantu petani bikin bendungan, dan lain-lain.
Pada awalnya, Mushasi adalah “korban” dari perceraian orangtua. Saat anak-anak dan ABG dikenal sebagai sosok liar, bengal, sulit diatur. Namun punya jiwa petarung.
Keliaran Musashi ini berubah setelah dia bertemu dengan Takuan Soho pendeta Buddhisme Zen. Di situ Musashi mendapat pencerahan spiritual yang pada akhirnya menjadikannya bijak.
Dan dari situ dia belajar menilai diri sendiri, termasuk pada akhirnya bisa menilai seberapa mampu dirinya menghadapi Kojiro.
Setelah dirasa
mendapatkan kematangan jiwa dengan mempelajari hal-hal di luar ilmu pedang, maka Musashi siap menghadapi tantangan Kojiro.
Di sebuah pulau, dan disaksikan ratusan orang –termasuk dari keluarga raja– hari yang ditentukan itu tiba.
Kojiro dengan gaya flamboyannya telah siap di pinggir panggung pertarungan dan yakin akan memenangkan dengan sekali gebrak.
Sementara di seberang pulau pertarungan itu, Mushasi sebelum berperahu dengan wanita pendayung (ibu Matahachi sahabatnya), menemukan dayung rusak.
Dalam perjalanan berperahu menuju pulau pertarungan, Musashi menyerut dan memahat dayung rusak itu membentuk pedang samurai kayu.
Maka, dengan tenang dan percaya diri, Mushasi naik ke panggung.
Dalam sublimasi ingatan saya, Kojiro saya persepsikan kaget, kok Mushasi cuma pakai pedang kayu.
Ketenangan jiwa Mushasi, rupanya bisa membaca Kojiro yang kurang konsentrasi. Maka sekali getok, retaklah kepala Kojiro oleh pedang kayu Mushasi.
*
Itulah narasi novel Mushasi karya Eiji Yoshikawa yang pernah saya baca di Harian Kompas selama 2 tahun (1983-1984).
Meski Kojiro ilmu samurainya setingkat di atas Mushasi, dia punya kelemahan: pribadi yang selalu jumawa. Orang macam begini, saya asumsikan kalah dengan orang rendah hati yang dibalut jiwa yang menep.
Kembali pada Leonardo da Vinci, kehebatan karya-karya seni lukisnya ternyata dimatangkan oleh intelektualitas dari banyak ilmu di luar an sich seni lukis.(Amang Mawardi).
