Kasus Korupsi Terus Bermunculan, Tegas atau Tebang Pilih?

waktu baca 4 menit
Prof. Dr. H. Sunarno Edy Wibowo, S.H., M.Hum. Guru Besar Universitas ASEAN dan pakar Hukum Pidana.

Oleh: Sunarno Edy Wibowo dan Hartoyo*

KEMPALAN: Rentetan kasus korupsi di awal tahun 2025 sungguh sangat menyesakkan dada. Bagaimana tidak, satu kasus korupsi ditangani, kasus lainnya muncul. Semua kasus ini terindikasi masif dan terstruktur. Baru saja kasus timah selesai, muncul kasus Pertamina. Belum tuntas, muncul lagi kasus emas palsu. Ironisnya, semua kasus ini telah berlangsung bertahun-tahun sebelum akhirnya terbongkar.

Pertanyaannya, ke mana saja para penegak hukum di era Jokowi? Mengapa kasus-kasus ini baru terungkap sekarang? Belum lagi kasus demi kasus yang melibatkan Kejaksaan Agung. Seperti ada keraguan dalam menangani kasus Pertamina, misalnya. Awalnya, minyak oplosan disebut dalam rilis resmi, tetapi tiba-tiba bahasanya diubah menjadi “minyak yang di-blending.”

Apa Kata Pakar Hukum?

Lalu, bagaimana pendapat para pakar hukum tentang carut-marut kasus korupsi ini? Prof. Dr. H. Sunarno Edy Wibowo, S.H., M.Hum., menilai ada ketidakseriusan penegak hukum dalam menangani kasus korupsi. Ia menyoroti adanya kesan tebang pilih dalam proses hukum, di mana beberapa kasus akhirnya jalan di tempat.

“Contohnya kasus DPRD Jawa Timur. Hingga kini, yang ditahan hanya Wakil Ketua DPRD dari Partai Golkar, Sahat. Sementara itu, tersangka lainnya belum diproses lebih lanjut meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka,” ungkap Prof. Bowo, panggilan akrabnya.

Menurutnya, integritas, transparansi, dan kesungguhan sangat dibutuhkan dalam penanganan kasus-kasus ini. Ia juga menyoroti kasus Bank Jawa Barat (BJB) yang menyeret nama Ridwan Kamil. “Kasus ini sudah digeledah, ya segera tuntaskan, jangan mandek seperti kasus Khofifah. Setelah digeledah, tidak ada kelanjutannya,” katanya.

Dalam kasus Pertamina, Prof. Bowo menegaskan bahwa para pelaku harus dijerat dengan pasal berlapis, termasuk Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). “Ini menyangkut uang besar, mencapai Rp1,9 kuadriliun. Kemana uang itu mengalir? Siapa saja yang menerima? Apakah legislatif, yudikatif, atau aparat pejabat lainnya? Semua ini harus diusut agar uang tersebut bisa kembali ke negara,” tegasnya.

Menurutnya, rakyatlah yang menjadi korban dari semua skandal ini. Jika para penegak hukum benar-benar membela kepentingan rakyat, maka mereka harus membuktikannya dengan tindakan nyata, bukan sekadar wacana.

“Saya tegaskan, hukum harus ditegakkan berdasarkan KUHP, bukan kepentingan politik. Jika hukum dijadikan alat politik, negara ini bisa hancur,” pungkas Prof. Bowo dalam wawancara dengan Kempalan.

Senjata Politik dalam Kasus Korupsi Tanah

Sementara itu, Dr. Hartoyo, S.H., M.Hum., menyoroti maraknya kasus korupsi tanah. Menurutnya, kasus-kasus ini sebenarnya sudah lama terjadi, tetapi sering dimainkan sebagai senjata politik oleh penguasa.

Hartoyo saat bersama Todung Mulya Lubis

“Kita semua tahu, meskipun bukan pakar hukum, bahwa ada korupsi dalam kasus-kasus tersebut. Namun, masih saja ada upaya menutup-nutupinya,” ujar Hartoyo yang beberapa tahun lalu berhasil menuntaskan pendidikan S3 di Unair Surabaya.

Ia mencontohkan kasus timah yang telah berlangsung lama, tetapi baru terungkap pada akhir 2024. “Vonis awalnya hanya 6 tahun, padahal dugaan kerugian negara mencapai ratusan triliun rupiah. Baru setelah Presiden Prabowo menginstruksikan agar hukuman diperberat menjadi 50 tahun, barulah Mahkamah Agung mengubah putusan menjadi 20 tahun penjara. Di mana letak keadilan?” tanyanya.

Menurut Hartoyo, pemerintah harus serius dalam menegakkan hukum secara adil dan tanpa tebang pilih. Kasus-kasus yang masih terkatung-katung harus segera dituntaskan agar ada kepastian hukum.

“Contohnya kasus DPRD Jatim, sampai sekarang belum ada kejelasan. Jika semua kasus hukum diselesaikan dengan tuntas dan berkeadilan berdasarkan KUHP, maka negara ini akan makmur,” ujar Hartoyo, yang pernah menjabat sebagai anggota DPRD Jawa Timur selama dua periode.

Kesimpulan

Rentetan kasus korupsi di awal 2025 menunjukkan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih penuh tanda tanya. Transparansi dan kesungguhan dalam menangani kasus-kasus ini menjadi sorotan utama. Jika hukum terus dijadikan alat politik dan penegakannya tebang pilih, maka keadilan akan semakin jauh dari harapan rakyat. (Moy)

Editor: Nur Izzati Anwar (Izzat)

*Prof. Dr. H. Sunarno Edy Wibowo, S.H., M.Hum. Guru Besar Universitas ASEAN dan pakar Hukum Pidana.

*Dr. Hartoyo.SH.MH. pengacara senior dan pemerhati hukum.

BACA LAINNYA

Negeri Oplosan

Kempalan News
0
0

Bendungan Hasto

Kempalan News
0
0
0

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *