Situs Wisata Surabaya Kota Lama Menyita Perhatian Saya

waktu baca 3 menit
Gedung Cerutu di Jalan Rajawali, Surabaya, di seberang samping Gedung Internatio, kawasan Surabaya Kota Lama. (Foto : AM).

KEMPALAN : Tiba-tiba jelang tidur Selasa malam, saya kok pingin me-review pengalaman mendatangi Surabaya Kota Lama Minggu sore sampai malam pada 26 Januari lalu.

Pertama-tama saya simpulkan bahwa “situs” ini cocok untuk usia balita sampai lansia.

Ada tempat sangat luas di square depan Gedung Internatio, menyenangkan untuk balita berlarian kesana-kemari. Juga cocok untuk anak-anak : mungkin main layangan atau scate board.

Yang ABG hingga remaja cocoknya mungkin di Jl. Rajawali dan Jl. Kasuari yang ada hamparan trotoar luas itu.

Sore dan malam hari disitu dipenuhi sosok-sosok se-usia mereka dengan outfit lintas mode, meski hujan masih menyisakan rintik lembut.

Mereka aksi foto-foto, jalan-jalan santai, atau ngobrol sambil berdiri.

Saya lihat juga beberapa dari mereka ada yang jumlahnya 4-5 orang, mengenakan pakaian seragam tradisional Suroboyo (cak & ning). Saya perkirakan nyewa di jasa persewaan pakaian tradisional dan Eropa yang ada di sekitar situ.

Di antara mereka (saya lihat sepasang remaja) yang menyewa juru foto yang banyak terdapat di situ, mungkin untuk keperluan pre weding. Sebab, salah satu dari pasangan tersebut memegang seikat kembang.

Sedangkan banyak pasangan keluarga dewasa usia 40-an dengan 1-2 anak, berjalan santai di plaza terbuka yang dulu kalau gak salah namanya Taman Jayengrono.

Di bagian selatan taman ini, dekat trotoar Jalan Rajawali terdapat replika mobil sedan kuno (sepertinya 1:1) yang dulu aslinya pernah dipakai Brigjen. AWS Mallaby yang tewas dalam “Perang 100 Hari” yang lantas melahirkan “10 November” yang patriotik lejen itu.

Sedangkan bagi saya yang sudah di atas 70 ini yang cocok ya bukan jalan kaki mengitari situs kota lama yang luasnya sekitar 4 kilometer persegi, tapi naik jeep yang dimodifikasi seperti odong-odong. Meski ada juga Jeep Willys yang masih dibiarkan asli untuk disewa mengitari kota lama tersebut.

Kalau misalnya memaksa jalan kaki, mungkin bisa gempor, atau mengganggu jantung saya yang gampang ngos-ngosan ini.

Kalau gak, ya cukup duduk santai di bangku-bangku yang ada di square.

Atau bisa jelajah kuliner di hamparan kaki-lima depan Jembatan Merah Plaza, persisnya di pinggir utara di Jalan Garuda.

Harganya memang sedikit lebih mahal dari harga pasaran. Saya sempat nge-bakso yang saya perkirakan di luar Rp 15.000 per porsi, di situ Rp 20.000. Saya anggap wajar. Mengingat ini kawasan wisata.

Harganya tidak “nggodam” sekian kali lipat sebagaimana berita viral berkali-kali di Puncak, Jabar, sana.

Atau kalau pingin ngirit kenapa tidak bawa bekal dari rumah?

Saat berwisata ke situs kota lama itu dengan jeep odong-odong, di beberapa titik banyak saya lihat pujasera yang dipenuhi pengunjung.

Sejak 2 tahun terakhir, saya dan istri sering “ngawal” cucu diajak mantu dan salah satu anak saya.

Kalau diajak walking-walking ke mall, kami –saya dan istri– selalu absen. Enggak ikut. Tapi kalau ke yang non-mall, seringkali ikut.

Hampir semua taman dan area bermain di Surabaya yang gratis tersebut, pernah kami datangi : Taman Bambu Keputih, Taman Jeruk dekat Pondok Maritim, Taman Bungkul, Taman Surya, dan masih banyak lagi yang jumlahnya puluhan yang dibangun pada era Walikota Tri Rismaharini.

Dari yang pernah saya kunjungi itu, nah situs wisata Surabaya Kota Lama paling menyita perhatian saya. (Amang Mawardi).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *