Orang Baik di Kota Lama Surabaya

waktu baca 6 menit
Saya dan istri siap-siap naik jeep odong-odong, menikmati wisata Kota Lama Surabaya. (*)

KEMPALAN : ‘Kota Lama Surabaya’, Minggu 26 Januari 2025, sekitar pukul 20.00. Gerimis sejak 17.00 di kawasan itu masih belum usai, meski sudah tak segemiricik 1-2 jam sebelumnya.

Saya dan istri duduk di tribun kecil di bagian paling timur “kota” itu depan Jembatan Merah Plaza (JMP).

Sesungguhnya tribun ini menghadap jalan raya yang mengarah parkiran JMP.

Di sebelah timur jalan itu, sekira 75 meter, membentang Kalimas yang arusnya dari selatan menuju muara di utara.

Tribun ini terdiri dari 4 undakan. Sekira 4 meter di atas undakan paling tinggi (sebut saja undakan nomor 1), bertengger atap semacam fiber glass warna gelap, atau boleh jadi aluminium warna coklat tua. Dengan demikian orang yang duduk di tribun situ tidak akan kehujanan atau kepanasan.

Eits, tapi nanti dulu. Kami tadi sebelumnya berusaha duduk di undakan paling bawah, undakan ke-4. Namun, hujan yang tidak deras itu rasanya terasa menjatuhi pakaian yang kami kenakan dan sebagian airnya menampias orang-orang yang duduk di undakan ke-3 maupun ke-4 dari atas.

Yang saya maksud undakan ke-1 yang paling dipayungi oleh atap tribun itu adalah yang sejajar dengan ruang terbuka luas (square) — semacam plasa (tanpa atap), di mana di barat dan selatan square terhampar gedung-gedung tua yang dibangun pada era kolonial Belanda. Di antaranya yang terkenal dengan sebutan Gedung Internatio, terletak di Jalan Rajawali.

Sedangkan untuk naik ke undakan nomor 1 yang persis di bawah atap itu, jelas tidak mungkin. Energi saya dan istri rasanya sudah tak mampu. Usia kami (saya 71, istri 70), sudah tidak sanggup mengangkat beban berat masing-masing tubuh kami. Agaknya otot-otot kami mulai mengkerut. Lebih-lebih tubuh ‘Bu Istri’ yang 75 kilogram.

(Mungkin orang-orang banyak yang tidak sreg jika istrinya over weight. Tapi saya biasa-biasa. Bahkan malah senang, menandakan kalau saya openi).

Di balik over weight itu, istri saya tak idap hipertensi, diabetes, kolesterol, asam urat, katarak, dan sekian banyak penyakit degeneratif. Apa karena efek setiap sore minum kopi?

Berbeda dengan tubuh saya yang kurus, yang ternyata diendoni hipertensi, lemah jantung, prostat (telah dioperasi), dan katarak (2 mata sudah operasi, yang kiri pernah buta tapi bisa diselamatkan 30%).

Sehingga pernah pada suatu waktu, saya bilang begini ke ‘Bu Istri’ : “Buk, lek ndelok tanda-tandane, kelihatannya aku yang akan ‘berangkat’ duluan…”

Istri menjawab pelan, “Hais…jangan bilang gitu…,” sembari masih menatap layar HP. Ini saya ucapkan ketika kami leyeh-leyeh di kamar belakang, kamar kami — saat santai jelang tidur malam.


Terpaksa untuk sampai undakan ke-1 agar tak kehujanan, kami berjalan sedikit memutar, menaiki undakan menuju square yang kimiringannya tak setajam undakan di tribun.

Maka sampailah kami pada undakan nomor 1 yang elevasinya sejajar dengan square tersebut. Akhirnya kami bisa mencegah pakaian tidak lebih basah.

Untung masih ada dua tempat tersisa kira-kira untuk dua orang.

O ya, dudukan semen di undakan ke-1 ini menghadap dua arah: ke barat hadap square, timur ke jalan mengarah parkiran JMP, yang di pinggiran jalan tersebut malam itu diparkir 3 jeep panjang — dimodifikasi mirip odong-odong, digunakan untuk trip ‘kota lama’ seputar setengah jam.

Tadi kami naik jenis odong-odong yang terdiri dari tiga deret kursi berjok (termasuk deret dengan jok mas driver). Masing-masing deret jok bisa diisi 3 orang.

Sepertinya tribun kecil ini dibangun sebagai tempat duduk untuk menunggu jeep odong-odong berangkat memutari situs ‘kota lama’.

Untuk naik odong-odong ini per orang dikenakan Rp. 20.000.

Di undakan nomor 1 duduk remaja ABG dengan mode kekinian sekitar 10 orang, hadap ke arah square. Salah satu dari mereka –seorang pemuda– memegang (semacam) pipa kecil sekira semeter yang ujung atas pipa itu dihiasi bendera merah-putih. Saya menduga dia adalah tour leader, ditandai dengan mode pakaian yang dikenakan agak “kuno”.

Tadinya kami hadap square, tak lama kemudian posisi kami ubah balik arah hadap ke timur ke parkiran tiga odong-odong yang ngetem nunggu penumpang.

Di sebelah kanan saya duduk seorang laki-laki, saya perkirakan 30-an tahun, mengenakan kaos oblong hitam, celana gelap yang ujungnya ditekuk beberapa lipatan untuk menghindari cipratan air hujan, dan pakai topi yang ada sosorannya. Di bahu kanannya bertengger kaos oblong hijau (sepertinya baru), disampirkan begitu saja. (Catatan tambahan : pemuda tadi tak mengenakan alas kaki).

Anak muda ini saya kesankan ramah.

“Bapak nunggu jeep berangkat?”, sambil tangannya menunjuk parkiran odong-odong.

“Enggak, Mas. Saya nunggu jemputan mobil anak (mantu) saya.”

Ya, mantu dan anak ragil (cewek) serta anak mereka (cucu kami), sedang ambil mobil sekalian mau gantiin baju cucu kami itu yang sedikit basah, dimana bekal sejumlah pakaiannya ada dalam tas di mobil. Mereka tadi juga se-odong-odong dengan kami.

Sekitar 10 menit saya dan pemuda tadi berdialog tentang seputar ‘kota lama’. Sepertinya orang muda ini paham kawasan wisata yang diresmikan Cak Eri Cahyadi Walikota Surabaya pada 3 Juli 2024 itu.

Lantas : “Mas-nya tour leader?”

“Bukan, Pak. Saya petugas taman.”

Di square itu di titik-titik tertentu banyak dihiasi rerimbunan dan tetanaman hias.

Jujur saya simpati pada sosok ini. Sekaligus empati.

‘Bu Istri’ yang duduk di sebelah kiri saya, saya bisiki : “Buk, onok duik dua puluh ribu…”

Lantas istri dan ibu dari 3 anak saya ini membuka tas cangklongnya, mencari dompet, dan membukanya. Rupanya kesulitan menemukan lembaran hijau yang saya inginkan. Mungkin salah satunya karena lampu penerangan disitu sinarnya tidak cukup untuk menyoroti isi dompetnya dalam tas cangklong.

Saya dan ‘petugas taman’ tadi masih tetap melanjutkan ngobrol.

Lima menit kemudian istri saya nyeletuk: “Pak, mobile wis teko.”

Saya lihat kendaraan SUV coklat buatan tahun 2004 yang kami beli tahun 2009, terlihat sedang parkir di belakang jeep odong-odong.

“Mas, pamit ya,” kata saya seraya berusaha membuka payung, tapi tidak juga terbuka. Memang agak rusak.

“Maaf, Pak,” kata pemuda tadi berusaha mengambil alih payung yang saya pegang dengan sopan yang lantas dibukanya. Saat itu saya dan istri dalam posisi berdiri, akan bersegera menuruni undakan yang tidak tajam (bukan undakan tribun).

Karena gerimis masih gemericik, saya lupa ambil alih payung yang dipegang Mas ‘petugas taman’. Kami cepat-cepat menuruni anak tangga itu, yang ternyata kami dipayunginya.

Masih dengan nafas ngos-ngosan, di depan pintu mobil tengah yang sudah dibuka, saya bilang ke anak ragil saya yang duduk di jok tengah itu dengan lirih, “tolong 20 ribu.” Anak saya paham maksud saya.

Tapi pemuda yang memayungi kami itu segera bilang : “Bapak dan ibu segera masuk (ke mobil) … nanti tambah basah (bajunya)…”

Ketika 20 ribuan mau saya ulungkan, pemuda tadi bilang: “Sudah…sudah… Gak usah, Pak. Terima kasih… ,” pelan tapi tegas, dan masih tetap dengan gesture ramah.

Saya yang lantas duduk di kiri mantu saya yang nyetir yang melajukan mobil ke arah selatan masih kepikiran, kenapa saya tidak tegas melawan penolakan anak muda tadi.

Tiba-tiba muncul pertanyaan dalam hati : siapa sesungguhnya dia? Kenapa bisa demikian rendah hati dan terkesan pintar ? Sementara wajahnya –maaf– terlihat ndeso. Jangan-jangan intel yang menyamar ‘petugas taman’. Bukankan area ‘Kota Lama Surabaya’ jika malam terlihat makin sepi dan ini tentu butuh pengamanan yang solid.

Sedangkan kawasan wisata ini buka 24 jam, dari pukul 00.00 hingga 00.00 setiap hari, sebagaimana saya baca di google.

Namun, pikiran saya coba netralkan. Mengarah logika paling pas.

Bisa jadi sosok menyenangkan ini memang petugas taman. Kalau terkesan pintar, mungkin lulusan S1 yang terpaksa jadi tukang kebun karena susahnya dapat kerja sesuai disiplin ilmu kesarjanaannya. (Amang Mawardi).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *