KH Syaiful Ulum Nawawi dan Pondok Pesantren Darul Ibadah Al-Baiad

waktu baca 5 menit
KH. Syaiful Ulum Nawawi, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Darul Ibadah Al-Baiad, Pandugo, Surabaya. (Foto : Istimewa).

KEMPALAN : Siang itu, Kamis 16 Januari 2025, sekitar pukul 10.30, cuaca Surabaya bagian timur, disuasanai mendung ringan. Angin semilir mendesir. Udara cenderung sejuk.

Ir. Bambang Wahyudi M.Sc. menjemput ke rumah saya dengan sedan warna hitam, elegan.

Saya sudah siap di teras rumah. Tampak sosok ramah itu berbaju lengan pendek putih bersih, bercelana gelap. Di “mahkota” kepalanya bertengger topi bareta warna krem.

Saya yang segera menutup pintu kecil pagar, cepat-cepat menghampiri mantan Dekan Fakultas Teknik Industri Universitas Pembangunan Nasional, Surabaya, ini.

“Monggo Pak Bambang,” ujar saya kepada Ketua Yayasan Pondok Pesantren Darul Ibadah Al-Baiad, Pandugo, Surabaya, yang saat itu berdiri di depan pintu pagar besar rumah saya.

Dengan segala maaf, saya membatin, tidak menyilakan beliau masuk rumah, mengingat kami segera menjumpai sosok yang akan kami wawancarai sesuai kesepakatan waktu.

Beliau pun segera membuka pintu mobil yang diparkir di depan rumah tetangga, sebelah kanan rumah saya.

Selanjutnya saya memasuki mobil premium tersebut, duduk di belakang dashboard.

Tak lama kemudian, hawa sejuk dari AC mobil segera memenuhi kabin.

Dengan berusaha sesantai mungkin untuk tidak menunjukkan ke- ndesit-an, saya pun mengamati outfit Pak Bambang pagi jelang siang itu, yang duduk di belakang kemudi dengan santai.

Tampak warna sepatu sandal yang dikenakan serasi dengan topi baretanya: krem. Sementara di pergelangan tangan kiri melingkar ngepres gelang tasbih warna hitam. Sedangkan di pergelangan lengan kanan melingkar arloji warna hitam yang “seirama” dengan warna gelap celana beliau.

Dalam hati saya mencoba membanding-bandingkan dengan arloji warna “monel” yang ada di tangan kiri saya, boleh jadi harga arloji saya tidak ada sepersepuluh dari harga arloji beliau. Juga mungkin, harga mobil minivan saya yang saya parkir depan rumah dan saya selimuti, tak ada sepersepuluh dari harga mobil sedan premium beliau.

Memang kali ini agak surprised. Saat pertama kali ke rumah saya sekitar sebulan lalu, beliau mengenakan kaos polo abu-abu, celana gelap, bersandal, dan “hanya” bersepeda-motor scopy. Dan, ini agaknya menjadi ciri khas beliau : topi bareta warna krem.

Namun, kesamaannya, kebersihan tubuh dan outfit-nya memadu serasi. Sosok ayah 4 anak dan 3 cucu ini, terlihat sehat dan segar kendati usianya memasuki 65 tahun.

“Wuih…panjenengan pagi ini terlihat bergas sekali, ya…” kata saya membuka percakapan saat sedan keren ini keluar dari kompleks perumahan di mana saya tinggal. Bergas adalah kosakata Bahasa Jawa yang artinya kurang lebih ‘parlente’.

Ucapan saya ini dibalas dengan senyum. Tampak beliau hati-hati menanggapi sanjungan yang barusan saya lontarkan. Sikap hati-hati ini ditunjukkan dengan diam sesaat setelah menyunggingkan senyum tersebut, disusul gesture netral.

Lantas : “Terima kasih, Pak Amang”, dengan pelan, menyiratkan keramahan.

Mobil lantas diarahkan ke arah utara. Kemudian berhenti sejenak di trafick light depan Mc Donald, Rungkut Madya. Semenit kemudian lampu hijau nyala, mobil dibelok kanan ke arah MERR (middle east ring road).

Kurang lebih 10 menit sampailah kami di kampung yang kendati cukup padat, namun terlihat bersih. Rumah-rumah warga di situ semuanya berbentuk bangunan-bangunan tembok dan banyak yang bertingkat.

Dari mulut Jalan Pandugo I ke lokasi yang kami tuju yakni Pondok Pesantren Darul Ibadah Al-Baiad, kira-kira 100 meter.

Sedan diparkir Pak Bambang di pinggir jalan, sisi timur. Saya yang keluar lebih dulu dari mobil itu, lantas menghadap ke arah utara, di belakang mobil.

Setelah menjejeri saya, beliau menunjuk bangunan di sebelah kiri. “Ini pesantren untuk putra, Pak Amang,” ujarnya. Kemudian : “Dan ini, pesantren untuk putri,” lanjut Pak Bambang seraya tangan beliau menunjuk arah kanan.

Kesan saya sesaat setelah mengamati kedua bangunan dan lingkungan yang ada di kiri dan kanan saat kami menghadap ke utara tersebut : Bersih. Bahkan sangat bersih.

Saat sekian wawancara tertulis saya dengan ulama dan ustaz yang banyak memberikan kajian-kajian tasawuf ini sebelumnya, dalam bayangan saya bahwa pondok pesantren yang bangunannya seluas 600 meter persegi dengan menempati lahan seluas 1.000 meter persegi ini, bernuansakan pondok pesantren di pedesaan. Sederhana. Dan, maaf, agak kurang bersih —
ternyata ekspektasi saya dijungkir balik.
Kompleks pondok ini jauh dari bayangan saya itu. Ternyata sangat bersih. Dan suasana adem ayem langsung menyergap saya.

Rupanya yang hendak kami temui ada di bagian pesantren putri. Sebuah ruangan cukup luas yang mengesankan dominasi warna krem dan hijau muda, merasuk di ruangan ini yang mencitrakan sebuah kantor.

Tentang KH. Syaiful Ulum Nawawi pendiri dan pengasuh pondok pesantren tersebut sebagaimana saya ketahui, pada awalnya saya kenal yaitu sekitar 6-7 tahun lalu — pernah saya ikuti kajian-kajian tasawufnya, yakni : 3 kali di Masjid Muqimmudin, Perumahan Kosagra; 1 kali di Masjid Al Wahyu, Rungkut Menanggal Harapan; dan 1 kali di kediaman santri jamaah beliau, Perumahan Rungkut Harapan — ketiganya berada di kawasan Surabaya Timur.

Saat memasuki kantor tersebut, tampak KH Syaiful Ulum Nawawi, dan 2 orang lagi yang sebelumnya saya tidak kenal. Mereka bertiga duduk lesehan di karpet.

Di hadapan beliau-beliau terdapat dua meja tamu. Tampak di meja-meja tersebut terhidang selain aqua-aqua dalam gelas plastik, juga beberapa piring yang di atasnya tersaji jajanan : bakwan (orang Surabaya bilang ‘ote-ote’), lumpia, brownies, irisan-irisan pepaya sedikit lebih besar dari ukuran dadu, serta sejumlah hidangan lainnya.

Pak Kyai mempersilakan kami duduk dengan ramah. Outfit beliau siang itu terlihat sederhana : kopiah hitam, kaos berkerah (mungkin semacam seragam iven) karena ada tercetak beberapa kata di situ, dan sarung.

Kemudian Pak Kyai memperkenalkan 2 orang tamu yang hadir sebelum kami tersebut, dimana saya duga sebagai santri jamaah beliau, yaitu Pak M. Susiono (76) dan Pak Moch Khamdi (75).

Kendati usia kedua beliau ini jauh di atas saya yang masih 71, beliau-beliau menampakkan sosok dan wajah yang tampaknya lebih muda dan sehat dibanding saya. (Amang MawardiBersambung).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *