Otak Busuk, Politik Busuk
Oleh: Dhimam Abror Djuraid*
KEMPALAN: Ada fenomena baru di dunia digital yang disebut sebagai ‘’brain rot’’ otak busuk. Fenomena ini muncul akibat terpaan yang berlebihan oleh konten digital terhadap otak manusia. Saking derasnya terpaan gelombang informasi yang tidak tersaring menyebabkan otak menjadi membusuk.
Era digital yang serba cepat menjadikan manusia kewalahan oleh tsunami informasi yang tak henti-hentinya. Perasaan lesu, sulit fokus, dan penurunan produktivitas menjadi hal yang umum dialami banyak orang, Fenomena ini dikenal dengan istilah “brain rot” atau pembusukan otak.
Fenomena ini menggambarkan kondisi otak yang seolah-olah “membusuk” akibat paparan berlebihan terhadap konten digital yang tidak bermakna atau bahkan merusak. Otak menjadi “tumpul” atau “berkarat” akibat konsumsi informasi yang berlebihan dan tidak mekanisme penyaringan. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan dalam memproses informasi, mengurangi kreativitas, dan menurunkan kemampuan berpikir kritis.
Dunia politik Indonesia mengalami fenomena yang nyaris sama. Political rot, pembusukan politik terjadi secara pelan, tapi semakin nyata. Dalam 10 tahun terakhir para ahli politik menengarai terjadi pembusukan yang sistematis.
Puncaknya adalah penobatan Jokowi sebagai ‘’the most corrupt leader’’, pemimpin paling korup di dunia. Pembusukan demokrasi selama masa kekuasaan Jokowi menjadi dasar bagi penetapannya sebagai tokoh korup dunia.
Fenomena pembusukan masih terus berlangsung. Beberapa hari terakhir masyarakat disodori munculnya peristiwa yang menjadi indikator pembusukan politik. Ada pagar laut misterius membentang sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten. Pemerintah daerah maupun pusat mengaku tidak tahu siapa pemilik pagar ilegal tersebut.
Pagar tersebut berbahan bambu atau cerucuk dengan ketinggian 6 meter. Para nelayan mengalami kesulitan mencari ikan karena keberadaan pagar misterius itu. Rentangnya meliputi 6 kecamatan.
Pagar misterius itu terbentang di zona pelabuhan laut, zona perikanan tangkap, zona pariwisata, zona pelabuhan perikanan, zona pengelolaan energi, dan zona perikanan budidaya. Pagar itu juga beririsan dengan rencana waduk lepas pantai yang diinisiasi oleh Bappenas.
Di kawasan sekitar pagar, ada masyarakat pesisir yang beraktivitas sebagai nelayan sebanyak 3.888 orang dan ada 502 orang pembudidaya. Aktivitas mereka terancam oleh pagar laut misterius itu.
Siapa yang membangun pagar misterius itu? Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang mengaku. Publik yang hanya bisa menduga-duga, siapa tangan kuat yang berada di baliknya.
Otoritas resmi tidak berdaya. Menteri-menteri hanya melongo tidak tahu harus berbicara apa. Pembusukan politik terjadi mulai dari kepala menjalar ke seluruh tubuh.
Francis Fukuyama mengamati adanya fenomena pembusukan politik di negara-negara demokrasi dunia. Menurutnya, lembaga-lembaga politik modern justru tengah mengalami “pembusukan demokrasi”.
Fukuyama melihat fenomena itu terjadi di Amerika Serikat, negara kampiun demokrasi. Fukuyama melihat lembaga-lembaga di Amerika tengah membusuk karena negara tersebut terperangkap oleh kelompok-kelompok kepentingan yang kuat dan terkunci dalam struktur kaku yang tidak dapat mereformasi dirinya sendiri.
Fukuyama melihat Donald Trump adalah produk, sekaligus kontributor pembusukan tersebut. Gelombang demokratisasi yang menerpa seluruh dunia pasca Perang Dunia Kedua, sekarang mulai menunjukkan gejala arus balik.
Demokrasi yang diharapkan menjadi matang ternyata kebablasan menjadi busuk. Fukuyama juga memberikan perhatian khusus pada persoalan identitas dan politik identitas yang begitu sulit direkonsiliasi, sehingga perpecahan dan polarisasi masyarakat menjadi tidak terhindarkan.
Nilai dasar demokrasi liberal untuk menciptakan kesetaraan bagi setiap individu, politik identitas adalah batu besar yang mengganjal tujuan tersebut. Multikulturalisme telah menjadi kekuatan yang justru merekatkan Amerika menjadi melting pot yang menampung semua kebhinekaan.
Persoalan identitas ini semakin diruncingkan dengan kehadiran internet. Teknologi ini telah memfasilitasi fragmentasi sosial yang tidak terkendali karena menjadi platform bagi masyarakat untuk membentuk kelompok sesuai dengan identitasnya.
Kemenangan Trump menjadi indikasi semakin kuatnya politik identitas di Amerika. Program MAGA, Make America Great Again, adalah upaya Trump untuk mengembalikan ‘’white supremacy’’ supermasi golongan putih yang bisa merusak harmoni multikultural Amerika.
Program MAGA memberi justifikasi kepada Trump untuk merebut wilayah sekitarnya, seperti Selat Panama dan wilayah Greenland di Kanada. Politik megalomania ala Trump ini akan membuat politik Amerika membusuk.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Pagar laut misterius itu menjadi indikator dugaan motif kepentingan ekonomi politik, karena banyak pelaku bisnis yang bekerja di wilayah laut dan memiliki hubungan yang kuat dengan para politisi.
Mahalnya ongkos politik memberi kesempatan untuk pengusaha menjadi sponsor bagi politisi yang hendak duduk di parlemen daerah dan pusat, kepala daerah, hingga kepala negara.
Potensi ancaman konflik kultural menjadi hal laten di Indonesia. Kesenjangan ekonomi yang menganga bisa menjadi bahan bakar yang bisa menghanguskan bangun kebhinekaan nasional.
Kasus reklamasi sudah menjadi isu pada pemilihan gubernur DKI 2017 yang mempertemukan Anies Baswedan vs Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Anies yang memenangkan kontestasi berupaya menghentikan proyek raksasa itu.
Tapi, sepeninggalan Anies proyek itu makin membesar dan malah mendapatkan legitimasi sebagai Proyek Strategis Nasional. Dengan kedok itu para pengusaha rakus mendapat lisence to kill, bisa menggusur tanah rakyat dan membayar ‘’ganti rugi’’ yang benar-benar merugikan.
Ada kecurigaan terjadinya ‘’ijon politik’’ oleh Jokowi kepada para pemodal. Mereka diminta untuk berinvestasi di IKN (Ibu Kota Nusantara). Sebagai imbalannya para investor itu mendapat hadiah PSN.
Peristiwa yang berlarut-larut dan berulang ini akan memberi efek pada pembusukan politik. Legitimasi terhadap pemerintah akan tergerus mengikuti ketidakmampuan penyelesaian masalah. Proyek pagar laut ini dapat berubah menjadi bencana politik, dan ini menjadi ancaman serius bagi demokrasi.
Paparan yang berlebihan oleh media sosial membawa potensi munculnya pembusukan otak. Paparan yang berlebihan oleh nasfsu untuk berkuasa melahirkan otak busuk yang akan berujung pada politik busuk. (DAD)
*Penulis: Ketua Dewan Pakar PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat, pengajar ilmu komunikasi Unitomo, Surabaya
Editor: Nur Izzati Anwar (Izzat)