Awut-Awut

waktu baca 5 menit
Ilustrasi: Awut-awut

Oleh: Dhimam Abror Djuraid*

SURABAYA – KEMPALAN: Dulu di zaman Orde Baru ada penghargaan untuk pejabat atau tokoh yang berbahasa Indonesia dengan baik. Zaman itu memang lagi zaman penghargaan. Apa saja diberi penghargaan. Kebersihan dapat Adipura, lingkungan dapat Kalpataru, dan lain-lain.

Ketika itu ada budaya tandingan. Diam-diam ada yang mengeluarkan penghargaan untuk pejabat yang berbicara dengan Bahasa Indonesia terjelek. Tentu yang ini tidak diberikan penghargaan melalui seremoni terbuka.

Sekarang sudah tidak ada lagi penghargaan semacam itu. Dalam 10 tahun terakhir kita punya presiden seperti Jokowi, yang tidak pernah bisa berbicara lancar dan runut.

Setiap kali ditanya wartawan dalam wawancara cegat, doorstep interview, jawaban Jokowi selalu sepotong-sepotong, terbata-bata, dan terputus-putus. Lebih sering lagi dia lari menghindari wartawan.

Tapi, dari ungakapan yang sepotong-sepotong itu justru malah menjadi kosa kata yang sering dikutip media dan menjadi semacam khazanah baru komunikasi politik. Jokowi mengatakan ‘’aku rapopo’’, ‘’ojo kesusu’’, dan yang paling populer adalah ‘’cawe-c awe’’.

Gibran Rabuming Raka sebagai penerus dinasti Jokowi juga sering disorot karena tidak berbahasa Indonesia dengan benar. Ia tidak bisa menerapkan kata ‘’para’’ dengan benar. Ia tidak tahu bahwa ‘’para’’ sudah menunjukkan prular, sehingga cukup menyebut ‘’para bapak’’. Tidak perlu menyebut ‘’para bapak-bapak’’. Apa lagi ‘’para-para bapak-bapak’’.

Sewaktu kampanye, Gibran sering kepleset lidah. Salah satu yang paling fenomenal ia salah sebut asam folat dengan asam sulfat. Akibatnya ia mendapat ‘’nickname’’ Samsul, akronim dari asam sulfat.

Masih belum cukup. Gibran dikaitkan dengan akun ‘’fufufafa’’. Isinya ungkapan yang kasar dan vulgar. Lebih dekat caci-maki, terutama kepada Prabowo dan keluarganya. Kalau ada award untuk pejabat berbahasa Indonesia terburuk, Gibran menjadi nominator paling kuat.

Megawati Soekarnoputri, supremo PDIP termasuk tokoh politik yang tidak berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahasa Indonesia Mega sering campur baur dengan Bahasa Jawa.

Beda dengan Jokowi yang irit bicara, Mega doyan omong. Apalagi kalau sudah pegang mik di depan kader-kader PDIP. Mega sering melantur kemana-mana.

Pada acara ulang tahun PDIP Mega merundung Jokowi dengan menyebutnya tidak akan menjadi apa-apa kalau tidak ada PDIP. Ucapan ini, konon, membuat Jokowi sakit hati. Konon pula, Iriana istri Jokowi meradang karena ucapan itu. Sang first lady pun membalas sakit hati dengan mendorong pencalonan Gibran sebagai wapres.

Ketika ditanya wartawan mengenai hal itu Iriana mengacungkan dua jempol. Selama 10 tahun menjadi first lady tidak pernah terdengar Iriana membuat pernyataan yang ‘’quotable’’. Tetapi acungan dua jempol itu dikutip dan ditafsirkan secara luas dimana-mana. Dua jempol itu bisa dinobatkan sebagai ‘’gesture of the decade’’.

Jokowi sering disebut sebagai ‘’The Little Soeharto’’. Gaya kepemimpinannya otoriter mirip Soeharto, tapi lebih halus dan ‘’subtle’’. Mungkin Iriana juga bisa disebut sebagai ‘’The Little Tien Soeharto’’, karena sama-sama punya peran diam-diam di balik layar.

Presiden Prabowo Subianto juga bukan public speaker yang menarik. Pilihan diksinya sering tidak tepat. Jeda antar kalimat sering terlalu panjang. Saat debat presiden dia mengritik Anies Baswedan dengan menyebutnya ‘’omon-omon’’.

Anies memang jago ‘’omon-omon’’. Harusnya dia terkena ‘’labelling’’ oleh ungkapan. Alih-alih, labelling itu malah menjadi senjata makan tuan bagi Prabowo. Setiap kali Prabowo membual dengan janji-janji politik, warganet menyebutnya sebagai ‘’omon-omon’’.

Kaledioskop politik nasional 2024 tahun ini ditutup dengan ramainya kasus PDIP. Megawati menengarai bahwa kongres partainya tahun depan bakal diawut-awut. Kosa kata ‘’awut-awut’’ ini jarang dipakai. Lebih sering muncul kata ‘’awut-awutan’’.

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan ‘’awut-awut’’, dari Bahasa Jawa. Berarti tidak mengikui aturan, sembarangan, berceceran, seenaknya saja. Awut-awut dilakukan melalui cawe-cawe.

Diksi cawe-cawe itu masih melekat kepada Jokowi dalam pilpres 2024. Kemudian lanjut di pilkada 2024. Kendati sudah pensiun tapi Jokowi masih aktif berkampanye. Ia mengendorse belasan calon kepala daerah yang akan berkontestasi.

Karena cawe-cawe yang dianggap keterlaluan itu Jokowi dipecat dari keanggotaan PDIP. Ketika wartawan meminta komentar, Jokowi berkomentar dengan dkisi diksi yang terbatas, ‘’partai perseorangan’’.

Ungkapan itu menimbulkan tafsir beragam. Ada yang menganggapnya sindiran kepada Megawati yang memperlakukan PDIP sebagai ‘’privat property’’, milik pribadi. Ada pula yang menafsirkan bahwa Mega bertindak otoriter demi kepentingan perseorangan.

Mega dan Jokowi awalnya adalah pasangan ‘’ganda campuran’’ yang kelihatan kompak. Mega menyebut Jokowi sebagai ‘’petugas partai’’. Ungkapan itu menjadi kontroversi, karena dianggap mendegradasikan lembaga kepresidenan di bawah lembaga partai.

Mega tetap keukeuh dengan diksi itu. Jokowi tetap petugas partai. Ganjar Pranowo yang dipilih sebagai calon presiden juga disebut sebagai petugas partai. Andai Ganjar menang dia menjadi presiden petugas partai part two.

Mega mencurigai ‘’awut-awut’’ dilakukan melalui ‘’cawe-cawe’’. Mega tidak menyebutnya secara terbuka. Tapi, publik tahu kemana telunjuk Mega diarahkan.

Ben Anderson dalam ‘’Kuasa-Kata’’ (2016) menyebut hubungan kekuasaan dengan kata-kata. Penguasa Indonesia sejak Orde Lama sampai Orde Baru memakai pola komunikasi politik tidak langsung. Hal itu masih berlangsung sampai sekarang.

Pengucapan simbolik merupakan komunikasi yang terjadi melalui perantara atau simbol yang memiliki makna tersendiri. Simbol itu sering diartikan berbeda oleh publik, karena tidak ada penjelasan lebih lanjut dari simbol atau kata yang hanya sepenggal

Proyek awut-awut sudah dimulai dengan penetapan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka dalam kasus suap Harun Masiku. Dengan status tersangka—dan segera ditahan—Hasto tidak akan lagi bisa menjadi sekretaris jenderal PDIP. Tangan kanan Megawati sudah terpotong.

Inilah ujian paling hebat yang dihadapi PDIP dalam 25 tahun terakhir. Mega sudah terbukti gigih menghadapi awut-awut zaman Soeharto. Bisakah Mega bertahan menghadapi awut-awut part two ini? Tunggu tanggal mainnya. (DAD)

*) Ketua Dewan Pakar PWI Pusat

Editor: Nur Izzati Anwar (Izzat)

BACA LAINNYA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *