Calon Walikota dan Pameran Lukisan

waktu baca 10 menit
Ruang Redaksi Jawa Pos, dilihat dari Semanggi Room lantai V Graha Pena Surabaya. (Foto: Google).

KEMPALAN : Sebuah “kijang”, di seputar tahun 1999, meluncur ke arah Jombang dari Surabaya. Ada empat penumpang di dalamnya: seorang tokoh penggerak kesenian, seorang Wakil Ketua PWI Jatim di belakang kemudi, saya, dan yang satu lagi seorang penulis kesenian.

Mereka bergerak ke Desa Rejoagung di kapubaten itu dalam rangka hunting bahan penulisan buku Monografi Imam Utomo atas inisiatif tokoh penggerak kesenian tersebut.

Kami ngobrol gayeng saat menuju desa kelahiran Gubernur Jawa Timur itu. Sampai akhirnya pembicaraan menginjak pada hiruk-pikuk suksesi walikota Surabaya yang waktu itu masih beberapa bulan lagi dijabat Soenarto Soemoprawiro.

Karena baru saja berganti nuansa lebih demokratis pasca-reformasi, agaknya suksesi walikota sarat eforia kebebasan.

Soenarto Soemoprawiro yang mencalonkan lagi untuk jabatan kedua disaingi oleh calon kuat dari partai di luar Golkar yang saya juga kenal, sebut saja : Stn.

Sang tokoh pengerak kesenian itu bertanya (tepatnya memancing) ke saya: ”Bagaimana (soal pencalonan) Mas Stn ?”

“Gimana ya …” jawab saya mencoba hati-hati, yang kemudian melanjutkan, “Sebetulnya saya kurang sreg”.

“Alasanmu ?” tanya dia.

“Kurang kapabel …”

(Selain itu, bagi saya, Stn ini terasa dipaksakan meski orangnya baik. Banyak digoreng. Dan yang nggoreng saya juga kenal, teman saya mantan aktivis yang pengusaha konstruksi yang dikenal juga sebagai tokoh LSM di Surabaya).

Lanjut saya: “Kalau sama-sama dari kalangan nasionalis, mengapa bukan (alm.) Pak Tjuk K. Sukiadi, seorang idealis yang juga tokoh reformasi di Surabaya?”

Pak Tjuk K. Sukiadi sebagaimana banyak orang tahu adalah dosen ekonomi di Unair yang profesor doktor.

Tokoh penggerak tadi manthuk-manthuk. Lantas: “Menarik juga pendapatmu …”

Percakapan lantas berubah tidak dengan saya lagi, tapi dengan lainnya. Sesekali saya ikut menyela.

Setelah itu, “Bagaimana kalau Dahlan Iskan?” katanya, diarahkan kepada saya, maksudnya jika Dahlan ikut maju sebagai calon walikota Surabaya.

Saya tidak menyangka dengan pertanyaan itu. Tetapi segera saya susul dengan jawaban: “Boleh juga. Menarik !”.
Menariknya, karena Dahlan Iskan dikenal sebagai sosok pekerja keras, tokoh wartawan, dan pengusaha pers sukses. Dia memulai usahanya benar-benar dari bawah. Saya tahu relatif banyak karena pernah tiga tahun di bawah Dahlan langsung, ketika diserahi mengelola salah satu koran grup Jawa Pos.

“Nah, kalau Anda tertarik dengan Dahlan (tokoh penggerak ini menyebut tanggal yang saya lupa), di Hotel Mirama akan ada seminar tentang suksesi walikota Surabaya. Coba anda datang…”

“Saya ndak punya undangan …” jawab saya.

“Datang saja. Nanti saya beri transpor lima ratus ribu. Dan tolong anda ngomong di seminar itu kalau Dahlan cocok jadi walikota Surabaya,” jelasnya.

Buset, duit lima ratus ribu saat itu banyak, bos bro …
Tetapi saya tidak langsung menjawab. Naluri saya mengajak berpikir dan berpendapat dalam hati, kayaknya ada hidden agenda di balik usulan tokoh penggerak tersebut.

Sebagaimana saya tahu, tokoh pengerak kesenian ini dikenal sebagai sosok lintas sektoral, lintas generasi, lintas profesi, lintas segala macam, dan bisa masuk kemana-mana. Gerakannya bisa “di atas tanah”, bisa juga “di bawah tanah”. Tapi, kelebihan dia: berjiwa sosial.

Sejurus kemudian, “Kalau soal itu, nggak usah pakek lima ratus ribu, saya tetap akan ngomong …” jawab saya.

“Kok gitu ?”

“Ini soal idealisme saya, Dahlan memang layak memimpin Surabaya, supaya kota ini lebih maju lagi …”

Namun, diam-diam saya pun juga menyimpan hidden agenda yang muncul sesudah percakapan itu, meski harus saya akui Dahlan Iskan di mata saya memang layak memimpin kota Surabaya.

Maka, di salah satu ruang di Hotel Mirama, Surabaya, pagi itu sesak oleh undangan seminar. Di bagian pembicara antara lain duduk sekian tokoh, termasuk Dahlan Iskan. Tapi yang saya tidak menduga, tampil juga Pak Tjuk K. Sukiadi.

Pagi itu saya pun berpikir dan menyusun bahan pertanyaan, kira-kira apa yang cocok untuk saya sampaikan sebelum pada inti “misi”. Maka ketemulah bahannya, yakni tentang ketimpangan distribusi keuangan nasional yang pernah saya baca dari grafis Harian Surya di halaman I.

Sesudah ngacung, saya pun ngomong:

“Distribuisi keuangan nasional sungguh timpang, 70 prosen uang beredar di Jakarta yang penduduknya (waktu itu) 7 juta jiwa, sementara sisanya yang 30 prosen dinikmati oleh 200 juta penduduk yang tersebar di berbagai wilayah dari Sabang sampai Merauke. Dan, dari sisa yang 30 prosen itu Provinsi Timur kecipratan 6 prosen termasuk di dalamnya 2 prosen dinikmati warga Surabaya.

Oleh sebab itu, kota Surabaya memerlukan orang hebat yang bisa menaikkan distribusi keuangan yang sementara ini cuma 2 prosen untuk menjadi berlipat-lipat supaya bisa dinikmati warga secara merata. Ini hanya bisa diraih jika walikotanya adalah Pak Dahlan Iskan atau Pak Tjuk K. Sukiadi”.

Begitu antara lain yang saya kemukakan, tentu dengan bahasa yang lebih halus agar tidak menyinggung calon lain, khususnya kepada Stn.

Di sela seminar yang masih berlangsung, saya kebelet pipis dan menuju toilet di hotel tersebut. Ketika buang hajat kecil dalam posisi berdiri dan kepala menunduk, sekelebatan seseorang datang dan berdiri di sebelah kiri, dimana saya tidak melihat dengan jelas siapa sosok yang juga akan melepas hajat kecil itu.

Lantas, “Opo ae kon, Mang,” ujar seseorang itu disusul ketawa kecil.

Saya toleh ke arah kiri, eladalah, saya kaget, ternyata adalah Stn (bakal) calon walikota Surabaya. Kekagetan antara lain disebabkan saat di dalam ruang seminar saya sudah celingukan mencari posisi dia yang ternyata tidak menemukannya, maka saya anggap Stn tidak hadir di seminar ini.

Ternyata ada, yang entah tadi duduk atau berdiri di sebelah mana, dan tahu-tahu sudah mbejudul di dekat saya.

Kalimat “Opo ae kon, Mang” yang diucapkannya berkonteks dengan yang barusan saya kemukakan di ruang seminar, yang kurang lebih maksudnya: Saya tadi dianggap ngomong ada-ada saja. Mungkin semacam prekethek …

Lantas saya jawab agak gelagapan” “ Biasa Mas … (saya menyebut panggilannya), kartoloan …”
Lantas kami sama-sama tertawa.

Sebetulnya sebulan sebelum acara seminar ini, saya bersama pelukis Asri Nugroho NP sedang merencanakan pameran besar skala nasional, yang saya belum tahu kemana arah pertama mencari sponsor.

Setelah seminar suksesi walikota Surabaya di Hotel Mirama dengan penyampaian “misi” tersebut, agaknya saya anggap berhasil “memancing” Dahlan Iskan.

Segera saya susun proposalnya dengan saya sebagai ketua umum, Asri Nugroho NP ketua pelaksana, dibantu Toto Sonata sebagai sekretaris, Diah Chomariah bendahara, dan Solikhin Jabbar koordinator pengumpulan&display lukisan.

Dua minggu setelah seminar itu, saya dan Asri Nugroho bergerak ke Graha Pena di Jalan A. Yani 88 Surabaya tempat Dahlan Iskan bermarkas.

Di lobi gedung bertingkat 23 milik Grup Jawa Pos ini saya ketemu petugas satpam, Pak Suradi, yang saya kenal baik.

“Kadose Bapak wonten teng Nyata (sepertinya Pak Dahlan berada di kantor tabloid Nyata),” ujar pensiunan TNI AL ini ramah.

Kami pun segera bergerak ke lantai tiga via lift. Di depan ruangan Nyata saya melihat Dahlan Iskan bergegas cepat ke arah posisi kami yang saat itu sedang berada di depan lift, dimana kami baru saja keluar dari lift.

Agaknya dia mau masuk ke lift. Kami pun sama-sama bergerak maju, saling menghampiri.

“Ada apa, Mang ! “ ujar Dahlan, pendek tegas.

“Ada perlu. Sebentar, Pak”. Lantas saya sodorkan selembar proposal pameran besar pelukis nasional.

Sambil berdiri dibacanya sekilas judul di kover proposal. Lantas dengan cepat dicarinya “halaman anggaran”.

“Tidak banyak ya…”, kata Dahlan.”Oke, saya setuju. Tapi tempatnya jangan di lobi. Terlalu kecil. Mari ikut, saya tunjukkan.” Sebab, saat dalam percakapan itu saya bermaksud menempatkan event itu di lobi Graha Pena di lantai I.

Tentang kalimat “tidak banyak ya” sebagaimana diucapkannya itu, saya agak kaget. Delapan puluh juta rupiah dibilang tidak banyak. Waktu itu lho, bos bro, waktu itu, tahun 1999. Coba anda proyeksikan dengan kondisi inflasi ekonomi sekarang …

Kami pun nginthil Dahlan menaiki tangga manual, karena lift waktu itu belum bisa berhenti di lantai V. Lantas menuju titik pusat lantai tersebut yang tak berlampu, tetapi remang-remang terkena rembesan cahaya dari lantai IV (redaksi Jawa Pos).

Lantai V keluasannya separuh bolong. Dan kalau diperhatikan bentuk yang bolong separo lantai ini menyerupai daun semanggi yang tembus pandang ke ruang redaksi. Dan yang tidak bolong itu, yang memenuhi bidang segi empat, akan kita jadikan lokasi pameran lukisan.

Saat itu Graha Pena masih baru dan sebagian besar ruangannya masih sedikit disewa. Sedangkan lantai V masih belum disentuh finishing. Semua dindingnya masih menampakkan beton kasar yang belum dilepoh semen lembek halus.

Lantainya juga masih asli betonan. Juga pinggiran bolongan yang berbentuk daun semanggi itu belum dipagari. Atapnya pun masih semrawut, tumpang tindih kabel listrik dan talang saluran AC serta pipa-pipa air.

Saya diam sejenak. Dahlan rupanya membaca pikiran saya. “Nanti akan segera kita benahi. Anda bisa bicara-bicara dengan Imawan Mashuri (waktu itu general manager Graha Pena merangkap GM Manado Pos Group/anak perusahaan Jawa Pos Group).

Tentu saja sebelum saya mendatangi Imawan Mashuri, Dahlan sudah mengontaknya.

Bagaimana tentang anggaran Rp 80.000.000 untuk pelaksanaan pameran besar ini? Tentu saja kami tidak diberi uang semua. Beberapa dikonversi ke biaya-biaya tertentu yang ditangani Jawa Pos. Misal katalog, cetak undangan, sewa gedung, dan pembuatan sketsel yang nantinya sesudah pameran dimiliki Graha Pena, serta lain-lain.

Pernah suatu hari saat lantai V sedang dalam pengerjaan mengejar tanggal pembukaan pameran, saya bertemu Imawan Mashuri di Graha Pena, antara lain dia ngomong begini: “Gara-gara acaramu aku ngetokno duik telung atus seket juta (gegara acara pameran besar ini dia harus mengeluarkan uang sebanyak Rp 350.000.000 untuk mempercantik lantai V)”.

Tentu saja uang sebanyak itu bukan uang pribadi Imawan Mashuri. Maksudnya uang manajemen Graha Pena.

Sepertinya dari biaya Rp 350.000.000 yang terbanyak disedot oleh komponen pagar stainless steel dan karpet tebal untuk lantai tersebut.

Siapa saja pelukis yang terlibat dengan event besar ini? Antara lain Popo Iskandar, Sunaryo, Umi Dahlan, Dede Eri Supriya, Sucipto Adi, Made Wianta, Nisan Kristiyanto, Kubu Sarawan, dan beberapa nama beken lainnya.

Bahkan untuk pelukis yang berasal dari Jogjakarta, Magelang dan Solo, kami perkuat dengan lobi kopi darat, dimana kami berempat yaitu Asri Nugroho, Toto Sonata, Solikhin Jabbar dan saya, menemui di rumah mereka. Seperti Joko Pekik, Lucia Hartini, Fajar Sidik, Sudarisman, Ivan Sagito, Widayat, Nasirun, Nyoman Nurata dan beberapa nama lagi.

Terus terang saya tidak kenal secara pribadi dengan mereka. Ini adalah akses pelukis Asri Nugroho NP. Kecuali pelukis Kubu Sarawan yang asal Batu, Malang.

Sebetulnya saat itu kami agak was-was, karena Dahlan menjelang pembukaan “Pameran Lukisan Indonesia Menuju Milenium III” ini melawat dua minggu ke Perancis, dan dua hari menjelang pembukaan baru balik ke Surabaya.

Sementara itu kami gagal melobi WS Rendra dan Setiawan Jodi untuk berkenan membuka pameran ini karena berbenturan dengan agenda mereka yang sudah terjadwal.

Kami pun gelagapan mencari tokoh pengganti.

Maka diam-diam saya nglancangi dengan membuat undangan pembukaan yang disitu tertulis yang mengundang Dahlan Iskan sekaligus membukanya, lengkap dengan tanda tangan Dahlan yang minimalis itu yang maaf saya “tembak” dari katalog acara peringatan hari pers di Jawa Timur.

Saat baru tiba dari Perancis, segera kami temui Dahlan dan saya sodori undangan pembukakan pameran ini. Dahlan agak kaget: “Lho, kok saya …?” Maksudnya kok dia yang mengundang sekaligus membukanya.
Komitmen semula Jawa Pos Group hanya mensponsori.

Maka pembukaan pameran itu pun berlangsung sukses dihadiri banyak undangan termasuk Pak Noer mantan Gubernur Jawa Timur dengan kursi roda.

Akhirnya setelah beberapa hari pameran berlangsung, saya baru tahu maksud Dahlan Iskan kenapa pameran ini berlangsung di lantai V, tidak lain dimaksudkan untuk dua pameran sekaligus, yakni pameran lukisan di lantai V dan pameran kerja awak redaksi Jawa Pos di lantai IV yang dilengkapi peralatan serba canggih itu yang bisa dilongok dengan jelas dari lantai V.

Dahlan Iskan ingin lebih mendekatkan masyarakat Jawa Timur – khususnya warga Surabaya – dengan jajaran Jawa Pos, utamanya redaksi.

Oh ya, mumpung belum lupa. Setiap malam kami dihibur oleh rombongan siter dengan seorang wanita biduan yang bersuara sangat merdu. Ini atas permintaan Pak Dahlan. Rekan Solikhin Jabar yang berhasil menemukan rombongan siter ini setelah hunting sampai Mojokerto.

Para pemain ini selama 10 hari kami inapkan di Hotel Cemara yang cuma sepelemparan batu dari Graha Pena.

Setiap rombongan musik tradisional ini mengawali permainannya pada setiap malam, selalu diikuti aplaus panjang awak redaksi di lantai IV yang mendengar dengan jelas karena ruang lantai V yang bolong berbentuk daun semanggi itu.

Sejak itu lantai V disebut Semanggi Room. (Amang Mawardi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *