Sebuah Pisang Dihargai Rp 98 Miliar
KEMPALAN: Minggu 24 November lalu Harian Disway menurunkan berita utama yang diletakkan di kover depan, judulnya : Pisang Termahal.
Di bawah judul berita itu terdapat foto sebuah pisang yang dilakban warna perak. Di sisi kanan pisang berlakban tersebut, terdapat teks dalam lingkaran kuning, bunyinya: Seharga Rp 98 miliar – karya seni bertajuk Comedian ini terbeli pada Rabu 20 November 2024.
Pada isi berita di bawah foto pisang dan teks dalam lingkaran kuning, antara lain disebut bahwa pisang, eh … karya seni ini, laku di Balai Lelang Sotheby’s, New York. Pembelinya adalah Justin Sun enterpreneur mata uang kripto (dari Tiongkok).
Lakunya pisang ini bikin geger. Bukan soal harganya. Tetapi yang
jadi perdebatan: Ini karya seni atau bukan.
Apapun yang menjadikan kekagetan tersebut –pembuatnya, atau yang punya ide– adalah seorang seniman bernama Maurizio Cattelan, 64 tahun, asli Padua – Italia.
Cattelan memang dikenal sebagai seniman dengan karya-karya nyeleneh.
Ia pernah membuat patung Paus Paulus Yohanes II tersungkur dihantam meteor. Pun pernah membuat kloset emas yang ditawarkan kepada Presiden AS Donald Trump.
Seorang teman yang wartawan bertanya kepada saya: Kenapa karya seni aneh begini bisa menjadi demikian mahal? Apa penyebabnya?
Saat di-WA sebagaimana narasi di atas, terus terang saya “bingung”, mesti saya jawab apa?
Jujur saya memang tidak tahu perkara karya nyeleneh ini kenapa bisa laku 6,2 juta US dollar (Rp. 98 miliar).
Dipikir teman saya itu, saya tahu banyak tentang dunia seni dan seluk beluknya, mungkin lantaran saya dianggap dekat dengan para seniman, termasuk dengan beberapa pelukis di Jawa Timur dari yang jumlahnya ribuan itu.
Lantas teman wartawan tadi mengilustrasikan pengalaman sekian tahun lalu:
Pisang termahal bisa menjadi tulisan untuk menjawab pertanyaan saya yang awam karya seni, kok segitunya orang gila seni, ada pisang harganya miliaran, ada toilet bekas diklumbrukno dibilang sebagai seni instalasi avant garde yang harganya miliaran.
Puluhan tahun yang lalu saat saya menjadi wartawan muda di biro Jawa Pos dimana saat itu saya diundang seniman Sapto Hudoyo ke galerinya di Jl. Solo, Jogja — Sapto pamerkan instalasi becak bekas yang menurut saya biasa-biasa. Lha kok oleh turis Belanda dibeli dengan harga mahal.
Nah, dalam pengertian saya pribadi, muara seni adalah estetika, keindahan.
Namun, keindahan lukisan naturalis pemandangan gunung ciptaan Tuhan Semesta Alam, saya pahami berbeda dengan lukisan seorang ibu menggendong bayi berjualan kertas tisu di perempatan dengan traffic light-nya.
Ibu dan bayi ini juga ciptaan Tuhan Semesta Alam. Tetapi secara personal saya lebih condong memilih lukisan yang obyeknya seorang ibu menggendong anak berjualan tisu. Maaf. Sekali lagi, maaf.
Alasan saya apa? Karena lukisan “Ibu & Anak” ini sarat pesan sosial, kritik halus bahwa di negeri yang konon gemah ripah lohjinawi ini, masih (banyak) keluarga yang bernasib malang.
Sekitar 50 tahun lalu, saat kuliah di Akademi Wartawan Surabaya, saya pernah berdialog dengan kakak angkatan yang usianya lebih muda 2 tahun dibanding usia saya. Ia sosok hebat. Indikasinya pada usia 21 tahun sudah menjadi desk editor koran terbesar di Jawa Timur.
Saat jam kuliah sama-sama kosong, kami duduk di badug depan salah satu kelas, berdiskusi soal seni.
Sosok yang saya anggap jenius ini, saya tanya: seni itu untuk seni, atau seni untuk masyarakat. (Sebetulnya kata ‘masyarakat’ ini adalah substitusi atau boleh jadi konversi dari kata ‘rakyat’. Alasan supaya tidak terjebak pada terminologi ‘kiri’).
Saya pikir sosok yang dikemudian hari dapat bea siswa untuk sekolah jurnalistik di Tokyo dan Berlin ini, akan memilih satu dari alternatif yang saya ajukan, ternyata ia menjawab: ya untuk seni, ya untuk masyarakat.
Di kemudian hari, saya baru paham bahwa jika seni untuk seni saja, maka –kira-kira jatuhnya pada : Klangenan. Sekedar hiburan pemuas mata. Dan ini sah-sah saja.
Namun jika seni melulu untuk masyarakat tanpa basis estetika, apa bedanya dengan poster yang terbuat dari kertas manila lantas ditulisi dengan spidol dibentangkan oleh pendemo bayaran, maupun pendemo idealis. (Meskipun banyak yang mengatakan bahwa berani menyatakan pendapat untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran, itu adalah keindahan yang hakiki).
Intinya sebagaimana dinyatakan kakak angkatan saya itu, karya seni bermuatan pesan sosial, misalnya — yang disampaikan kepada khalayak tetap harus dilandasi muatan estetika, keindahan.
Lha kalau cuma pisang dilakban warna perak terus dipajang di salah satu ruangan, lantas jika mendekati kadaluwarsa, dimakan — kemudian diganti dengan pisang baru dengan proses “selebrasi” dan seterusnya dan seterusnya : Estetikanya dimana? Pesannya apa?
Apa cuma berkendara sensasi, lantas dibilang sensasi itu adalah seni? Wadeh…kok jadi pusing ya kepala saya.
Barangkali yang ditulis Disway lanjutan berita di atas, setidaknya bisa menjawab kepala pusing saya, begini deskripsinya (mudahan-mudahan pembaca Kempalan.com. setiap masing-masing punya kesimpulan sendiri-sendiri) :
Pisang berlakban itu dipamerkan pertama kali pada Art Basel Show 2019. Dan Cattelan memberi judul karyanya itu sebagai Comedian. Cocok dengan kritik yang disampaikan oleh The York Post lima tahun lalu soal karya Cattelan tersebut : Pasar memang sudah sinting (bananas) dan konyol !
Saat pameran perdana itu, Cattelan membandrol karya seni tersebut 120.000 US dollar (Rp 1,9 miliar). Dan laku.
Berapa modal yang dikeluarkan Cattelan? Cuma 35 sen US dollar (Rp 6.000). Pisang itu dibelinya di penjual buah pinggir jalan di Manhattan.
Nah lo !
(Amang Mawardi).