Kisah Lukisan Jambu Air Berdaun Bolong
KEMPALAN : Dulu, awal tahun 2000-an –persisnya 2001- 2003– saya punya stan di Tunjungan Plaza (tepatnya TP I). Eits, sebetulnya bukan stan ya, tapi tempat (spot) untuk saya jualan lukisan dan kerajinan di floor lantai I. Ukuran spot : 4 x 3 meter.
Letak spot ini persis di depan lift barang yang bersebelahan dengan tangga darurat.
Nah, di pangkal tangga darurat ini ada space kosong sekira lebar 50 sentimeter dan panjang lebih kurang 2 meter.
Untuk menuju tangga darurat ini ditutup dengan pintu kayu, tetapi tak berkunci. Jika sangat capek, space kosong itu sering saya buat untuk tidur. Atau di pangkal tangga darurat itu, saya buat untuk makan dengan posisi duduk di salah satu anak tangga, tanpa dilihat lalu-lalang pengunjung di lantai I.
Btw, soal tangga darurat dan space kosong itu sekadar ilustrasi tulisan saya ini, ya.
Intinya, rata-rata dalam sebulan, yang laku di spot saya 4-5 lukisan dengan harga mulai 1 juta rupiah hingga 5 juta rupiah.
Mungkin, karena lukisan dianggap barang mahal, banyak orang enggan membeli.
Lantas, bagaimana untuk memenuhi kebutuhan estetika mereka? Ada jalan keluar. Di spot saya juga menjual barang-barang kerajinan yang harganya relatif terjangkau. Sekalian sebagai salah satu cara untuk mengalirkan cash flow harian.
Cara lain untuk menghasilkan cash flow harian, saya menyediakan lukis wajah dalam bentuk sketsa atau drawing, langsung on the spot. Lumayan sehari rata-rata bisa 3-4 kepala (wajah). Saya dapat prosentase dari teman pelukis yang ngepos di spot saya itu.
Jadi, untuk harian, barang-barang kerajinan dan sketsa/drawing wajah, sangat membantu menunjang cash flow.
Dan, untuk memberi honor 3 orang karyawan, cukup dari jualan kerajinan dan komisi dari melukis wajah.
Sementara, lukisan-lukisan yang saya pajang, saya letakkan di tripod dan saya tumpuk-tumpuk saya sandarkan di salah satu tiang mol itu. Jumlahnya sekitar 30 lukisan.
Dari hasil penjualan lukisan-lukisan tersebut (ada yang dari pelukis nitip, ada yang saya beli putus), saya gunakan untuk bayar sewa spot ke manajemen TP I dan sisanya sebagai hasil bersih saya buka galeri-galerian itu. Lumayan, lebih besar dari gaji saya sebagai pemimpin redaksi di tabloid mingguan.
Ada satu cerita yang saya ingat betul. Suatu hari, seorang pelukis menitipkan karya realisnya di spot saya dengan sistem komisian, berupa lukisan jambu air dengan daun-daun hijaunya yang cukup indah.
Lantas ditinggallah lukisan itu di spot saya yang sebelumnya didahului dengan tanda terima lukisan.
Pada sebuah momen, seorang lelaki berwajah oriental berusia 50-an tahun, lama memandangi lukisan jambu air tersebut.
Saya duga dia tertarik dan bermaksud membeli lukisan itu.
Melihat gesture lelaki itu pun, saya mengira “jambu air” ini akan segera pindah “majikan”.
‘Wuih, bakalan lepas, rek,’ saya membatin.
Cilakak, ternyata gak jadi dibeli. Gara-garanya, lelaki tadi menemukan tanda bolong sebesar biji jagung di salah satu daun di lukisan tersebut. Bolong ini melukiskan bekas dimakan ulat.
Sepertinya daun sedikit bolong tersebut sengaja dibikin pelukisnya se-realis mungkin untuk menggambarkan bahwa ada hama yang pernah nggrogoti daun jambu itu. Mungkin untuk menekankan unsur estetika.
Namun, lelaki calon pembeli tadi menganggap bahwa daun bolong simbolisasi manusia yang tidak sehat. Sebaiknya manusia itu harus senantiasa sehat.
Sementara pelukisnya menganggap bahwa sakit itu manusiawi. Mana ada manusia yang sepanjang hidup tidak pernah sakit. “Yang penting pohon jambu itu sudah menghasilkan banyak buah ranum-ranum sebagaimana saya gambarkan pada lukisan saya itu,” kata pelukis tadi saat berkunjung ke spot saya — maksudnya ngecek lukisannya sudah laku apa belum. (Amang Mawardi).