Putusan MK yang Mengubah Arah UU Ketenagakerjaan: Apa yang Harus Kita Persiapkan?

waktu baca 5 menit
Pembacaan Sidang Pengucapan Putusan/Ketetapan, Kamis, 31 Oktober 2024 (YouTube Mahkamah Konstitusi RI)

Oleh: Rizky Bangun Wibisono (Peneliti bidang Demokrasi & Hak Asasi Manusia di Nusantara Center of Social Research)

KEMPALAN – Beberapa hari yang lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan bersejarah dengan mengabulkan sebagian gugatan perkara nomor 168/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Buruh dan beberapa serikat pekerja terkait Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Dengan memutuskan untuk mencabut serta merevisi 21 pasal dalam undang-undang tersebut, MK telah mengirim sinyal kuat bahwa Omnibus Law, meskipun didesain untuk menyederhanakan peraturan, justru berisiko menciptakan ketidakpastian hukum.

Keputusan MK ini memerlukan langkah tindak lanjut yang serius dan strategis. Ada banyak perubahan penting yang akan berdampak besar pada kelas pekerja, terutama bagi buruh di sektor-sektor kritis seperti manufaktur. Dalam artikel ini, mari kita bahas dampaknya, apa yang perlu disiapkan, dan mengapa ini adalah momen yang harus kita kawal bersama.

Apa yang Diputuskan oleh MK?

Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa UU Ketenagakerjaan perlu dipisahkan dari UU Cipta Kerja agar dapat lebih mudah dipahami dan tidak saling tumpang tindih. Secara konkret, putusan ini menyarankan agar DPR dan pemerintah merancang ulang UU Ketenagakerjaan dalam waktu dua tahun ke depan. Revisi ini menekankan pada beberapa hal yang selama ini menjadi sorotan kaum buruh, Pertama tentang prioritas tenaga kerja lokal, yang mana UU ini meminta agar tenaga kerja Indonesia lebih diutamakan daripada tenaga kerja asing, mencerminkan dukungan untuk pekerja lokal. Kedua, yaitu Peraturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang diubah memberi batas waktu maksimum lima tahun, memberikan kepastian bagi pekerja kontrak. Ketiga, untuk pertama kalinya, pekerja outsourcing akan mendapatkan perlindungan lebih kuat. Regulasi ini bertujuan memastikan perlindungan yang lebih adil bagi pekerja. Selanjutnya, libur dua hari per minggu menjadi aturan wajib untuk memberikan kesempatan bagi buruh pabrik dan sektor-sektor lain untuk mendapatkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Yang tidak kalah penting yaitu keputusan ini mengamanatkan agar upah mencakup komponen-komponen penting untuk kebutuhan hidup layak, seperti makan, minum, sandang, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua. Komponen ini tidak dijelaskan secara rinci dalam UU Cipta Kerja sebelumnya. Terakhir, yaitu pengembalian upah minimum sektoral, yang sempat dihapus, kini dikembalikan sehingga dapat menyesuaikan upah berdasarkan kondisi sektor masing-masing.

Mengapa Revisi UU Ketenagakerjaan Diperlukan?

Keputusan ini menyoroti pentingnya revisi UU Ketenagakerjaan secara menyeluruh untuk menghindari ketidakpastian hukum. UU No. 13 Tahun 2003 telah beberapa kali diubah oleh UU Cipta Kerja dan kini dipengaruhi lagi oleh Putusan MK terbaru. Perubahan yang bertubi-tubi ini menyebabkan struktur UU Ketenagakerjaan menjadi tidak utuh dan berpotensi membingungkan pekerja, pengusaha, maupun penegak hukum. Dalam dua tahun mendatang, DPR dan pemerintah harus menyusun undang-undang baru yang mengakomodasi kepentingan seluruh pihak dengan transparansi dan inklusivitas.

Apa yang Harus Dipersiapkan?

Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengamanatkan DPR dan pemerintah untuk menyusun undang-undang baru di sektor ketenagakerjaan dalam waktu dua tahun mendatang menjadi langkah penting dalam memperjelas hak-hak pekerja dan memperkuat perlindungan mereka. Proses legislasi baru ini akan memerlukan pembahasan panjang dan mendalam, melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Para buruh dan pekerja, yang paling terdampak oleh peraturan ini, diharapkan aktif dalam mengawal proses ini. Kelompok buruh, termasuk serikat pekerja, perlu memastikan bahwa kepentingan dan hak-hak mereka benar-benar terakomodasi dalam undang-undang baru ini, bukan hanya pengaturan yang menguntungkan pengusaha. Hal ini menjadi penting, mengingat selama ini sering kali kepentingan buruh tertinggal di belakang dalam proses legislasi.

Untuk menjamin efektivitas undang-undang ini di masa depan, sosialisasi dan pemahaman mengenai peraturan baru harus menjadi prioritas. Masyarakat, khususnya para pekerja, perlu mendapatkan edukasi yang memadai tentang hak dan kewajiban mereka di bawah UU Ketenagakerjaan yang baru. Langkah ini penting agar tidak terjadi kerancuan dalam implementasi dan setiap pekerja dapat memahami posisi mereka serta perlindungan yang diberikan oleh undang-undang secara utuh. Pemahaman ini juga akan membantu pekerja dalam menjalankan hak dan kewajiban mereka dengan lebih baik serta menumbuhkan kesadaran bahwa mereka memiliki perlindungan yang lebih jelas dan terperinci.

Tantangan besar lainnya adalah memastikan bahwa DPR dan pemerintah menjalankan proses legislasi ini sesuai batas waktu yang diberikan, yakni dua tahun. Transparansi dan inklusivitas harus menjadi kunci dalam menyusun undang-undang baru ini agar mampu memberikan perlindungan nyata bagi pekerja Indonesia. DPR dan pemerintah harus membuka ruang partisipasi publik, terutama dari kalangan buruh dan pekerja, agar proses ini tidak hanya sekadar formalitas. Dengan adanya pengawalan ketat dari berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil, serikat buruh, dan pekerja, diharapkan UU Ketenagakerjaan yang baru akan menjadi landasan hukum yang adil, melindungi pekerja dari ketidakpastian serta memperkuat posisi mereka dalam dunia kerja.

Kemenangan Kecil bagi Kelas Pekerja

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ini adalah kemenangan kecil namun sangat berarti bagi kelas pekerja di Indonesia, mengingat hak-hak dasar pekerja seperti upah minimum sektoral, hak libur, batasan PKWT, serta aturan outsourcing yang lebih adil dikembalikan. Ini menjadi simbol perjuangan buruh yang patut dirayakan dan, yang lebih penting, harus dikawal hingga revisi UU Ketenagakerjaan selesai dan diimplementasikan sesuai dengan esensi dari putusan MK. Lebih jauh, putusan ini juga memberikan preseden penting dalam hukum Omnibus Law di Indonesia, karena MK menegaskan bahwa model Omnibus dalam UU Cipta Kerja justru menciptakan ketidakpastian hukum. MK telah secara tegas menyatakan bahwa model Omnibus Law yang diterapkan dalam UU Cipta Kerja menciptakan ketidakpastian hukum, sehingga putusan ini dapat menjadi dasar bagi kelompok lain untuk mengajukan pengujian atas UU Cipta Kerja secara keseluruhan. Langkah ini penting untuk mendorong penyusunan undang-undang yang lebih terfokus, menghindari penumpukan aturan dalam satu undang-undang besar, dan memastikan kejelasan serta konsistensi hukum yang lebih baik.

Apa Langkah Selanjutnya?

Ke depan, tantangan terbesar adalah memastikan proses ini berjalan sesuai tujuan dan tidak mengurangi esensi dari putusan MK. Pekerja, serikat buruh, akademisi, dan praktisi hukum harus tetap bersatu mengawal proses legislasi baru yang lebih memihak kepentingan rakyat. Ini bukan akhir dari perjuangan, melainkan permulaan dari upaya yang lebih besar untuk memastikan UU Ketenagakerjaan benar-benar melindungi hak dan kesejahteraan pekerja di Indonesia.

Melalui putusan ini, MK telah memberikan kesempatan baru bagi pekerja untuk memperoleh perlindungan yang lebih adil, dan kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Tetap kawal dan awasi proses revisi UU Ketenagakerjaan agar tujuan dari putusan ini benar-benar tercapai. Ini adalah momen untuk bekerja bersama demi keadilan dan kepastian hukum yang lebih baik bagi semua pekerja di negeri ini.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *