Manusia Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi
KEMPALAN: Terkadang perbincangan antar teman mengiris tema yang ngeri-ngeri sedap. Apalagi kalau bukan tentang kematian.
Teman 1: Kamu yakin akan kematian?
Teman 2: Dalam hidup ini hanya ada satu kepastian, yaitu mati.
Teman 3: Artinya, kamu sudah siap mati?
Teman 2 : Nggak ada tema lain yang lebih asyik ta?
Teman 1: Berarti kamu belum benar-benar siap mati kan?
Teman 2: Ya belum lah, kan butuh persiapan cukup?
Teman 3: Apa kau kira harus punya tabungan milyaran?
Membahas tentang kematian kerap diwarnai perasaan gamang karena dianggap sebagai sumber ketakutan terbesar bagi manusia. Tidak peduli seberapa kuatnya usaha untuk menutupi dengan menyampaikan doa keselamatan sepanjang waktu, sepanjang itu pula kegelisahan tidak mudah disingkirkan semudah mengusir jin Tomang.
Tidak peduli seberapa tertibnya melaksanakan prosesi ritual, tidak bisa dipungkiri tetap saja gelisah. Apalagi timbul pertanyaan, apakah keimanan yang diikrarkan sepanjang hayat benar-benar bentuk ketulusan berserah diri pada Sang Khalik akan apa adanya diri ini, atau jangan-jangan hatinya diselimuti kebimbangan dalam memikirkan nasib di kemudian hari? Di sini bobot keimanan sejati diuji.
Bagi umat beragama, kematian digambarkan sebagai gerbang menuju kehidupan baru. Dimana surga dijanjikan bagi yang baik sedangkan neraka bagi yang khilaf. Namun entah kenapa, narasi indah ini tetap saja tak bisa mengusir bayangan suram tentang kematian?
Setiap saat ceramah agama digemakan untuk mengingatkan agar selalu siap menghadapi kematian yang kehadirannya bagai tamu tak diundang. Dimanapun, kapanpun, ia bisa tiba-tiba datang. Juga diingatkan akan adanya pertanggung-jawaban di balik kematian. Mengapa kalangan yang beriman sering merasa was-was? Dengan segala upaya para pemangku ajaran menenangkan jiwa-jiwa galau.
Mungkin di sinilah sesungguhnya kebingungan itu selama ini diabaikan. Andai saja manusia benar-benar yakin akan kehidupan sesudah mati dan percaya penuh pada doa yang sering diucapkan, bukankah ketakutan akan kematian tidak seharusnya menghantui?
Di sisi lain terdapat suatu kepercayaan mengusung konsep reinkarnasi berdasar persepsi yang diyakini relatif logis. Bahwa kematian bukanlah titik akhir dari suatu kehidupan melainkan bagian dari siklus yang berulang. Untuk itu perlu menepis ketakutan dalam menghadapi kekekalan di alam sana. Manusia bahkan cukup mempersiapkan diri untuk memulai perjalanan baru beserta wadag yang baru.
Jika merenungi tentang proses penciptaan jagat raya yang konon membutuhkan masa milyaran tahun, sangat tidak beralasan jika penghancuran alam semesta hanya disebabkan oleh kebejatan moralitas manusia pada suatu zaman.
Bukankah sejak dahulu kala selalu ada istilah akhir zaman, toh kehidupan ini tidak pernah benar-benar berakhir?. Artinya istilah akhir zaman hanya bersifat kontemporer atas dinamika peradaban. Pada titik inilah pemahaman tentang reinkarnasi bisa dijadikan khazanah teologi untuk membuka cakrawala dalam mempelajari perbandingan agama.
Hanya saja bagi penganut keyakinan berbeda apakah bersikap inklusif dalam menerima pandangan lain? Karena konsekuensinya perlu memperbarui pemahaman lama. Bagi yang bersikap eksklusif hal itu dianggap sebagai kemustahilan terkait dalam mempertahankan dogma.
Manusia tetap saja dilingkari kebimbangan. Meski hidup dipercaya sebagai anugrah tetapi diam-diam menyembunyikan keraguan dan ketakutan akan kematian. Dan, dalam.kesendirian, kadangkala pikirannya berkelana ke ruang-ruang yang dipenuhi pertanyaan tentang akhir dan kelanjutan hidup sesudah mati. Kadangkala menghibur diri dengan menimbang segala kebaikan yang pernah dilakukan seakan telah mencukupi sebagai bekal “kepindahannya” ke alam abadi. Tentu saja itu sekadar menghibur diri sementara prerogratif Tuhan bersifat absolut dalam memutuskan segala sesuatu.
Menjadi manusia memang menjadi persoalan bagi manusia itu sendiri. Bila saja boleh menawar, inginnya hidup seribu tahun lagi.
Rokimdakas
Praktisi Tarekat & Penulis
30 Oktober 2024