Fufufafa
Jejal digital memang kejam. Atau, jejak digital memang lucu, bergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Seminggu terakhir ini jejak digital pemilik akun Fufufafa sedang dihajar habis-habisan oleh netizen. Semua postingan akun itu dibongkar satu persatu.
Jejak digital menjadi kejam karena dipolitisasi dan dijadikan sebagai isu politik. Jejak digital menjadi lucu kalau kita lihat dari namanya yang tidak biasa. Itu bisa menjadi indikasi bahwa pemilik akunnya kreatif dalam mencari nama.
Lebih lucu lagi bagaimana pemilik akun itu begitu bebas mengekspresikan pendapatnya mengenai isu-isu politik terkini. Menjadi lucu karena kemudian si pemilik akun itu sekarang menjadi seorang pejabat publik yang harus mempertanggungjawabkan postingan-postingan lawas itu.
Akun Fufufafa ada di platform Kaskus yang populer sebagai akun anak-anak muda. Akun Fufufafa sangat aktif pada 2014 dan kemudian tidak aktif dan terlihat seperti terlantar selama beberapa tahun.
Ternyata akun terlantar itu menjadi sasaran warganet bermata tajam yang sering dijuluki sebagai mata elang, eagle’s eyes, atau ada juga yang menyebutnya ‘’mata malaikat’’. Penelusuran mata elang dan mata malaikat menemukan serangkaian bukti bahwa akun Fufufafa mempunyai hubungan langsung dengan Gibran Rakabuming Raka yang sekarang menjadi wakil presiden terpilih. Sejumlah netizen dan pengamat digital bahkan dengan tegas menyebut bahwa akun itu milik Gibran.
Unggahan-unggahan Fufufafa bisa membuat dahi berkerenyit heran atau tidak percaya. Tapi, bagi yang paham mengenai dinamika media sosial unggahan-unggahan itu bisa memperkuat pandangan yang selama ini beredar bahwa warganet Indonesia termasuk dalam kategori paling tidak beradab di Asia Tenggara.
Hasil survei Digital Civility Index (DCI) 2021 yang mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya, menemukan warganet atau netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara. Atau dengan kata lain, paling tidak sopan se-Asia Tenggara.
Riset yang dirilis oleh Microsoft itu menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir tingkat kesopanan netizen Indonesia memburuk delapan poin ke angka 76. Semakin tinggi angka tingkat kesopanan semakin buruk indeks kesopanannya. Survei itu melibatkan 16.000 responden di 32 wilayah selama kurun waktu April hingga Mei 2020.
Ada tiga faktor yang memengaruhi tingkat kesopanan netizen Indonesia. Paling tinggi adalah hoaks dan penipuan, yang naik 13 poin ke angka 47 persen. Kemudian faktor ujaran kebencian yang naik 5 poin, menjadi 27 persen. Dan ketiga adalah diskriminasi sebesar 13 persen, yang turun sebanyak 2 poin dibanding tahun lalu.
Kemunduran tingkat kesopanan paling banyak didorong pengguna usia dewasa dengan persentase 68 persen. Sementara usia remaja disebut tidak berkontribusi dalam mundurnya tingkat kesopanan digital di Indonesia.
Survei itu menjadi indikasi umum bagaimana akhlak netizen Indonesia secara keseluruhan. Mengutip Marshall McLuhan, media adalah cermin masyarakat, mirror of society. Apa yang terjadi dalam masyarakat tercermin dalam media, dan apa yang terjadi dalam media adalah cerminan kondisi masyarakat.
Karena itu, kalau akun Fufufafa itu begitu kurang ajar dalam postingannya, hal itu mencerminkan kondisi keseluruhan warganet Indonesia yang kurang ajar, dan tidak punya sopan santun sebagaimana temuan survei itu.
Postingan Fufufafa itu menjadi contoh paling kongkret bagaimana kurang ajarnya warganet Indonesia. Terlepas dari siapa pemilik Fufufafa, terlepas dari Gibran mengaku atau mungkir terhadap identitas Fufufa, akun itu menjadi contoh rendahnya etika bermedia sosial di Indonesia.
Kalau benar akun itu milik Gibran Rakabuming Raka, maka implikasinya akan semakin luas karena dia sekarang menjadi wakil presiden terpilih. Postingan yang banyak diungkap oleh netizen berkaitan dengan kebencian Fufufafa terhadap Prabowo Subianto. Unggahan itu layak disebut segagai kebencian karena sudah memenuhi unsur hate speech, ujaran kebencian sebagaimana diatur dalam UU ITE.
Hate speech atau ujaran kebencian menurut KBBI (Kamus Besa Bahasa Indonesia) adalah ujaran yang menyerukan kebencian terhadap orang atau kelompok tertentu. Ujaran kebencian juga bisa diartikan sebagai tindakan komunikasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain.
Postingan akun Fufufafa sudah memenhi unsur-unsur itu. Fufufafa secara brutal menyerang Prabowo secara pribadi. Salah satu unggahan menyebut soal anak tunggal Prabowo yang disebut punya kelainan orientasi seksual. Unggahan lainnya menyebut soal rumah tangga Prabowo.
Fufufafa terang-terangan kerap melontarkan kata-kata kasar dan tak senonoh dalam postingannya. Akun itu sering memakai ungkapan jorok dengan menyebut kelamin laki-laki maupun perempuan.
Bukan hanya Prabowo yang menjadi sasaran kebencian Fufufafa. Keluarga Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), juga menjadi target Fufufafa. Salah satunya menyasar Agus Harimurti Yudhoyono yang disebut sebagai anak ingusan.
Persoalanya menjadi serius karena menggelinding menjadi isu politik. Selama ini saluran politik formal sudah buntu. Parlemen sudah mandul dan hanya menjadi stempel kekuasaan. Maka yang muncul kemudian adalah parlemen jalanan dalam bentuk unjuk rasa mahasiswa. Maka yang kemudian muncul adalah parlemen digital yang menjadi cermin fenomena baru di dunia politik.
Demokrasi digital ini memunculkan fenomena kedaulatan demokrasi di tangan netizen, yang tidak bisa dikontrol atau dikendalikan secara total oleh kekuasaan. Rezim Joko Widodo boleh bangga bisa mengendalikan parlemen dan partai-partai politik. Rezim Prabowo boleh gagah bisa membujuk kekuatan politik besar untuk bergabung bersama. Tetapi fenomena parlemen digital telah menandai lahirnya era baru demokrasi di tangan netizen yang bisa menjadi kekuatan oposisi yag efektif. Mekanisme checks and balances yang gagal diperankan oleh DPR akan diambil alih oleh parlemen digital.
Isu Fufufafa bisa menjadi kerikil dalam sepatu yang mengganggu kenyamanan hubungan Prabowo-Gibran. Istana Negara masih bingung menyikapi isu ini. Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi—yang lebih berperan sebagai jubir keluarga Jokowi ketimbang sebagai menteri– kewalahan menghadapi serangan netizen. Kelihatannya masih dicari skenario terbaik yang bisa menjadi escape plan yang bisa meloloskan Gibran dari rendaman air panas ini.
Netizen pun sudah mengantisipasi skenario itu. Sebelum Istana menyusun skenario escape plan, netizen sudah menyerang dengan memunculkan tagar ‘’gerakan cebok nasional’’. Netizen sudah menduga bahwa akan ada skenario untuk memunculkan boneka, yang akan mengaku sebagai pemilik akun Fufufafa. Dia akan ditangkap, diadili, dan dipenjara.
Skenario itu—kalau jadi—tidak akan bisa membersihkan kotoran yang ditinggalkan di pantat Fufufafa. Anak polah bapak kepradah. Skenario Jokowi untuk memuluskan transisi kekuasaan kepada Prabowo berantakan gegara ulah kurang ajar Fufufafa.
() Dhimam Abror Djuraid
