Kado Puisi di Usia 60

waktu baca 3 menit
Kitab Kado Puisi

KEMPALAN: Sebulan lalu ada pesan masuk ke nomor WhatsApp saya dari Mbak Wina Wibowo Bojonegoro. Isinya kurang lebih begini :

Assalamu’alaikum. Pak Amang apa kabar. Pak, saya mau nodong kado puisi. Saya mau (usia) 60.

Nah, siang 11 September 2024, buku antologi puisi itu telah sampai di rumah saya. Judulnya : Kitab Kado 60. Penerbitnya Padmedia.

Setelah saya bolak-balik, dan isinya saya baca secara random, maka KK 60
berisi sejumlah puisi karya 51 penyair dari penjuru Tanah Air.
Pada antologi ini mereka terdapat di Line 1.

Sedangkan puisi-puisi lainnya ada di Line 2 karya 12 penulis anggota Perlima (Perempuan Penulis Padma) yang dipandegani Wina Wibowo Bojonegoro yang selama ini dikenal sebagai penggiat literasi di komunitas Omah Padma.

Buku antologi ini dihiasi 51 ilustrasi bernuansa abstrak karya pelukis Yoes Wibowo suami Wina.

Mereka yang ada Line 1 :

Afizal Malna, Alek Subairi, Amang Mawardi, Autar Abdillah, Arieyoko, Bagus Putu Parto, Bonari Nabonenar, Chris Triwarseno, Dadang Ari Murtono, Damhuri Muhammad, Dedy Tri Riyadi, Denny Mishar, Deny Tri Aryanti.

D. Zawawi Imron, Djoko Saryono, Don Aryadien, Denting Kemuning, Endang Sulwesi, Esthi Susanti Hudiono, Han Gagas.

Hasan Asphahani, Henri Nurcahyo, Idaman Andarmarsoko, Indra Tjahyadi, Indrian Koto, Ken Hanggara.

Kurnia Effendi, Lalu Abdul Fatah, M. Shoim Anwar, Mashdar Zainal, Mashuri, Muna Masyari, Mutia Sukma, Nanang Suryadi.

Tentang puisi Nanang Suryadi yang dosen di Unibraw ini relatif pendek, saya suka. Entah di mana penyebab rasa itu muncul. Mungkin ada di bait terakhir.

MENANDA ANGKA 60

menanda angka
di buku waktu
tahun keenam puluh

kau menatap langit
matahari cemerlang
menuju arah barat

kau tahu
hari segera senja
langit merayakan keindahan cahaya

Malang, 18 Juni 2024

Saat senja usia, alangkah suka-cita bahwa di “ufuk barat” : langit merayakan keindahan cahaya. (Kira-kira enterpretasinya : hari tua bahagia, sebagaimana harapan dan cita-cita banyak orang).

Lanjut penyair di Line 1 :

Ndindy, Oka Rusmini, Pratiwi Retnaningdyah, Ribut Wiyoto, Royyan Julian, Sasti Gotama, Soese Sastro, Stebby Julionatan, Sunlie.

Tengsoe Tjahjono, Titik Kartitiani, Trinil, Vika Wisnu, Wayan Jengki Sunarta.

Puisi Wayan menggelitik. Hampir mirip puisi humor, padahal kalau ditelisik ini puisi pitutur. Judulnya cuma satu kata: Arloji.

ARLOJI

Setiap hari kau mengelap arloji itu
Seakan benda pusaka
Saban berangkat kerja
Arloji itu selalu melingkari tanganmu

Suatu hari arloji itu rusak
Mesinnya yang tua tak berdetak
Kau panik seperti terserang katarak
Kau tak ingin kehilangan jarak
Dengan waktu yang telah mengerak
Dalam benak

Kau seperti kehilangan waktu
Di tengah gundah dan galau
Arloji itu berbunyi dalam jantungmu

2024

Pada baris pertama bait terakhir, seringkali banyak orang tidak siap : Kau seperti kehilangan waktu.

Ya, waktu sebagaimana dipahami banyak orang adalah kehidupan : harapan, cita-cita, dedikasi, laku baik-buruk — dengan segala dinamikanya.

Oke, lanjut mereka yang ada di Line 1 :

Yanusa Nugroho, Yusri Fajar, Yonathan Raharjo, dan Zoya Herawati .

*

Pada Line 2 tertulis :

Achakawa, Ayu Trisna, Endang Uban, Evie Pohan, Heti Palestina Yunani, Inge W. Benyamin.

R Wilis, Vivid Sambas, Windy Effendy, W.S. Arianti, Yulfarida Arini, Yuliani Kumudaswari.

Ada yang mengusik dari puisi karya Evie Pohan. Judulnya puitis, boleh jadi “filosofis” : Usia Usai.

Puisi ini terdiri dari empat bait. Bait ke-3 cukup sederhana, menarik :

Sedetik telah lewat
semenit melangkah pasti
Tapi jarum jam seakan mencibirku
dan berkata diriku buang-buang waktu

*

Tak kalah menarik yang ditulis Wina Wibowo Bojonegoro yang novelis dan penyair ini pada pengantar antologi KK 60.

Wina menarasikan sebab apa tanggal kelahiran yang dimundurkan yang tercatat di akte Pak Carik pada tahun 1962, padahal ia lahir pada 1964 — hingga tentang jatuh bangunnya dalam perjuangan hidup, diungkapkan dalam nuansa rendah hati, sebagaimana sama rendah hatinya persinggungan wanita energik ini dengan dunia puisi, yang tertulis pada alinea terakhir :

Ajarilah aku. Usiaku akan menjadi enam puluh saat buku ini meluncur ke hadapan Anda. Inilah tantanganku pada diri sendiri. Tua tak berarti pandai. Tua belum tentu digdaya. Aku masih belajar menulis puisi. Meskipun tak mudah. Kado-kado
inilah sejatinya puisi.

Amang Mawardi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *