Mengenang Sukaimi, Asmani, dan Suhartono
KEMPALAN: Tiga nama dalam judul tulisan tersebut adalah teman kami satu kelas di SD dan SMP yang baru saja meninggalkan kita semua. Sukaimi hanya teman di SMP. Sementara Asmani dan Suhartono, teman SD sampai SMP.
Yang tidak begitu mengejutkan kepergiannya adalah saudara kita Sukaimi, karena dia sudah lama menderita sakit. Sedangkan Asmani dan Suhartono, cukup mengejutkan, karena mereka berdua tidak ada kabar sakit.
Bahkan, konon Suhartono, baru saja melepas anaknya bekerja ke luar negeri (Taiwan). Saking tidak yakinnya kalau dia benar-benar meninggal, sampai-sampai Nukman yang mengumumkan kematiannya saat itu mengakhiri kalimatnya dengan kata-kata “kita tunggu kabar selanjutnya”.
Sementara Asmani, menurut penuturan teman kita, Bambang, dia sakit jantung. Kemudian dibawa ke Puskesmas Glagah. Setelah diobsevasi, lalu dirujuk ke RSUD Lamongan. Namun, belum sampai di RSUD Lamongan, Asmani telah menghembuskan nafas terakhirnya. Tidak ada tanda-tanda sakit sebelumnya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Yang lebih dahulu meninggalkan kita adalah Suhartono. Dia meninggal, sekitar dua atau tiga hari menjelang Bulan Ramadan lalu. Tepatnya hari Jumat, 8 Maret 2024. Disusul Asmani, pada hari Ahad, 7 Juli 2024, dan Sukemi, Rabu, 10 Juli 2024.
Sukaimi, pria asal desa Kuro, Kecamatan Karangbinangun, Kabupaten Lamongan ini, ketemu lagi dengan saya, saat reuni di Gresik. Pertemuan ini merupakan pertemuan pertama kali setelah bepisah pada tahun 1980, saat lulus SMP.
Saat itu, dia cerita panjang lebar mengenai perjalanan hidupnya mulai dari lulus SMP sampai dia sukses dalam dunia usaha. Namun, beberapa bulan setelah pertemuan di Gresik itu, saya mendengar kabar bahwa dia sakit. Saya pun kemudian menjenguknya.
Ada yang mengesankan saat saya menjenguk dia. Dia memperkenalkan saya kepada anggota keluarganya (anak dan istrinya). Dikatakan bahwa saya adalah temannya yang paling pinter. “Dia itu pandai mengaji Al-Qur’an,” katanya yang membuat saya jadi ge-er.
Beberpa bulan berikutnya, saya mendengar bahwa dia ternyata sakit struk. Karena itu, saya pun bezuk ke rumahnya, di Perum Driyo Rejo Gresik. Begitu melihat saya, dia langsung merangkul saya dan menangis sejadi-jadinya, sehingga saya pun ikut ketularan nangis. Itulah pertemuan terakhir, dan kemudian ada kabar bahwa dia telah meninggal dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Itulah pertemuan saya dengan Sukaimi. Lain Sukaimi, lain pula dengan Asmani. Setelah kita bepisah selulus SMP 1980, saya dapat kabar dari teman kita Asnan, bahwa Asmani bekerja di toko buku Gading Murni di Jl. Tunjungan Surabaya.
Maka, saya pun menemui dia di toko tempat dia bekerja. Yang paling terkesan, ketika saya menyodorkan kartu nama kepada dia, kemudian dia membacanya. (Maaf, waktu itu, kartu nama masih tergolong elit).
Setelah membacanya, dia pun terheran-heran alias terkagum-kagum, karena di kartu nama tersebut tercantum nama saya, garis bawah Wartawan Surya. “Alhamdulillah, saya bangga punya teman sukses,” kata dia sembari terus melihat kartu nama saya. Sejak itu, saya pun sering ke toko tempat dia bekerja. Kalau ada keperluan yang menyangkut alat tulis, saya pasti ke toko itu.
Sukaimi dan Asmani sudah. Sekarang giliran kesan saya dengan Suhartono. Dengan teman yang satu ini, memang pertemuan lebih sering. Dia sering main ke kantor dan rumah saya. Tapi saya belum pernah ke kantornya. Dialah yang pertama kali menggagas adanya reuni. Baik SD maupun SMP. Ada momen sekecil apa pun, dialah yang woro-woro.
Namun yang paling mengesankan bagi saya, dia itu hafal perjalanan hidup teman-teman lain. Katakanlah, kalau kita mau tahu siapa sebenarnya Asnan, Rohman, Khudhori, Nukman, Latifah, Zubaidah, Kusdiyanto, Ahmad Syafi’I, Syamsul Ma’arif, Zainun, Syai’i dan lain-lainnya (mohon maa tidak bisa menyebut satu per satu), cukup tanya sama dia.
Yang lebih lucu, ketika saya tanya tentang perjalanan hidup saya sendiri, ternyata dia dapat menceritakan dengan detail. Bahkan hal-hal yang terlewatkan dari kenangan saya, dia ceritakan semua. Subhanallah. Saya benar-benar kagum dengan teman yang satu ini. Kalau boleh saya katakan, dia itu ibaratnya ensiklopedi teman-teman. Dan sekarang ensiklopedi itu telah tiada.
Saya bersyukur, dapat bertakziah ke rumah duka pada saat hari kematiannya, dan berkesempatan memimpin salat jenazahnya. Kita semua berharap, semoga ada di antara kita yang mewarisi semangat Hartono dalam hal menjalin silaturrahmi.
Tak lupa, mari kita semua berdoa, semoga ketiga teman kita tersebut diterima segala amal salihnya dan diampuni segala dosanya. Sementara kepada keluarga yang ditinggalkan semoga diberi kesabaran oleh Allah Swt. Amin ya rabbal alamin. (Choirul Anam Djabar, Jurnalis dan Qori’ PWI Jatim)
