Polri Presisi versus Netizen

waktu baca 4 menit
Ilustrasi Polisi (*)

KEMPALAN: Fenomena “no viral no justice” membuat Polri terpaksa mereformasi citra dan kinerjanya menjadi lebih baik. Di perayaan HUT Bhayangkara ke 78, Jenderal Listyo Sigit mencanangkan semangat presisi dalam setiap pelayanan publik (masyarakat) ditengah upaya Polri dalam memperbaiki citra.

Dosa-dosa masa lalu Polri dalam penanganan berbagai kasus unpresedural serta upaya pemberian layanan publik yang baik, menjadi bahan para netizen Indonesia untuk menelanjangi wajah institusi Kamtibmas akhir-akhir ini.

Apalagi fenomena no viral no justice seolah menjadi satu jalan keluar ditengah kebuntuan masyarakat dalam mencari keadilan di tingkat penanganan terendah.

Banyak kasus yang menjadi perhatian serius saat netizen beramai-ramai menyoroti kejanggalan penanganan suatu perkara atau kejadian yang melibatkan institusi Polri. Sebut saja kasus Sambo, Mario Dandy dan terakhir Vina yang kejadiannya sudah berlangsung 8 tahun silam.

Kekuatan media sosial menciptakan sosok monster baru yang disebut netizen. Bahkan julukan mereka seringkali ditambahkan dengan maha benar.

Satu sisi netizen yang maha benar ini sangat membantu publik menyuarakan keadilan. Namun disisi yang lain, sebagian netizen yang kurang dibekali referensi akurat terkadang membuat sebuah fenomena menjadi fitnah. Idealnya, fenomena menjadi sebuah realita atau fakta bila data dan referensi yang dihadirkan presisi (akurat dan terukur).

Dalam siaran persnya, Polri mendefinisikan presisi sebagai :
kebutuhan akan sebuah sistem dalam menyatukan seluruh layanan data, memberikan kemudahan dalam membuat/membangun sebuah layanan baru, mengintegrasikan layanan yang telah ada dan membuat sebuah standarisasi layanan dari hulu hingga hilir.

Dengan kata lain Polri mendefinisikan frase presisi sebagai sebuah layanan kepada masyarakat yang integral (dari hulu ke hilir), sistemik (kesatuan sistem yang terpadu) dan komprehensif (berkelanjutan).

Mungkin Polri akan meng-analogikan ketiga faktor tersebut dengan sebuah jaringan terpadu dan tingkat akurasi yang tinggi, sehingga penanganan persoalan yang terjadi di internal maupun eksternal (masyarakat) akan tertangani secara presisi.

Namun pendekatan sistem tidaklah selalu efektif dalam penanganan kamtibmas dalam skala majemuk seperti masyarakat di Indonesia dengan keberagaman etnik, budaya, bahasa dan beragam suku bangsa dengan sebaran penduduk di ribuan kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke.

Humaniora approach (pendekatan kemanusiaan) menjadi faktor penting yang sangat dominan dalam tradisi Nusantara. Banyak persoalan Bangsa yang tuntas tertangani dengan dialog efektif dengan masyarakat. Apakah itu masyarakat adat atau masyarakat trans modern.

Satu yang tidak dimiliki Polri adalah indikator konflik akibat buntunya saluran dialogis. Bila kemudian konflik telah melewati ambang batas moderatnya, maka yang terjadi adalah kondisi destruktif masyarakat yang trigger (faktor percepatan) nya bisa bersumber dari orang per orang atau media sosial serta media-media pers jurnalistik yang telah mencapai puncak percepatan teknologinya di era ini.

Polri sendiri dalam HUT nya ke 78 juga bertekad mengawal ekonomi Indonesia yang inklusif menuju Indonesia Emas. Tema ini nampak menjadi sebuah mercusuar. Karena inklusif berarti tidak eksklusif. Keberpihakan terhadap ekonomi kemasyarakat adalah sebuah keniscayaan. Semangat membangun Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) haruslah menjadi prioritas Polri. Sinergis dengan tema dan semangat HUT Bhayangkara tahun ini. Bagaimana caranya?

Peran dan fungsi Polri sendiri selain mengemban tanggung jawab keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) juga membangun mental masyarakat serta menjaga fasilitas-fasilitas penting Negara demi kemakmuran masyarakat dan Bangsa yang sebesar-besarnya.

Asset Bangsa bukan hanya fasilitas Negara, akan tetapi sumber daya manusia (SDM) merupakan asset terpenting dalam pembangunan menuju Indonesia emas.

Enterpreneurship (kewira-usahaan) generasi muda saat ini menuju level tertinggi selama Bangsa ini ada. Pembukaan lapangan pekerjaan dari berbagai sektor pedagangan, jasa dan industri menjadikan ketahanan masyarakat Indonesia meningkat. Daya beli kita naik secara signifikan. Barang-barang produksi laku terjual. Indeks pembangunan kita naik. Berbanding terbalik dengan negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Rusia, yang indeksnya cenderung turun.

Polri semestinya berpihak pada situs-situs kewirausahaan ini untuk lebih berkembang dan menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi angkatan kerja yang setiap tahun semakin tinggi juga. Polri harusnya menjadi media komunikasi antara pelaku usaha dan para pembuat regulasi. Menjadi relasi komunikatif antara pelaku usaha dan penegak hukum lain (Kejaksaan, Kehakiman, Bea Cukai, Pajak, dan lain-lain). Sehingga masyarakat pelaku usaha mendapatkan rasa aman dan nyaman dengan dukungan penuh Kepolisian RI dari berbagai strata (tingkatan). (Aditya Roosvianto, SE, jurnalis senior di Bangkalan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *