Berburu “Madu Gila” di Tubuh Pegunungan Himalaya

waktu baca 3 menit
Berburu madu di lereng Himalaya. (Foto: konten Vice - YouTube).

KEMPALAN: YouTube menawarkan banyak tontonan, berbeda dengan stasiun televisi yang “membatasi” selera penonton karena (mungkin) keterbatasan waktu siaran. Meski demikian televisi dianggap lebih bertanggung-jawab dan berkualitas, sebagaimana siaran berita dan hiburan yang ditayangkan. (Apa betul? Saya tak hendak memperdebatkan hal itu. Silahkan menilai sendiri). 

Yang jelas, saat  berselancar di YouTube mencari video  pasar tradisional di Nepal, saya menemukan tayangan tentang berburu madu di pegunungan Annapurna di lereng pegunungan Himalaya yang dilakukan oleh suku Gurung. Perburuan ini tradisi kuno, turun temurun hingga zaman gadget yang ikutan merangsek ke kawasan terpencil itu. Mereka tidak saja bermodal berani, namun  juga sehat dan kuat.

Biasanya saya nonton YouTube berupa video yang dihasilkan vlogger, baik  secara personal atau duet. Namun, kali ini sebagaimana barusan saya jumpai,  team dokumentasi ‘Vice’  menghasilkan karya mengagumkan yang tangguh dan cermat. Mempertontonkan hal-hal mendebarkan, tanpa melupakan beberapa adegan yang bikin senyum dan manusiawi hasil wawancara pria muda berwajah Pakistan presenter video dokumenter ini dengan sejumlah tetua dan tokoh pemuda suku Gurung.

Madu yang diburu menggantung di kecuraman tebing tinggi menjulang. Dan beberapa bagian tebing terlihat melengkung ke dalam, bahkan ada yang menjorok ke rongga tubuh Himalaya.

Sarang-sarang tawon itu pun menempel pada kerak-kerak tebing, berbentuk kepingan-kepingan setengah cakram seukuran kurungan kipas angin kecil hingga  yang setengah lingkarannya bisa 3-4 kali ukuran kipas angin paling besar. 

Para pengunduh itupun memanen dengan cara memanjat, menggunakan kulit bambu yang diserut  tipis kecil memanjang, lantas dikepang dan dibentuk mirip tangga panjang. 

Kenapa disebut “madu gila”, karena  kawanan lebah di sini pada musim semi menghisap sari bunga azalea (rhododendron),  bak ‘pisau bermata dua’:  menjadi semacam obat jika diminum cukup dua tetes. Tetapi akan memabukkan jika lebih dari itu.

“Kami di sini menggunakannya sebagai obat, bukan untuk ‘pesta’,” ujar Yocho Gurung salah satu tetua Desa Talo Chipla, Distrik Namjung, kawasan dimana rumah-rumah serangga itu diburu.

Itulah zat grayanatoksin pada madu di situ yang berguna untuk menambah energi menguatkan tubuh, namun sekaligus berefek halusinasi, psikedelik. Maka itu mengkonsumsinya jangan melebihi takaran.

Untuk memanen madu ini dibutuhkan kerjasama solid. Dikerahkan sekitar 20 orang. “Mirip ‘permainan’ dalam olahraga bernuansa estafet, tetapi lebih mengandung aspek spiritual,” sebagaimana disampaikan Yocho.

Saat adegan menghadirkan tebing  memancing ngeri, teringat sekelebatan pemetik sarang burung di kecuraman batu-batu karang di dinding-dinding terjal Karangbolong, Jawa Tengah, di tepian Samudera Indonesia. Namun, ketinggian dan kecuraman di tubuh pegunungan Himalaya ini sangat-sangat ekstrem.

Dari sekeliling tebing di Nepal itu, yang terlihat adalah puncak-puncak perbukitan dan sekian lembah yang luas tak terjangkau pandangan. 

Video ini diunggah pertama kali pada 14 Juli 2019 oleh channel ‘Vice Indonesia’, dan sudah ditonton 4,3 juta kali.

Amang Mawardi, penulis, tinggal di Surabaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *