Bagaimana Cara Pelukis Menjual Lukisan?
KEMPALAN: Yang pertama, melalui pameran. Ini cara yang “paling terhormat”. Selain memberikan “pelajaran” kepada masyarakat tentang bagaimana mengapresiasi karya-karya seni, lewat ‘event’ ini biasanya pelukis menawarkan lukisan-lukisannya secara luas ke khalayak.
Yang kedua, melalui galeri atau ‘art shop’, dengan cara menitipkan yang lantas dipotong prosentase jasa penjualan jika lukisan ‘sold’. Dalam konteks ini banyak juga galeri/art shop yang melakukan beli putus.
Yang ketiga, melalui internet dengan memajang foto-foto lukisan disertai catatan ukuran, bahan untuk melukis, tahun pembuatan, piguranya menggunakan kayu apa atau produk bermerk apa, dan lain sebagainya, lebih detail dari data yang menyertai melalui cara pertama (pameran). Hanya biasanya untuk riwayat hidup pelukis, tidak sedetil yang disertakan melalui katalog atau leaflet di pameran.
Yang keempat, secara ‘face to face’ mendatangi kolektor atau calon kolektor dengan membawa katalog atau leaflet pameran lukisan yang pernah diikutinya atau foto-foto lukisan karyanya.
Yang hendak saya kisahkan adalah cara seorang pelukis papan atas di Jawa Timur dalam membina para kolektornya, yaitu dengan rutin mendatangi secara periodik, yang lebih dikenal dengan istilah “manajemen silaturahmi”.
Pelukis ini dikenal sebagai sosok yang ‘pede’, punya daya jelajah tinggi, produk perguruan tinggi seni rupa, dan sudah ratusan kali pameran bersama dan puluhan kali pameran tunggal.
Tentu saja sebagai pelukis papan atas, sebagian besar kolektornya adalah kalangan ‘the haves’. Dan (barangkali) sebagaimana kalangan papan atas, bahasa yang dikomunikasikan dikemas dengan halus dan canggih.
Para kolektor lukisannya rutin dibinanya melalui kunjungan silaturahmi. Saat bertemu kolektornya, baik di kantor maupun di rumah, ia tak pernah memulai bicara tentang karya-karyanya. Mula-mula yang diomongkan yaitu tentang situasi di luar kesenian.
Misalnya tentang olahraga, politik, bersambung kepada kehidupan para artis, bahkan masalah- masalah ekonomi global (boleh jadi tak secanggih ekonom). Baru kalau yang dikunjunginya itu bertanya tentang karya-karya terakhir, ia mulai memberikan info. Itu pun dengan sedikit-sedikit, sehingga tidak terkesan vulgar.
Suatu hari pelukis yang mobilnya lebih dari dua dan rumahnya konon berjumlah tiga ini, bersilaturahmi ke salah satu kolektornya yang direktur sebuah perusahaan. Dialog pun berlangsung gayeng. Tapi tak banyak pembicaraan mengenai dunia lukisan, termasuk tak ada pertanyaan tentang karya-karya mutakhir pelukis tadi.
Yang bisa ditangkap dari situasi ini, kolektor tersebut agaknya sedang tidak meminati lukisan-lukisannya. Mungkin akhir-akhir ini sedang sibuk dengan perusahaan, atau barangkali anak-anaknya yang kuliah di luar negeri sedang ada peningkatan biaya.
Maka berpamitanlah pelukis ‘flamboyan’ ini dengan santun. ‘Finish’?. Ternyata tidak. Saat pelukis tadi berdiri berpamitan, tiba-tiba sebuah katalog lama yang dipegangnya yang mengapit puluhan lembar foto-foto karya-karya terakhirnya, jatuh berserakan di lantai. Maka dipungutilah satu per satu foto yang jatuh oleh pelukis tadi dengan kalem dan ‘elegan’. Dan tuan rumah yang kolektor itu pun ikut membantu memunguti, lantas minta izin untuk melihat-lihat foto-foto lukisan karya-karya terakhir itu. Setelah dialog lanjutan, ‘deal’ terjadi. Lukisan pun ‘sold’.
Padahal foto-foto lukisan tadi sengaja dijatuhkannya. Siasat memikat, he-he-he…
Kisah di atas (kurang lebihnya) disampaikan sobat saya seorang pelukis yang karikaturis, teman kuliah pelukis ‘flamboyan’ tersebut.
*Amang Mawardi* – penulis sejumlah buku, tinggal di Surabaya.
