Gibran, Sjahrir, dan Muhammad Al-Fatih

waktu baca 5 menit
Gibran-Airlangga Hartarto. (ist)

KEMPALAN: Macam-macam cara orang mencari legitimasi supaya eksistensinya diakui publik. Salah satunya dengan melakukan identifikasi dengan tokoh sejarah masa silam. Presiden Joko Widodo pernah disamakan dengan Khalifah Umar bin Khattab. Sekarang, Gibran Rakabuming Raka, anak sulung presiden, disamakan dengan penguasa Kesultanan Ustmaniah Muhammad Al-Fatih.

Selain itu, ada juga yang menyamakan Gibran dengan Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia. Gibran disamakan dengan Sjahrir karena sama-sama berusia muda. Sjahrir menjadi perdana menteri dalam usia 36 tahun, dan sekarang Gibran menjadi calon wakil presiden dalam usia yang sepantaran dengan Sjahrir.

Penyamaan Gibran dengan Muhammad Al-Fatih secara implisit dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, dan penyamaan Gibran dengan Sutan Sjahrir dilakukan oleh Ketua Partai Golkar Airlangga Hartarto.

Tidak ada salahnya melakukan identifikasi dengan tokoh sejarah untuk mencari legitimasi. Tetapi, jika penyamaan itu tidak sesuai dengan fakta sejarah maka hasilnya malah rundungan dan hujatan dari netizen. Penyamaan dua tokoh yang tidak sepenuhnya paralel bahkan bisa disebut sebagai manipulsai sejarah.

Dalam sebuah acara di sebuah perguruan tinggi di Semarang Anwar Usman menyinggung soal kepemipinan Muhammad Al-Fatih. Entah siap yang membisiki Anwar Usman, entah dari mana Anwar Usman membaca referensi, sehingga dia salah menyebut Muhammad Al-Fatih sebagai panglima Islam yang ditugaskan oleh Nabi Muhammad menjadi panglima tentara Islam.

Nabi Muhammad wafat pada abad ke-7 sementara Muhammad Al-Fatih hidup pada abad ke-16, selisihnya hampir satu abad. Rupanya Anwar Usman tidak cermat membaca referensi, atau dia tidak pernah belajar sejarah Islam. Atau, mungkin, dia sengaja memanipulasi sejarah?

Sebagai ketua MK yang sedang mengadili gugatan batasan umur calon presiden dan wakil presiden, Anwar Usman tidak seharusnya memengaruhi opini publik dengan berbicara mengenai kepemimpinan anak muda. Meski tidak menyebut nama Gibran secara eksplisit, tetapi publik menduga bahwa Anwar Usman melakukan kampanye terselubung untuk mendukung upaya Gibran menjadi calon wakil presiden.

Pelanggaran dobel etika oleh Anwar terjadi karena dia merupakan paman dari Gibran. Terjadi benturan kepentingan yang nyata dalam kasus ini. Banyak pengamat hukum yang mencurigai Anwar Usman mempunyai agenda terselubung dalam proyek politik untuk mengegolkan skenario Gibran menjadi cawapres bagi Prabowo Subianto.

Ketika akhirnya MK membuat keputusan yang membuka jalan bagi Gibran untuk maju sebagai cawapres, publik tahu bahwa skenario itu sudah dipersiapkan dengan matang. Kampanye Anwar Usman yang menyebut-nyebut kepemimpinan Muhammad Al-Fatih menjadi indikasi kampanye terselubung untuk memuluskan jalan bagi Gibran.

Menyamakan Gibran dengan Muhammad Al-Fatih boleh-boleh saja. Tapi risikonya harus siap menjadi bahan rundungan dan bahan tertawaan publik. Muhammad Al-Fatih ialah pahlawan Islam yang berhasil menundukkan Konstantinopel melalui perang besar yang dipimpinnya sendiri. Usianya ketika itu masih 22 tahun.

Muhammad Al-Fatih menjadi legenda sejarah. Taktik militernya yang cemerlang bisa menghancurkan benteng Konstantinopel yang menjadi lambang supremasi militer Barat. Salah satu strategi hebat yang dilakukan Al-Fatih adalah membawa kapal-kapal perangnya menyeberangi bukit dengan menggunakan balok-balok kayu berpelicin minyak dan lemak. Dengan menyeberangi bukit itu pasukan Al-Fatih lolos dari adangan kapal lawan, dan bisa menyerang langsung ke benteng pertahanan lawan dan merebutnya.

Kisah heroik Al-Fatih ini menjadi salah satu legenda besar dalam sejarah militer dunia. Al-Fatih menjadi sultan selama kurang lebih 30 tahun dan membawa masa keemasan dalam sejarah Turki Utsmani.

Kalau Anwar Usman pernah membaca sejarah Muhammad Al-Fatih—atau setidaknya menonton filmnya—tentu dia akan berpikir serius sebelum melakukan penyamaan yang manipulatif dengan keponakannya. Sekarang Anwar Usman menghadapi pengadilan Mahkamah Kehormatan MK untuk menyelidiki kemungkinan pelanggaran etika yang dilakukannya.

Ketua Partai Golkar Airlangga Hartarto juga melakukan hal yang sama terhadap Gibran. Kali ini Airlangga menyamakan Gibran dengan Sutan Sjahrir. Kali ini agak lumayan, karena perbandingannya dengan tokoh kemerdekaan lokal. Kalau Anwar Usman dianggap lebay berat, Airlangga dianggap lebay juga.

Menyamakan Gibran dengan Sjahrir bisa dianggap sebagai manipulasi sejarah. Kecuali umurnya yang sama-sama 36 tahun, tidak ada satu pun karakteristik Gibran yang bisa dimiripkan dengan Sjahrir. Meskipun masa pemerintahannya singkat, tetapi Sjahrir mengukir sejarah emas dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Sjahrir tidak punya bapak yang menjadi presiden. Ia berjuang sejak usia muda, dan memilih jalan perlawanan ketimbang jalan kompromi. Ia diasingkan ke Boven Digul dan masuk penjara.

Ketegasan Sjahrir terlihat semasa pendudukan Jepang. Ketika itu, para pejuang senior yang diwakili Sukarno dan Hatta memilih jalan kompromi dengan tentara Jepang yang menjadi pemenang perang Asia-Pasifik. Sjahrir memilih jalan perlawanan. Ia bergerak sebagai gerilyawan dengan mengorganisasikan gerakan bawah tahan. Karena beda garis perjuangan Sjahrir sempat bersitegang dengan Sukarno-Hatta.

Pada Agustus 1945 Sjahrir mendapatkan informasi akurat bahwa Jepang sudah menyerah kepada Sekutu. Sjahrir mendesak Sukarno agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa menunggu restu Jepang. Sukarno-Hatta menolak, sampai akhirnya diculik oleh kelompok pejuang muda ke Rengasdengklok.

Setelah proklamasi kemerdekaan, Sjahrir melakukan ‘’kudeta sunyi’’ terhadap Sukarno-Hatta. Bentuk pemerintahan presidensial yang dipimpin Sukarno-Hatta diganti dengan sistem parlementer dengan Sjahrir sebagai perdana menteri. Sjahrir hanya bertahan dua tahun, tapi legasi perjuangannya bertahan lama.

Sjahrir seorang pejuang cum intelektual. Ia mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada 1948 dan tercatat sebagi partai kader yang beranggotakan poitikus intelektual dengan idealisme tinggi. Legasi Sutan Sjahrir sebagai politisi pejuang cum intelektual tertulis dengan tinta emas dalam sejarah Indonesia.

Menyamakan Gibran dengan Sjahrir menunjukkan bahwa banyak pemimpin politik Indonesia yang memanipulasi sejarah. Banyak pemimpin politik yang tidak faham sejarah dan dan menderita historical myopia alias rabun sejarah. ()

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *