Rempang, Ghana, dan Korea Selatan

waktu baca 4 menit
Polisi menembakkan gas air mata saat membubarkan unjuk rasa warga Pulau Rempang di Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, Batam, Kepulauan Riau, Senin (11/9/2023). (ANTARA FOTO)

KEMPALAN: Pada dekade 1960-an Ghana dan Korea Selatan mempunyai tingkat kesejahteraan yang sama. Penghasilan perkapita sama. Sama pula pembagian ekonominya dalam struktur primer, manufaktur, dan jasa. Kedua negara juga sama-sama pengekspor barang mentah.

Tetapi, 40 tahun kemudian kondisi kedua negara berbalik 180 derajat. Korea Selatan menjadi negara maju dengan status raksasa industri. Ekonominya ada di urutan ke-14 di dunia, pendapatan perkapita 10 kali lipat dari Ghana, dan Korea Selatan menjadi negara dengan sistem demokrasi paling stabil.

Anda yang menjadi penggemar sepak bola mengenal Ghana sebagai The Black Star yang kerap tampil di gelaran Piala Dunia. Tetapi Korea Selatan juga punya timnas sepak bola yang tidak kalah moncer dibanding Ghana.

Anda yang menggemari musik dan film pasti merasakan kehebatan K-Pop yang merajai dunia. Film drama Korea alias drakor digemari oleh emak-emak dan remaja di seluruh dunia, dan film layar lebar Korsel menembus Hollywood dan memenangkan penghargaan tertinggi Oscar.

Apa yang terjadi dengan dua negara itu? Samuel Huntington, profesor ilmu politik dari Harvard University dan Lawrence E. Harrison yang juga berasal dari Harvard mendapatkan jawaban yang sama, yaitu ‘’Culture Counts’’ atau peran budaya. Harrison menjawab dengan pertanyaan ‘’Why Culture Matters’’, mengapa budaya menjadi penting.

Faktor budaya ternyata menjadi kunci penting dalam perkembangan Korea Selatan. Sementara Ghana tetap terperangkap oleh kemiskinan atau ‘’poverty trap’’. Lawrence dan Huntington kemudian mengumpulkan tulisannya menjadi buku berjudul ‘’Culture Matters; How Values Shape Human Progress’’ (2000).

Kebudayaan sering diperbincangkan dalam pengertian yang beragam dalam lingkup pengetahuan, prilaku dan benda-benda artefak. Ada yang mengartikan kebudayaan hanya sebagai rangkaian upacara kesenian tradisional. Dalam konteks kebijakan, sering disebut kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah dengan pengertian yang sempit, sehingga selalu berada pada posisi yang tersubordinasi oleh faktor lainnya, seperti ekonomi, politik, dan globalisasi.

Huntington menempatkan budaya sebagai peran utama yang membentuk kemajuan suatu masyarakat. Huntington memberikan penghormatan yang tinggi terhadap peran budaya, ketika membandingkan Ghana dan Korea Selatan, Huntington mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa banyak faktor yang berperan. Tetapi, budaya memainkan peran besar. Orang Korea Selatan menghargai hidup hemat, investasi, kerja keras, pendidikan, organisasi, dan disiplin. Orang Ghana mempunyai nilai-nilai yang berbeda dari nilai-niai itu. Orang Korea Selatan menapaki jalan demokrasi, sementara Ghana tidak.

Dalam konteks Indonesia kita perlu mencari peta budaya menuju pembangunan ekonomi dengan kerangka yang lebih komprehensif. Kasus Ghana dan Korea Selatan bisa menjadi roadmap yang bisa dipelajari dan ditiru. Kasus Rempang menjadi pelajaran bagaimana seharusnya budaya diberi tempat yang spesial dalam pembangunan.

Pemikir Indonesia Soedjatmoko (1922-1989) sejak 1970-an sudah memberi perhatian kepada esensi manusia dalam pembangunan. Apapun yang dikerjakan dalam pembangunan akan bertumpu pada manusia, baik sebagai subjek maupun sebagai objek atau tujuan.

Kemerdekaan yang telah dicapai harus diisi dengan program-program pembangunan untuk meningkatkan harkat derajat bangsa Indonesia. Kesejahteraan ekonomi, sosial, serta kebebasan individu bisa terjamin. Hasil dari pembangunan itu ada yang tangible seperti kenaikan income per kapita, ada juga yang intangible seperti kebahagiaan. Kedua indikator itu saling berkaitan dan mempengaruhi.

Soedjatmoko menekankan pentingnya daya cipta dan daya kreasi yang dimulai dengan pembangunan ekonomi. Kemudian ia masuk ke isu penting yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak terhindarkan. Indonesia harus masuk ke dalam revolusi ilmu pengetahuan teknologi dengan memperhatikan efeknya terhadap kebudayaan.

Perubahan akibat ilmu pengetahuan dan teknologi mengakibatkan munculnya kelompok yang terpinggirkan. Hal itu karena pola pikir yang tidak mau berubah. Soedjatmoko menekankan pentingnya pendidikan untuk menghadapi perubahan.

Apa yang menjadi perhatian Soedjatmoko 50-an tahun yang lalu itu tetap relevan untuk saat ini. Teknologi adalah sebuah sarana untuk menghadapi persaingan ekonomi. Untuk mewujudkan hal ini, Indonesia tak harus mengisolasi diri, tapi harus tetap berinteraksi aktif dengan negara-negara yang dikenal maju dalam bidang teknologi modern.

Para teknolog dituntut untuk mampu mengadopsi jenis teknologi yang sesuai dengan visi-misi negara, dan tidak ikut-ikutan dengan teknolog-teknolog Barat. Soedjatmoko menyebut hal ini sebagai kemandirian berilmu pengetahuan.

Kemandirian ini akan mendorong kita sebagai sebuah bangsa yang berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negara-negara lain. Indonesia tidak sekadar menjadi objek negar-negara lain sebagai konsumen belaka, tetapi harus mampu menjadi negara produsen.

Soedjatmoko sangat pro terhadap perubahan, tetapi dia juga selalu mengingatkan pentingnya budaya bangsa. Contohnya Jepang yang ketat dengan budaya tradisional-agraris, tetapi gencar membangun ilmu pengetahuan untuk industri. Ia melihat bahwa kekuatan internal (inner strength) budaya adalah modal utama dalam kemajuan ekonomi.

Ia memprediksi India dan China akan menjadi negara maju dengan kekuatan internal, SDM, kebudayaan, penguasaan ilmu pengetahuan. Prediksi itu ia buat pada 1960-an dan sekarang menjadi kenyataan.

Pesan utama pemikiran Soedjatmoko adalah pentingnya kemanusiaan (humanity) dan kebudayaan sebagai bagian dari inner strength yang menghasilkan kreativitas yang membawa kesejahteraan melalui penyelenggaraan kelembagaan negara, dan penguasaan ilmu pengetahuan.

Kasus kekerasan di Rempang menjadi pengingat bagi kita semua mengenai pentingnya dimensi manusia dalam pembangunan. Kita semua juga diingatkan pentingnya faktor budaya dalam kemajuan sebuah bangsa.

Pembangunan untuk pembangunan an sich hanya akan melahirkan bencana sosial, ekonomi, dan politik. Kita harus belajar dari sejarah, dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. ()

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *