Demi Masa Depan Partai Golkar, Airlangga Harus Lepaskan Jabatan Menteri!

waktu baca 4 menit
Yusuf Husni (kanan) bersama anggota Dewan Pakar PG Ridwan Hisyam.

SURABAYA-KEMPALAN: Desakan agar Airlangga Hartarto (AH) mengundurkan diri sebagai Ketua Umum Partai Golkar (PG) terus bergulir. Terakhir, AH diminta untuk mengundurkan diri sebagai menteri. Dia juga diminta untuk sementara meletakkan jabatannya sebagai Ketum PG dengan menunjuk Pelaksana Tugas (Plt).

Harapannya, AH bisa lebih fokus untuk mengurusi partai. Apalagi elektabilitas PG saat ini lagi menurun dan AH sendiri sedang menghadapi masalah hukum.

“Ketum AH sebagai Menteri adalah pembantunya Presiden. Sedang partai adalah pembantunya rakyat dan wajib dekat dengan rakyat. Maka, demi masa depan partai, Ketum AH harus melepaskan jabatan Menteri untuk konsentrasi penuh mengurus PG dalam waktu yang sangat singkat ini,” kata Yusuf Husni, Penasihat Partai Golkar Jatim, Senin (25/7).

Selanjutnya, AH diminta konsolidasi dengan seluruh kekuatan partai agar soliditas tetap terjaga. “Sapa rakyat dan perjuangkan berbagai masalahnya,” ujar Yusuf.

Sedang terkait masalah hukum yang kini sedang dihadapi, Yusuf menyarankan Ketum AH untuk sementara waktu non aktif dengan menunjuk Pelaksana Tugas (Plt).

“Ini agar AH lebih konsentrasi menghadapi masalah hukum. Nanti bila sudah selesai dan tidak ada masalah, silakan kembali menjabat sebagai Ketua Umum,” saran Yusuf Husni yang juga Ketua Umum PPK-K57.

Yusuf juga mendesak agar AH segera laksanakan amanat munas dengan membentuk poros baru. Setelah itu, segera tentukan capres secepatnya agar ada kepastian sikap politik dari PG.

“Jangan buat dungu politik kader partai di bawah, karena sampai saat ini jargon politik “Erlangga Presiden” masih terus dikumandangkan. Padahal, sudah sangat jelas jika peluang AH menjadi Presiden hanya tinggal mimpi buruk yang tidak mungkin terwujud,” tegas Yusuf Husni.

Paradigma Baru PG

Yusuf Husni juga menjelaskan paradigma baru PG. Menurutnya, semua rakyat Indonesia supaya memahami hal ini, terutama kader Partai Golkar (PG).

Dijelaskan, PG dengan paradigma baru didesain sebagai  partai modern, mandiri, kuat, berakar,  responsif, terbuka, dan toleran,  yang dikelola secara demokratis. Bukan otoritarian yang dulu hanya sebagai alat mesin politik penguasa selaku pemilik saham terbesar. Sehingga, partai perannya hanya sebagai mesin pemilu untuk melegitimasi kekuasaan.

Watak politik dan jati diri PG adalah sebagai kekuatan pemberharu. Paradigma baru PG mewujudkan pembaharuan internal, terutama struktur atau kelembagaan.

“Karena waktu itu penguasa mempunyai akses  politik yang terlalu besar, sehingga tidak bisa mandiri. Semua apa kata penguasa. Boleh dibilang, partai hanya sebagai stempel politik penguasa,” bebernya.

Dengan perubahan struktur organisasi, dulu peran pembina (penguasa) sangat dominan sebagai pemilik saham terbesar. Namun dengan paradigma baru,  sekarang sudah berubah. Pemilik saham terbesar PG adalah rakyat. Jargonnya, “Suara rakyat adalah suara Golkar”.

Perubahan yang sangat mendasar, lanjut Yusuf, partai dikelola dengan mekanisme kolektif kolegial. Bukan otoritarian, yaitu apa kata pembina atau Ketua Umum.

“Perubahan perilaku politik ini wajib dipahami oleh kader PG. Sekarang PG sedang dilihat, diperhatikan, dan dinilai kesungguhannya dalam melasanakan perubahan dengan paradigma barunya,” tuturnya.

Amanat Munas PG 2019 dengan memberikan kewenangan penuh kepada Ketua Umum untuk menentukan capres dan cawapres, menurut Yusuf, merupakan bentuk pengingkaran dari paradigma baru PG. Karena telah menutup ruang capres kepada kader lain.

Ironisnya  kewenangan yang diberikan tersebut dipakai sendiri oleh AH untuk mencalonkan. Dengan leluasa melakukan sosialisai diri di internal partai. Jargonnya, wajib di setiap acara konsolidasi partai para kader PG meneriakkan yel-yel “Golkar Menang,  Erlangga Presiden”.

Faktanya, realita politik yang didapat ternyata elektabilitas partai dan AH tidak seperti yang diharapkan. Berdasarkan matematik politik, modal 85 kursi di DPR RI seharusnya elektabilasnya sama. Namun, realitanya di bawah jauh dari potensi politik yang dimiliki.

Mengapa target tidak tecapai? Karena “salah kelola”. Sehingga pemilik saham banyak yang menarik sahamnya.

Lantas, apa bedanya dengan perilaku politik Golkar lama? Kalau semua apa kata Ketua Umum. Karena itu,  wajib diingatkan dalam bentuk otokritik demi kelangsungan masa depan partai.

“Semangatnya ingin merubah, tapi perilaku politik otoriannya tetap dipelihara. Karena sudah buta, bisu, dan tuli politik. Sehingga, mengingatkannya pun terpaksa di ruang publik,” katanya.

Kalau masih tidak didengar, lanjut Yusuf, karena pihaknya sebagai rakyat adalah pemilik saham terbesar dan tidak mengharapkan di Pemilu 2024 PG hancur, maka jalan satu-satunya adalah mengganti nahkodanya melalui Munaslub.

“Kami sangat paham Munaslub tidak mudah. Pasalnya,  persyaratannya harus dusetujui 2/3 pemilik suara DPD Provinsi.
Namun, paling tidak materi otokritik bisa mengingatkan atas kesalahan yang telah dilakukan,” pungkas politikus senior Partai Golkar yang akrab disapa Cak Ucuf ini. (Dwi Arifin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *