Penunggang Gajah, Agama, dan Politik

waktu baca 4 menit
Ilustrasi

KEMPALAN: Beberapa tahun terakhir ini ada sesuatu yang berbeda dalam situasi kebangsaan kita. Terasa ada garis demarkasi yang membelah masyarakat menjadi dua dan menjadikan bangsa ini ‘’ a divided nation’’, bangsa yang terbelah. Isu apa pun yang muncul hampir selalu membelah opini bangsa ini menjadi dua kubu yang berhadap-hadapan secara detrimental. Satu kadrun, lainnya cebong.

Berbagai isu, mulai dari penetapan Hari Raya, sampai pemilihan calon presiden selalu membelah masyarakat menjadi dua. Polarisasi itu sengit dan tajam, membuat diskusi isu publik menjadi tidak sehat. Orang tidak peduli soal kesahihan argumen atau penjelasan yang lebih rasional. Orang lebih suka memakai argumen ‘’pokok’’, pokoknya saya yang benar.

Perdebatan bisa menukik tajam ke ranah SARA (suku, agama, ras, antar-golongan), dan pembahasan menjadi sangat kental bernuansa moral dan agama. Masing-masing pihak merasa telah memberi argumen yang kuat dan tak bisa dibantah. Masing-masing pihak menuduh pihak lain “bodoh”, “sesat pikir”, dan “dungu”.

Pada dasarnya manusia adalah orang-orang yang baik. Tapi, mengapa kemudian orang-orang yang baik itu mudah terbelah akibat pilihan politik atau agama? Jonathan Haidt, ahli psikologi moral dari Amerika Serikat mencoba menjelaskan fenomena itu. Dalam buku ‘’The Rightuos Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion’’ (2012) ia meneliti mengapa orang-orang baik bisa saling terpisah karena pilihan politik dan isu agama.

Pembelahan itu terjadi karena adanya perbedaan standar moral dan standar rasional di masing-masing pihak. Haidt memberi ilustrasi seorang pria yang sedang menunggang gajah. Intuisi moral digambarkan sebagai gajah, dan nalar logika digambarkan sebagai penunggang gajah. Orang akan mengira bahwa penunggang gajah akan bisa mengendalikan tunggangannya. Kenyataannya terbalik, penunggang gajah sebenarnya melayani kebutuhan sang gajah. Artinya, penilaian rasional akan selalu kalah oleh penilaian moral yang subjektif.

Selama berpuluh tahun psikologi moral didominasi pandangan bahwa manusia pada dasarnya rasional, sehingga penilaian moralnya juga kurang lebih rasional. Haidt memaparkan argumen dan bukti bahwa pandangan itu tidak tepat, tidak sesuai dengan fitrah manusia.

Haidt memperkenalkan teori Moral Foundations Theory (MFT) untuk memahami fenomena keterbelahan politik seperti yang terjadi di Indonesia. Kita bisa melihat bagaimana publik memberi penilaian moral terhadap Ganjar Pranowo yang mengaku suka menonton film biru.

Evaluasi moral lebih mirip dengan penilaian estetis ketimbang penalaran berbasis rasio. Kalaupun ada proses penalaran, maka hal itu lebih dipicu oleh tuntutan sosial untuk memberi penjelasan dan justifikasi. Penalaran moral itu dilakukan lebih karena alasan strategis sosial ketimbang untuk menemukan kebenaran argumen.

Lihatlah laman sosial media pendukung Anies dan Ganjar dan amati “diskusi” yang berkembang di sana. Argumentasi yang muncul tidak didasari oleh penalaran untuk mencari kebenaran, melainkan hanya untuk mencari pembenaran bagi pandangan kubu sendiri.

Tak heran sesat pikir logika bertebaran dalam argumentasi semacam itu. Masing-masing kubu tidak mencari kebenaran tetapi mencari pembenaran. Orang lebih senang mendengarkan argumen yang sesuai dengan pandangannya, itulah efek echo chamber, ruang yang menggaung, yang diberikan oleh media sosial. Media sosial sering disebut sebagai penyebab polarisasi, tetapi sebenarnya media sosial hanya menjadi amplifikasi dari polarisasi yang sudah ada di tengah masyarakat.

Apa yang membuat sebagian orang menjadi cebong dan sebagian lain menjadi kampret? Menurut Haidt, karena tiap orang punya fondasi moral yang berbeda. Fondasi moral itu adalah intuisi bukan rasio. Tiap orang punya intuisi yang berbeda. Ada yang intuisinya lebih cocok dengan Anies Baswedan, ada yang lebih cocok dengan Ganjar Pranowo, ada yang lebih sreg dengan Prabowo Subianto.

Kelompok ‘’kadrun’’ mendasarkan standar moralnya kepada agama, sedangkan kelompok ‘’cebong’’ mendasaran standar moralnya kepada liberalisme dan kebebasan individual. Dua hal ini seperti minyak dan air yang tidak bisa dipersatukan.

Moralitas mengikat manusia ke dalam kelompok-kelompok yang dapat bekerja sama secara efektif. Dengan kesamaan nilai moral, manusia lebih mudah saling membantu, lebih mudah mengidentifikasi siapa yang bisa dipercaya, dan dengan demikian lebih layak untuk dimasukkan ke dalam kelompoknya.

Haidt berpendapay bahwa tidak mungkin mengubah kubu, atau mengubah pandangan seseorang, apalagi pandangan moral, hanya dengan argumentasi logis atau data. Kita harus menyentuh intuisi yang lain, kita harus berupaya menggerakkan sang gajah. Hal ini butuh waktu yang lebih lama. Namun kemungkinan berhasilnya juga lebih besar. Untuk itu hal penting yang dibutuhkan adalah empati. Kita perlu selalu mencoba mencari dan menemukan persamaan ketimbang menonjolkan perbedaan.

Manusia secara naluriah lebih suka membentuk kelompok yang membuat nyaman karena ada kesamaan. Naluri itu tak bisa dihindari atau dipadamkan sama sekali. Tetapi, kita bisa memperluas batas kelompok, memperbesar cakupan kelompok.

Awalnya, secara alami manusia hanya peduli kepada kerabat terdekat saja. Namun kita kemudian bisa peduli kepada rekan sekampung, atau kelompok etnis, atau kelompok agama, atau kelompok hobi dan olahraga. Idealnya kita terus meluaskan empati pada kelompok yang semakin besar, yang mencakup semakin beragam anggota, seperti kelompok kebangsaan, lalu kelompok kemanusiaan.

Mungkin ini terasa sebagai angan-angan yang jauh. Mungkin ini lebih mirip khayalan, seperti yang disenandungkan John Lenon dalam lagu ‘’Imagine’’. ()

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *