Anomali CWLS: Mengawal dan Mengurai Perbedaan Pendapat (2)

waktu baca 4 menit
Dr. Khairunnisa Musari, Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) & Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq; Sekretaris 1 DPW Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Jawa Timur.

KEMPALAN: “A novel financing mechanism, “Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS)” has been selected as the first-place winner of the prestigious Islamic Development Bank (IsDB) Prize for Impactful Achievement in Islamic Economics for the year 1444H (2023).”

Demikian pembuka newsletter pada surat elektronik yang saya terima dari akun IsDB Institute pada 19 April 2023 lalu. Kabar ini tentu saja membahagiakan dan membanggakan untuk Indonesia. Penghargaan yang sudah mulai diberikan IsDB sejak tahun 1988 ini belum pernah jatuh pada Indonesia.

Raihan penghargaan CWLS tentunya bukan tanpa argumen kuat. Sebagaimana disampaikan pada surat elektronik, web, dan media sosialnya, IsDB menjelaskan pertimbangan lembaga ini menetapkan CWLS sebagai pemenang,

“The concept of permanent and temporary cash waqf has been around for centuries. However, CWLS is the first large-scale program to finance public projects via non-profit instruments supervised by the government. This form of financing shall enhance the diversity of the Islamic capital markets and support the integration between commercial and social Islamic finance.

The present CWLS model can be enhanced in many ways to make a stronger and more lasting impact. The model has great potential, and the prize aims to encourage the winner and other Islamic financial institutions to capitalize on it and take it to the next level.”

Pertimbangan menetapkan CWLS sebagai pemenang mengindikasikan sedikitnya tiga hal.

Pertama, instrumen ini diakui memiliki kemampuan menjawab tantangan ekonomi, keuangan, dan pembangunan ke depan, baik di Indonesia maupun dunia.

Kedua, instrumen ini diakui memenuhi prinsip syariah dan memberi implikasi yang sejalan dengan nilai-nilai maqasid al-shari’a.

Ketiga, instrumen ini diakui sebagai inovasi karena mengintegrasikan keuangan komersial Islam dan keuangan sosial Islam. Saya menyebutnya dalam makalah yang saya presentasikan tahun 2020 pada perhelatan 12th International Conference on Islamic Economics and Finance (ICIEF) di Turki dengan “A New Blended Finance of Fiscal Instrument for Sustainable Socio-Economic Development”.

Mengawal dan Mengurai

Saya pribadi, meskipun bukan menjadi bagian dari think tank instrumen ini, tentu ikut bahagia dan bangga. Pengakuan IsDB pada CWLS sekaligus mengurai perbedaan pendapat yang terjadi pada kolaborasi sukuk dan wakaf dalam satu entitas, sekaligus perbedaan pendapat terkait keberadaan kontrak wakaf uang secara temporer.

Pada 2021, sebagai upaya untuk menjelaskan secara akademik kepada Prof. Murat Çizakça, Professor of Comparative Economic History dari KTO Karatay University, yang mengkritisi CWLS, saya menuliskan dan mempresentasikan secara virtual “Between Esham and Cash Waqf Linked Sukuk to Fiscal and Development Sustainability: Comparative Analysis” pada program Research Center for Islamic Economics (IKAM)’s 9th Islamic Economics Workshop diTurki.

Pada tahun yang sama, masih tetap dalam upaya mengurai kritik Prof. Murat Çizakça terhadap CWLS, saya mencoba terus mempelajari eksistensi esham yang direkomendasi beliau sebagai instrumen yang paling tepat disandingkan dengan wakaf pada “Esham, the Origin of Sukuk for Facing the Crisis: Historical Experience”.

Saya menerima apa yang disampaikan beliau, “I have reached these conclusions after examining and comparing these historical and modern instruments from the perspective of institutional evolution. But it is quite possible and even most likely that the modern sukuk was re-invented by financial engineers who had no idea of institutional history – a huge waste of creative energy and talent.”

Tentu, pemikiran Prof. Murat Çizakça tidak dapat diabaikan. Beliau telah mendedikasikan diri pada pekerjaan akademisnya dalam bidang Comparative Economic History selama hampir setengah abad. Akumulasi pengetahuannya adalah masukan berharga untuk mengawal CWLS. Kritiknya tentu bukanlah threat, tetapi opportunity sekaligus challenge untuk perbaikan dan pengembangan CWLS ke depan.  

Pada 2022, saya kembali menuliskan book chapter berjudul “A Comparative Study of Islamic Fiscal Instrument Securitization in History to Modern Ages: Esham, Sukuk, Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS)” dengan penerbit IGI Global diHershey, Pennsylvania. Tujuannya lagi-lagi tidak hanya mempromosikan CWLS, tetapi juga mencoba memetakan peluang pengembangannya untuk menemukan skema public borrowing yang lebih baik ke depan dengan mengambil pelajaran dari instrumen historis sebagaimana masukan Prof. Murat Çizakça.

Tentu saja ketika saya berupaya menjelaskan tentang CWLS, hal tersebut bukan sekedar masalah nasionalisme semata untuk mengawal instrumen ini. Tetapi, sebagai bentuk tanggung jawab keilmuan. Seperti halnya beberapa tahun lalu saat isu dana haji diinvestasikan pada pembangunan infrastruktur, ada asymmetric information pada pemberitaan media massa yang menimbulkan misleading interpretation pada publik.

Dari perspektif keuangan syariah, sukuk dengan berbagai variannya, termasuk CWLS, menjadi instrumen pembiayaan yang lebih baik dan bermartabat daripada obligasi atau mencari utang luar negeri. Selain memenuhi prinsip-prinsip syariah, sukuk mengandung unsur kerjasama dan investasi serta menghindari money creation.

Lalu, bagaimana peluang dan tantangan CWLS ke depan? Dan bagaimana meningkatkan jumlah investor CWLS yang belum terjawab pada tulisan seri ke-2 ini? Tunggu ya artikel selanjutnya yang juga menjadi pamungkas dari tiga seri tulisan ini…

Wallahua’lam bish showab.

Dr. Khairunnisa Musari, Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) & Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq; Sekretaris 1 DPW Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Jawa Timur

Editor: Freddy Mutiara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *