Ketika BSI ‘Lumpuh’ 5 Hari
KEMPALAN: Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Jawa Timur merilis siaran pers berisi sikap dan rekomendasi terkait gangguan layanan ATM dan mobile banking PT Bank Syariah Indonesia (Persero) Tbk atau BSI.
Sebagaimana diketahui, sejak Senin, 8 Mei 2023, layanan ATM dan BSI Mobile mengalami ‘kelumpuhan’. Salah satu media sosial BSI mengumumkan adanya maintenance pada sistem yang berbuah 16.500 komentar bermunculan.
Pada hari kedua, Selasa, 9 Mei 2023, BSI kembali merilis pengumuman tentang adanya kendala yang terjadi pada layanan BSI, namun nasabah dikatakan telah dapat melakukan transaksi melalui Kantor Cabang dan ATM BSI. Pengumuman ini mengundang lebih dari 22.100 komentar.
Meskipun BSI menyampaikan bahwa nasabah telah dapat melakukan transaksi melalui Kantor Cabang dan ATM BSI, serta secara bertahap layanan BSI Mobile juga akan segera dapat digunakan kembali, berbagai komentar yang ada menunjukkan bahwa transaksi masih bermasalah hingga Kamis malam.
Demikian pula pada Jumat pagi, 12 Mei 2023, keluhan masih terus bermunculan. Transaksi sudah mulai pulih, namun hanya sebatas mengecek saldo, tidak bisa melakukan transfer atau transaksi lainnya. Saya pun mengalaminya. Barulah pada Jumat sore, dalam rangka percobaan sekaligus untuk berjaga-jaga jika ada kebutuhan likuiditas, saya dapat memindahkan sebagian tabungan melalui BSI Mobile pada rekening bank lain.
Menyikapi ‘lumpuhnya’ layanan BSI hingga lima hari, IAEI Jawa Timur menginisiasi untuk menyampaikan sikap dan rekomendasi kepada sejumlah pihak. Meskipun layanan BSI pada Jumat sore sore hingga malam sudah pulih, tidak ada jaminan situasi ini tak berulang ke depan. Bahkan sekalipun sekelas bank badan usaha milik negara (BUMN).
Tidak bisa dipungkiri, gangguan layanan ATM dan BSI Mobile beberapa hari terakhir adalah durasi yang cukup lama dan sudah melunturkan kepercayaan nasabah, termasuk para penggiat ekonomi syariah yang dituntut realistis. Untuk itu, IAEI Jawa Timur merasa perlu hadir untuk turut meredakan dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap industri keuangan syariah dan ekonomi syariah, khususnya pada perbankan syariah.
Sebagai bank syariah terbesar di Indonesia dan menempati peringkat ke-6 bank terbesar dari sekitar 120 bank yang ada di Indonesia, gangguan selama hampir sepekan tidak saja menggoyang BSI sebagai entitas bisnis, tetapi juga menggoyang kepercayaan masyarakat terhadap industri keuangan syariah dan ekonomi syariah. Hal ini terindikasikan dari berbagai keluhan dan komentar nasabah maupun nonnasabah BSI di berbagai media sosial, termasuk yang diterima para pengurus IAEI Jawa Timur.
Sikap IAEI Jawa Timur
Ada lima sikap yang diambil IAEI Jawa Timur terkait ‘lumpuhnya’ layanan BSI.
Pertama, ikut prihatin dan menyayangkan terjadinya gangguan layanan BSI hingga hampir sepekan.
Kedua, mendorong pihak BSI, terutama pada level manajemen puncak, untuk melakukan muhasabah dengan mengevaluasi budaya dan kinerja operasional organisasi yang mungkin ada yang menyalahi prinsip-prinsip keuangan dan ekonomi syariah, baik kepada pihak internal maupun eksternal.
Ketiga, mendorong manajemen puncak BSI untuk secara terbuka dan transparan menyampaikan kepada publik, termasuk kepada otoritas terkait, perihal gangguan tersebut, baik karena kesengajaan maupun ketidaksengajaan, dari pihak internal maupun eksternal, yang diikuti dengan penguatan keamanan siber BSI.
Keempat, mendorong otoritas terkait, khususnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), untuk mengambil tindakan dalam rangka mitigasi risiko dan perlindungan konsumen serta memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan syariah.
Kelima, mendorong Dewan Pimpinan Pusat (DPP) IAEI bersama jaringannya menyuarakan kepada BSI dan otoritas terkait untuk melakukan berbagai upaya dalam rangka mitigasi risiko dan perlindungan konsumen serta memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan syariah.
Rekomendasi IAEI Jawa Timur
Demikian pula terdapat lima rekomendasi yang disampaikan IAEI Jawa Timur.
Pertama, kepada Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) untuk meminta penjelasan kepada Dewan Pengawas Syariah (DPS) BSI terkait budaya dan kinerja operasional organisasi BSI yang mungkin ada yang menyalahi atau meninggalkan prinsip-prinsip hasanah, baik kepada pihak internal maupun eksternal.
Kedua, kepada OJK, BI, dan LPS untuk ikut meredam keresahan masyarakat, khususnya nasabah BSI, dengan memberi pernyataan-pernyataan pada publik tentang jaminan keamanan dana nasabah dan segera akan melakukan pemulihan terhadap layanan BSI sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawab dari masing-masing lembaga ini.
Ketiga, kepada Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk mengusut dugaan terjadinya kejahatan siber, baik berupa computer crime maupun computer-related crime, pada sistem BSI.
Keempat, kepada masyarakat untuk tetap tenang dan tidak memberi pernyataan-pernyataan yang berbasis dugaan-dugaan agar tidak menambah keresahan bagi nasabah BSI, serta memberi masukan-masukan solutif kepada nasabah BSI tanpa harus merusak kepercayaan mereka kepada perbankan syariah.
Kelima, kepada penggiat ekonomi dan keuangan syariah untuk terus memberi penjelasan yang baik kepada masyarakat bahwa teknologi juga memiliki kerentanan, termasuk adanya potensi akan terjadinya kejahatan siber yang dapat menyerang lembaga, instansi, organisasi apapun, termasuk pada yang berafiliasi atau berlabel syariah sekalipun. Untuk itu, penguasaan teknologi pada era digitalisasi menjadi unsur yang harus eksis dalam ekosistem keuangan dan ekonomi syariah.
Penguatan Ekosistem
Sewajarnya, yang terjadi pada BSI memantik berbagai dugaan, termasuk dugaan kuat adanya kejahatan siber pada sistem BSI. Tidak bisa dihindari, puncak kekecewaan nasabah diantaranya berujung pada pemindahan dana kembali pada bank konvensional.
Seyogyanya otoritas dan semua yang bergiat pada ekonomi dan keuangan syariah, termasuk para penggiat IAEI, untuk terus membenahi diri. ‘Lumpuhnya’ layanan BSI mengindikasikan perlunya penguatan ekosistem ekonomi dan keuangan syariah, termasuk diantaranya perlindungan dari kejahatan siber, terlepas benar atau tidaknya hal tersebut menjadi penyebab ‘lumpuhnya’ BSI.
Demikian pula bagi BSI, ‘lumpuhnya’ layanan selama berhari-hari menjadi momentum untuk mengevaluasi dan memperbaiki kinerja organisasi. ‘Ujian’ ini tidak sekedar menjadi ‘teguran’, tetapi juga sejatinya menjadi sarana untuk BSI menjadi lebih baik dalam mengemban amanah keuangan syariah ke depan. Wallahua’lam bish showab.
Dr. Khairunnisa Musari, Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) & Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq; Sekretaris 1 DPW Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Jawa Timur.
