Puan dan Meme Tikus

KEMPALAN: Ketua DPR RI Puan Maharani menjadi sasaran kritik keras BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Universitas Indonesia (UI). Dalam sebuah unggahan di laman media sosial BEM UI muncul sosok Puan dengan badan tikus dengan latar belakang gedung DPR RI.
Meme ini muncul setelah DPR RI mengesahkan Perpu Cipta Kerja menjadi undang-undang. BEM UI marah karena menganggap Puan Maharani tidak bekerja untuk rakyat, dan lembaga yang dipimpinnya bukan lembaga yang mewakili aspirasi rakyat. BEM UI menyebut DPR bukan Dewan Perwakilan Rakyat melainkan Dewan Perampok Rakyat.
Ini bukan kali pertama BEM UI mengeluarkan kritik yang keras kepada pemerintah. Pada 2021 BEM UI mengkritik Presiden Joko Widodo dengan menjulukinya sebagai “The King of Lip Service”.
Dalam unggahan di laman media sosial resmi, BEM UI menyertakan foto Presiden Jokowi dengan mahkota raja disertai dengan narasi ‘’Jokowi: The King of Lip Service’’. Mereka menyebut Jokowi tidak konsisten antara ucapan dan kenyataan. ‘’Jokowi kerap kali mengobral janji manisnya, tetapi realitanya sering kali juga tak selaras. Katanya begini, faktanya begitu. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK, dan rentetan janji lainnya. Semua mengindikasikan bahwa perkataan yang dilontarkan tidak lebih dari sekadar bentuk “lip service” semata. Berhenti membual, rakyat sudah mual!’’ Begitu narasi yang menyertai foto itu.
BEM UI mengatakan bahwa postingan itu tidak diniatkan untuk menyikapi isu tertentu yang beredar. Mereka hanya mereview ulang bagaimana Presiden menyikapi berbagai isu. Unggahan itu didasarkan kompilasi dari berita yang beredar.
Kritik dari BEM UI mendapatkan reaksi keras dari berbagai kalangan. Pengurus BEM UI bahkan dipanggil oleh pihak akademi untuk mengklarifikasi unggahan itu. Jokowi kemudian ikut menanggapi kritikan BEM UI. Menurutnya, kritikan itu merupakan bentuk ekspresi mahasiswa dan sah-sah saja dan universitas tidak perlu menghalangi mahasiswa berekspresi.
Pernyataan Jokowi kemudian ditanggapi BEM UI. Mereka menyebut masyarakat Indonesia tak bebas berekspresi di era Jokowi. “Presiden Jokowi pernah meminta masyarakat untuk aktif menyampaikan kritik. Sayangnya, menurut mereka, kenyataan berbanding terbalik dengan ucapan sang Presiden.
Menurut BEM UI, sebanyak 52,1 persen masyarakat Indonesia merasa ancaman kebebasan sipil meningkat. Hal ini berakibat pula terhadap meningkatnya ketakutan masyarakat dalam berpendapat, berekspresi, berkumpul, dan berserikat.
Pada Oktober 2022, BEM UI kembali membuat unggahan kritikan terhadap Jokowi. Mereka memposting video berdurasi 16 di Twitter pada Senin, 25 Oktober 2022. Video itu memuat potret Jokowi dengan hidung panjang mirip Pinokio. Selain Jokowi, Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga dikritik. Ma’ruf digambar di belakang dengan tangan memegang erat pundak Jokowi. Pada bagian latar, terdapat tulisan “Kerja! Kerja! Kerja! Tapi sia-sia”.
BEM UI juga membuat utasan berisi pujian satire. Menurut mereka, Jokowi adalah contoh baik tentang seorang Presiden yang dipilih dengan suara rakyat. Namun, menurut BEM UI, kendati dipilih rakyat, Jokowi tak pernah berpihak kepada rakyatnya. “Tidak pernah menunjukkan keberpihakannya pada rakyat dan sering memperburuk sendi-sendi kehidupan rakyat.”
BEM UI juga menyindir kedudukan Ma’ruf Amin. Menurut mereka, keberadaan sang wakil presiden tak lebih dari sekadar simbol dan pajangan di depan kelas sekolah dasar. “Bagaimana mungkin kita menuju kemajuan jika negara ini dipimpin oleh pendusta dan sebuah foto pajangan?”
BEM UI tidak kapok. Sekarang mereka mengritik Puan Maharani dan DPR RI. Video diawali dengan penampakan Gedung Kura-Kura DPR. Gedung tersebut terbelah dan muncul tikus berkepala Ketua DPR RI Puan Maharani bersama dua tikus lainnya. Meme Puan Maharani berbadan tikus ini langsung jadi sorotan dan perbincangan publik. Mereka tanpa tedeng aling-aling menyebut DPR sebagai Dewan Perampok Rakyat.
Ketua BEM UI Melki Sedek Huang mengatakan, DPR tak pantas menyandang nama sebagai Dewan Perwakilan Rakyat. Menurutnya, kini DPR lebih pantas disebut sebagai Dewan Perampok, Penindas ataupun Penghianat Rakyat. Kritikan ini merupakan buntut pengesahan Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang pada 21 Maret.
Sehari kemudian, Aliansi BEM se-UI mengeluarkan pernyataan sikap. Mereka mengecam Jokowi dan DPR yang telah mengkhianati UUD 1945 melalui pengesahan Perpu Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja. Mereka mendesak Presiden dan DPR membatalkan UU Cipta Kerja ini. “Mengajak seluruh elemen masyarakat sipil untuk bersama-sama menyuarakan perlawanan terhadap pengesahan RUU tentang Penetapan Perpu Ciptaker,” demikian tuntutan mereka.
Reaksi pun bermunculan seperti bemper yang menjadi tameng Puan dan Jokowi. Seperti biasanya, retorika yang dipakai oleh para pembela rezim adalah ‘’kill the messenger’’ membunuh sang pengirin pesan. Alih-alih menjawab substansi kritik, para pembela rezim lebih suka menyerang aktivis BEM UI.
Ada yang mengancam dengan UU ITE, dan ada yang menuduh BEM UI ditunggangi kepentingan politik dan bersikap seperti LSM ketimbang sebagai kelompok intelektual. Yang paling keras menyerang BEM UI adalah Faldo Maldini, mantan ketua BEM UI yang sekarang bekerja sebagai juru bicara di Sekretariat Negara. Faldo pernah menjadi caleg PAN tapi gagal. Faldo kemudian meloncat ke PSI tapi tidak pernah terdengar kiprahnya. Sekarang menjadi juru bicara pemerintah melalui Setneg.
Selama menjadi ketua BEM Faldo juga sering melakukan unjuk rasa. Kalau sekarang Faldo menyebut para juniornya ditunggangi oleh kepentingan politk mungkin Faldo punya pengalaman pribadi yang sama.
Serangan terhadap Puan Maharani terasa telak dan makin membuat reputasinya anjlok ke titik nadir. Selama ini elektabilitas Puan sebagai calon presiden tidak beranjak dari satu koma. Meme tikus ini akan membuat elektabilitas Puan tenggelam. (*)
