Raja Gurit Ing Jagate para Penggurit

waktu baca 3 menit
Widodo Basuki dan karya buku kumpulan guritan bersama PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya). (Foto: AmAm

OLEH: Aming Aminoedhin

KEMPALAN: Rubrik jagat sastra setiap Ahad di kempalan.com , kali ini menampilkan penggurit atau penulis puisi berba-hasa Jawa. Pilihan kali ini, sosok yang lelaki yang setiap kali tampil baca gurit suka mengawali dengan tembang atau macapatan versi Gresikan. Nama penggurit itu Widodo Basuki, asli orang Jawa, kelahiran Trenggalek, 18 Juli 1967 ini.

Dalam jagat sastra Jawa, utamanya barisan para penggurit, ia punya predikat Raja Gurit, hal ini karena intens menulis guritan. Buku guritannya peraih Hadiah Rancage tahun 2000, adalah Layang Saka Paran (1999) berupa kumpulan guritan.

Ia berkerja sebagai wartawan yang jadi Pamong Redaksi Majalah Berbahasa Jawa, berna-ma Jaya Baya di Surabaya. Lulusan sarjana seni rupa dari Universitas Adi Buana Surabaya, dan juga STKW Surabaya ini, malah intens bergelut menekuni sastra Jawa. Meskipun ia tetap melu-kis bertema wayang yang sering digarapnya. Maka tidaklah salah apabila sampul buku guritan-nya juga dibuat sendiri. Sketsa-sketsa yang ada dalam buku juga coretan sketsa garapan Widodo Basuki. Memang ampuh tenan!

Dalam menulis Widodo Basuki memang mempunyai kecermatan dalam mengolah kata dalam guritannya. Apik dan menarik. Beberapa naskah guritnya termuat dalam buku kumpulan guritan bersama PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya), antara lain: Mlesat Bareng Ukara, Sandhal Jepit Taline Abang, Gurit Bandha Donya, Othak-Athik Gathuk, Guritan Wah dan banyak lagi. Sementara itu, bukunya sendiri ada: Layang Saka Paran, Medhitasi Alang-Alang, Bun-Bun Tumetes, Bocah Cilik Diuber Srengenge, Ajisaka Angejawa, dan banyak lagi.

Guritan Widodo Basuki ditulis dalam sanepan yang apik dan menarik. Terkadang satir, menyindir getir, sedih dan perih, atau semacam pitutur luhur dikemas indah dalam guritannya. Tak salah jika ia mendapat penghargaan Sastra Rancage itu.

Pada masa pandemi lalu, memang hampir semua kegiatan dilaksanakan melalui virtual, baik itu berupa seminar/webinar, juga pentas seni. Seperti musik, tari, baca cerpen-puisi, jaranan, nyanyi, dan entah apalagi. Begitu juga kegiatan bedah buku kumpulan geguritan Ajisaka Angejawa karya Widodo Basuki.

Diprakarsai oleh Bengkel Muda Surabaya (BMS) dan Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), menyelenggarakan zoom meeting bedah buku, diskusi dan baca gurit yang ada dalam buku tersebut. Adapun pembaca guritnya adalah: Dr. Sri Setyowati, M.Pd. (Dosen Unesa- Surabaya), Ucik Fuadiyah, M.Pd, (Dosen Unnes – Semarang), R. Djoko Prakosa (Dosen STKW – Surabaya), Aming Aminoedhin (Presiden Penyair Jawa Timur), Titiek Indri Soewari (Penggurit PPSJS), dan Pipie Egbert (Penggurit PPSJS Surabaya).

Ketika itu (Sabtu, 14 Agustus 2020 pukul 19.30 WIB) pembahasnya Dr. M. Shoim Anwar, M.Pd. cerpenis yang Dosen Universitas Adi Buana Surabaya, dengan dimoderatori Riadi Ngasiran. Adapun yang ikut gabung berdiskusi, ada tokoh: Sirikit Syah, Eka Budiata, dan Yusuf Susilo Hartono.

Ulasan Dr. M. Shoim Anwar, M.Pd. tentang Ajisaka Angejawa mengatakan bahwa, “ Bagi Widodo Basuki guritan/puisi adalah kesaksian sejarah hidup sang penggurit/penyair. Semacam biografi yang ditulis dalam bentuk lirik. Disertakannya tahun penulisan memberi arah atau petunjuk terkait alur yang dilakoni. Pada tahap demikian liku-liku hidup juga tergambar, penyair menempatkan dirinya pada posisi yang mana.

Jika sepanjang hidup orang terlibat baratayudha, dalam arti simbolik, pilihan untuk memihak tidak dapat dihindarkan. Kebenaran yang diperjuangkan selalu mendapat oposisi sepanjang sejarahnya. Nilai-nilai memang berlaku universal, tapi tiap kebudayaan memiliki pijakan kontekstual. Pada tahap demikian penyair dituntut memiliki pijakan sebagai akar kultural. Sosok Ajisaka hadir bukan sebagai tubuh wadak, tetapi mewakili pijakan sebagai akar kultural.”

Tahun 2022 lalu, Widodo Basuki bersama Aming Aminoedhin dan Herry Lamongan, sempat terbitan antologi guritan berjudul Guritan Wah. Dibedhah bacakan di Warung Lesung – Bojonegoro, dan Rumah Budaya Kalimasada – Blitar. Raja gurit ini, juga ikut gabung di Komunitas Warumas (Wartawan Usian Emas), dan ikut baca puisi di berbagai acaranya. Berkali-kali pula tampil baca gurit di Tembi Rumah Budaya Yogyakarta.

Sungguh Widodo Basuki memang Raja Gurit di antara para penggurit yang ada di jagat sastra Jawa ini. Salam sehat, teruslah semangat! (*)

Editor: DAD

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *