Ternyata Berat Sekali Jadi Anies Baswedan Itu
KEMPALAN: Menjadi Anies Baswedan itu bukan perkara mudah. Bahkan teramat sulit. Tapi Anies tampak enjoy menghadapi ruang yang coba dibuat sempit oleh mereka yang punya agenda pembusukan. Ikhtiar pembusukan dengan segala cara memang terus dilesakkan.
Anies coba diganggu dengan berbagai cara. Dibuat tampak salah, tidak ada benar-benarnya. Padahal prestasi yang dibuat Anies berkebalikan. Prestasi dengan berbagai penghargaan tidaklah cukup tampak di mata mereka, yang hadir seolah mata tertutup rapat. Hati pun tersengat jadi buta.
Menyerang Anies seolah jadi cara bisa menjungkalkannya hingga jatuh terpuruk. Satu cara gagal tak puas dicoba cara lainnya. Intensitas dibuat makin tinggi tak beradab. Seolah berlomba siapa paling bermulut busuk berotak dekil, berebut bayaran tak seberapa bagi mereka yang punya marwah keadaban.
Mengganyang Anies itu bukan baru saja dilakukan. Bahkan sejak awal menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta disandang. Dan tak berhenti hingga di ujung masa jabatannya. Melihat Anies seolah pemandangan tak elok ditampilkan. Tak bosan-bosan, meski publik sudah merasakan mual dan muak tak tertahankan.
Mengganyang Anies dibuat seolah tontonan teatrikal, bukan hanya dilakukan para buzzer berbayar, tapi juga pengamat politik mata duitan yang bekerja untuk perut dan syahwat tak terelakkan. Tidak dicukupkan sampai di situ, tapi perlu mengundang lembaga survei untuk membuat Anies tak ungguli mereka yang diunggulkan.
Makin mendekati bulan-bulan akhir masa jabatannya–jabatan Anies berakhir pada 16 Oktober 2022–Anies tak henti “diganggu” legislator DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDIP dan PSI. Sekadar untuk menambah kebisingan, bahwa Anies tak becus bekerja. Upaya membelokkan nalar sehat.
Menjegal Anies
Anies ditempa untuk kuat di medan yang tak mudah dilalui. Medan yang coba dibangun dengan jebakan ranjau di sana-sini. Anies lebih dituntut terampil menjaga jarak dengan tak membuat kesalahan. Mesti berdiri pada posisi yang seharusnya. Tak boleh bergeser barang sedikit pun agar tak terpeleset pada tempat yang tak seharusnya.
Di penghujung akhir jabatannya, prediksi Anies akan maju menuju RI-1 menjadi gelegar suara yang muncul keras terdengar. Baik yang mengidolakan, maupun yang tidak menghendakinya tampil dalam perhelatan pilpres 2024, seperti sama-sama bertarung meyakinkan publik.
Jika suara yang tidak menghendakinya maju di pilpres tampak seolah dominan, itu sekadar keramaian yang dibuat para buzzerRp, politisi busuk penghamba rupiah, dan lembaga survei minus kredibilitas. Suara riuh itu pun dibantu media pragmatis searah kepentingan politik pemiliknya.
Menjegal Anies Baswedan untuk maju di perhelatan capres sepertinya terus dicoba. Seperti penuturan politisi Partai Demokrat, Andi Arief. Dalam cuitan di Twitter-nya:
“Saya mendengar ada upaya menjegal koalisi yang mencalonkan Anies. (Sehingga) Anies tidak mendapat (dukungan) koalisi.”
Andi Arief bicara tentu tidak asal bicara. Pastilah ia tahu persis langkah menjegal Anies itu. Maka, ia perlu sampaikan pada publik adanya upaya jahat itu. Meski apa yang disampaikannya, itu coba dibantah politisi beberapa partai. Bantahan para politisi atas “temuan” Andi Arief itu tentu untuk meyakinkan, bahwa tak ada niat menjegal Anies. Oh, iya?
Menjegal Anies dalam bentuk apa–kecuali tersirat disampaikan lewat partai koalisi pendukungnya–memang belum dijelaskan secara ditail dengan cara apa “menjegal” itu dilakukan. Perjalanan Anies dalam menakhodai ibu kota negeri memang sarat diwarnai adegan pembusukan tak henti-henti. Meski tak sampai mampu jungkalkan dalam permainan kotor mereka yang tak menghendakinya.
Menjadi Anies Baswedan memang bukan perkara mudah. Seperti sulit bisa diikuti yang lainnya. Anies tak terpengaruh oleh upaya pembusukan. Tak memilih melaporkan pada polisi, sebagaimana dipilih pemimpin apa pun itu, yang terusik oleh kabar tak sedap. Anies lebih memilih fokus pada kerja-kerja terukurnya, meski upaya pembusukan terus dimunculkan tak henti-henti. Tetap saja tak mampu menghentikan langkah Anies terus menapak menuju takdirnya. (*)