Untung Ada Vina Panduwinata & Reza Artamevia Menemani Keliling Melbourne

waktu baca 5 menit
Foto-Foto: Ilham Bintang for Kempalan.com

KEMPALAN: BERUNTUNG ada dua diva penyanyi Indonesia, Vina Panduwinata dan Reza Artamevia menemani sehingga kami bisa menikmati suasana Minggu cerah yang dingin dan nyaman, di luar kota maupun di sekitar Melbourne, Australia.

Desah, lirih, dan lengkingan vocal dua penyanyi ternama itu bisa meredakan ketegangan selama delapan jam menyetir mobil di Victoria, negara bagian terbesar kedua di Australia. Tegang bukan sebab kemacetan, justru karena lengang, namun pembatasan kecepatan berlaku ketat.

“September Ceria”, ” Biru”, ” Aku Makiin Cinta” dan

“Kumpul Bocah” dari album awal Vina tahun 1982 dan tahun 90 an tak sadar kami ikut nyanyikan bersama istri dan putri bungsu. Sedangkan Reza Artamevia melantunkan hit tahun 90 an, ” Keabadian”, ” Pertama”, ” Kepastian”, ” Cinta Kita,” dan ” Satu Yang Tak Bisa Lepas”. Kebetulan kami bertiga memang penggemar dua diva yang berbeda generasi itu.

Putri saya, Suri Adlina, berinisiatif memutarkan lagu di perangkat audio kendaraan kami. Eh, satu lagi ” Jangan Ada Dusta Di antara Kita”, dari Broery Pesolima, lagu wajib, yang berani saya nyanyikan di dalam acara komunitas teman-teman wartawan maupun artis. Awal Januari lalu saya nyanyikan berduet dengan artis pujaan Widyawati dalam acara lepas kangen komunitas artis senior di Villa Poeti milik aktor Harry Capry. Tapi istri dan anak yang melihat rekamannya di ponsel bilang, kacau. Yang bagus Widyawati, namun sayang dia tak hapal lagu itu. Terpaksa konsentrasi pecah ikuti lirik di layar ponsel.

BACA JUGA: Berulang Tahun di Melbourne, I’am Back

Adlina sengaja memutar lagu itu untuk menekan kejengkelan menghadapi karakter lalu lintas di Melbourne. Terlalu banyak aturannya. Untuk memutar jalan saja bisa ditempuh jarak berkilo-kilo.

Di freeway, jalanan mulus dan lengang tetapi tidak bisa kita memacu kendaraan sekehendak hati, seperti di Tanah Air. Terlalu banyak rambu pembatasan kecepatan yang harus diperhatikan demi menghindari pelanggaran atau “speeding ticket” (tilang dengan denda besar). Sekedar informasi tidak ada kamus “86” di sini.

Di freeway yang nyaman dan lengang saya memang sering kebablasan memacu kecepatan melebihi aturannya. Rambu pembatasan cepat berubah : 60- 80- 100 km yang bikin jengkel.

“Awas! Pa, kecepatan turunkan dong, ” “warning” putri sambil menunjuk rambu yang mengatur kecepatan 60 km. Saya tengok ke “dashboard“. Iya, kecepatan kami melampaui 100 km/ jam. Teguran seperti itu berkali-kali. Melihat saya mulai jengkel, dihadirkanlah Vina dan Reza. Waktu putar lagu ” Jangan Ada Dusta” Broery, saya malah diminta putri ikut menyanyi. Dan, saya suka.

Pengalaman Ditilang di Perth

Bulan lalu, di jalan tol dan beberapa ruas jalan di Jakarta sudah mulai diberlakukan system tilang elektronik. Memang belum sepenuhnya memuaskan waktu uji coba. Masih perlu perbaikan pada perangkatnya. Masalah yang mungkin akan dihadapi Dirlantas adalah administrasi kepemilikan mobil di STNK. Masih sering terjadi jual beli mobil dengan peminjaman KTP. Maksudnya, pembeli mobil bekas, bisa tidak langsung balik nama dari pemilik lama. Caranya, penjual menjajikan pinjam KTP satu kali ( setahun). Praktek peminjaman dan nembak KTP terjadi, sebab biaya balik nama mahal. Mestinya biaya balik nama dihapus atau dibebaskan. Dengan begitu praktek “tembak KTP” pemilik mobil lama bisa dihentikan. Jika terjadi sesuatu polisi pun tidak akan mengalami kesulitan atau minimal buang waktu untuk menelusuri jejak pemilik mobil yang berbeda nama di dalam STNK.

BACA JUGA: Melbourne Kota Ternyaman Dunia namun Kejam bagi Perokok

Dalam Kota Melbourne

Menyetir di dalam kota Melbourne lebih rumit lagi. Maklum sebagian besar badan jalan juga digunakan untuk trem. Sesekali kita melintasi jalan rel trem dalam kota. Rasanya seperti belajar kembali berkendara di jalan raya. Padahal, aturan itu membuat Melbourne berhasil menekan angka kemacetan dan kecelakaan lalu lintas. Di samping itu, pemerintah terus meningkatkan jumlah angkutan umum baik bus maupun trem. Pementintah juga menggelontorkan subsidi 70 % harga tiket bagi penumpang angkutan umum Menjadi salah satu faktor Melbourne pernah tujuh tahun berturut- turut meraih penghargaan kota ternyaman di dunia untuk ditinggali. (Baru tahun ini turun menjadi rangking kedua, karena disalip Wina, Austria, di top rangking).

Saya tidak tahu apakah kata rumit tepat digunakan menilai lalu lintas Melbourne. Jangan-jangan sumber masalahnya : diri sendiri. Belum terbiasa saja. Atau masih terbawa kebiasaan kurang disiplin berlalulintas di Tanah Air.

Di kota Perth, Ibu Kota negara bagian Australia Barat, saya pernah membayar denda tilang (speeding ticket) hampir Rp.20 juta dalam pelanggaran yang terjadi beberapa kali dalam satu hari. Semua pelanggaran batas kecepatan. Kebablasan melaju di jalan freeway yang mulus dan kosong. Surat tilang itu dikirim ke Tanah Air, sebulan kemudian. Sekalian perhitungan dendanya. Mereka melengkapi dengan foto – foto bukti pelanggaran kecepatan di freeway. Tidak bisa mengelak lagi karena bukti- bukti rekaman kamera kuat. Data alamat kami diperoleh di perusahaan rental mobil. Waktu menyewa mobil paspor dan SIM memang mereka copy.

BACA JUGA: Salat Dhuhur dan Jadi Imam di Masjid Seharga 85 Miliar

Apa sanksinya kalau mangkir membayar?

” Ya Anda akan diblacklist, tidak bisa masuk di seluruh kota Australia, ” kata teman di sana..

Sejujurnya saya pun mengapresiasi system pengawasan elektronik itu. Jika tidak angka kecelakaan lalu lintas akan tinggi. Begitu saja pun kecelakaan masih sering terjadi. ” Tabrakan di sini bisa fatal akibatnya. Banyak yang menelan korban tewas,” kata Heriyanto,pengemudi taksi online dari aplikasi Cina. Menurut dia, pedoman pengendara di Melbourne hanya trafic light. Merah, berhenti. Hijau, jalan. Kuning, hati-hati. Mereka terlalu berserah pada trafic lihgt. Nah, menjadi fatal akibatnya kalau pas pengendara lain abai. Pada momen itulah sering terjadi tubrukan fatal.
Heriyanto asal Semarang berdomisili di Jakarta. Rumahnya di Komplek Permata Buana, Jakarta Barat, tidak jauh dari kediaman kami. Heriyanto sudah 11 tahun menetap dan telah mengantongi kartu Permanent Residence ( PR). Pengusaha komputer ini semula hanya mengantar anaknya sekolah di Melbourne. Istri menunggui anak, sedangkan dia bolak balik Jakarta- Melbourne. Namun, tidak berapa lama ia pun memutuskan tinggal di Australia.

” Kebetulan waktu itu kondisi bisnis di Tanah Air tidak begitu cerah,” alasannya. Menjadi pengemudi taksi online tidak sengaja. Dimulai saat dua tahun lalu, pas Melbourne lockdown akibat pandemi Covid19. Selama lockdown itu warga hanya boleh berpergian radius 5 km. Supaya bisa bebas beraktifitas Heriyanto mendaftarkan mobilnya untuk taksi online.

” Taksi inilah yang kita manfaatkan beraktifitas sehari-hari dengan keluarga. Bebas kemana – mana,” cerita pria usia 57 tahun itu sambil tertawa. Setelah pandemi Covid19 mulai reda kok masih bawa taksi?

” Selingan saja. Aktifitas ini bikin sehat dan dapat uang juga. Daripada tinggal di rumah, ” ungkapnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *