Pesantren Teroris

waktu baca 6 menit
Penangkapan teroris. Harian Haluan.

KEMPALAN: Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen (Pol) Boy Rafli Amar meminta maaf atas pernyataannya yang menyebutkan ada 198 pondok pesantren terafiliasi dengan terorisme. Dia mengakui bahwa pernyataan itu melukai umat Islam terutama para pengelola pesantren.

Pernyataan maaf itu diungkapkan dalam pertemuan dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia), Kamis (3/2). Dalam sebuah pertemuan dengan Komisi III DPR RI beberapa waktu sebelumnya Boy mengungkapkan data 198 pesantren yang berafiliasi dengan jaringan terorisme.

Pernyataan Boy ini mendapat reaksi keras dari kalangan pesantren dan umat Islam. Pernyataan ini dianggap menyudutkan pesantren dan umat Islam secara keseluruhan. Boy pun mengakui penyebutan kata pondok pesantren terafiliasi terorisme itu kurang tepat, dan melukai perasaan umat Islam. Ia mengatakan, penggunaan frasa “pondok pesantren” atau pun kata “terafiliasi” itu tidak dimaksudkan untuk menggeneralisasi.

Kata  Boy, yang terafiliasi dengan teorisme adalah individu, bukan lembaga. Dari individu yang ada di 198 pesantren, 11 di antaranya terafiliasi dengan Jamaah Anshorul Khilafah (JAK), 68 terafiliasi Jamaah Islamiyah (JI) dan 119 terafiliasi dengan Anshorut Daulah atau simpatisan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah).

Sebelumnya, Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla dibuat kesal oleh rencana polisi untuk mendata masjid-masjid di seluruh Indonesia untuk mencegah kemunculan gerakan radikalisme. Polisi berasumsi bahwa gerakan radikalisme banyak muncul dari masjid melalui pengkaderan dan pembaiatan.

JK memprotes cara pandang polisi itu. Menurut JK cara pandang seperti itu keliru. JK mengatakan tidak pernah ada masjid yang menjadi sumber gerakan radikal seperti terorisme. Para ustaz yang memberi ceramah di masjid tidak memprovokasi jamaah untuk melawan pemerintah. Para ustaz itu menjalankan fungsi dakwah ‘’amar ma’ruf nahi munkar’’, memerintah kepada kebaikan dan mencegah keburukan.

Dua kasus itu menunjukkan bahwa cara pandang otoritas keamanan Indonesia terhadap masalah terorisme masih sangat jadul. Melihat masjid dan pesantren sebagai sumber terorisme adalah cara pandang ‘’old-fashioned’’ yang sudah ketinggalan zaman.

Cara pandang semacam itu diterapkan oleh Soeharto sepanjang masa kekuasaan Orde Baru. ketika itu Soeharto mengontrol masjid dan pesantren untuk mencegah radikalisme dan terorisme. Soeharto, melalui gerakan intelijen yang dipimpin oleh Ali Moertopo, menciptakan organisasi-organisasi ‘’psedo-terorisme’’ untuk menjaring orang-orang yang dicurigai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *