Muktamar NU: Irtikab am Yuzalu?

waktu baca 3 menit
Prof. Dr. Muh. Nuh (tengah, berpeci) sebagai ketua steering committee Muktamar NU, meninjau kesiapan muktamar di Unila (Universitas Lampung).

Dr. K.H. Shofiyullah Muzammil
Muhibbin NU, Yogyakarta

KEMPALAN: Jelang Muktamar NU ke-34 besok 22-23 Desember di Lampung semakin banyak yang mengkhawatirkan akan berlangsung alot dan chaos, karena semakin mengkristalnya kontestasi kedua calon ketum.

Meski belakangan muncul nama-nama calon alternatif yang juga tidak bisa dianggap remeh, seperti Kyai As’ad Said Ali dan Kyai Marzuki Mustamar, tetap saja muktamirin dan para pengamat lebih mengkhawatirkan pada pertarungan dua calon terdahulu, Kyai Said Aqil dan Kyai (lebih populer dg panggilan Gus) Yahya Cholil Staquf.

Kekhawatiran ini cukup beralasan berdasarkan informasi yang berkembang di lapangan dan juga kalkulasi politik yang coba disodorkan. Logis dan argumentatif meski tidak jelas kebenaran dan keakuratannya, alias masih sangat terbuka lubang-lubang yang dipertanyakan.

Kedua calon memang sejak awal sudah declare dan melakukan berbagai persiapan dan kerja-kerja nyata di lapangan. Sementara dua nama alternatif disebut terakhir secara formal baru menyatakan kesiapannya di detik-detik akhir jelang hari H.

Walau demikian kedua nama terakhir ini sudah mengantongi tabungan investasi tidak sedikit yang sudah ditanamkan di jam’iyah ini sehingga kemunculannya meski injury time tetap saja masuk dalam kalkulasi serius probablitasnya.

Sebagai warga jam’iyah yang sejak lahir sudah NU saya tetap percaya bahwa NU yang didirikan oleh para auliyaillah, kekasih Allah, sedahsyat apapun goncangan dan badai yang menerjangnya, ia bagaikan kapal Nabi Nuh AS yang akan mampu melewati hempasan gelombang bah yang menggunung. Ibarat kapal Nabi Nuh AS, jam’iyah NU ini membawa misi keselamatam dan kedamaian bagi semesta.

Penumpangnya bukan saja manusia tapi juga hewan dan binatang, mulai dari yang jinak hingga yang paling liar dan garang. Mulai dari yang lemah hingga yang punya bisa beracun dan taring yang mematikan. Mulai dari yang melata hingga yang berlari kencang, bahkan yang bisa terbang tinggi ke angkasa.

Begitulah gambaran penumpang jamaah dari kapal besar Jam’iyah Nahdlatul Ulama ini. Semua profesi dan atribut sosial ada lengkap di dalamnya. Mulai dari yang tidak mengenal sekolah hingga pemilik sekolah. Mulai dari yang buta huruf hingga gurubesar. Mulai dari gembel hingga konglomerat. Mulai dari rakyat hingga Presiden. Semua ada dalam kapal besar Jam’iyah Nahdlatul Ulama ini.

Itulah yang membuat saya tetap percaya (sekaligus berdoa) pasti akan ada jalan keluar terbaik nantinya. Saat muktamar ke-33 di Alun-alun Jombang, NU sudah dihadapkan pada kapal terbelah jadi dua, tapi Allah selamatkan tetap utuh satu kapal.

Para peserta muktamar adalah orang-orang yang sudah khatam mengaji kitab ushul fiqh sehingga terbiasa dengan persoalan ta’arud adillah.

Kini saatnya kita berharap para muktamirin juga piawai dalam menerapkan teori-teori ta’arud adillah dalam konteks alam nyata kontestasi kepemimpinan, bukan hanya pada teks nash Alquran dan Hadis.

Teori mana yang akan beliau-beliau terapkan, apakah aljam’u wat taufiq, tarjih, nasikh, atau tasaqut adillah?
Apakah ini termasuk ”irtikab akhaf dlararain” ataukah lebih tepat adlarar yuzalu?

Wallahu a’lam bis shawab wa alaihi attuklan
Wallahu almuwaffiq ila aqwamit thariq. (*)

Editor: Reza Maulana Hikam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *