Mana yang Lebih Membahagiakan?

waktu baca 4 menit
Ilustrasi

Oleh: Hamid Abud Attamimi
Aktivis Pendidikan dan Dakwah, tinggal di Cirebon

KEMPALAN: Jika kita dihadapkan pada situasi-situasi berikut, mana yang lebih membahagiakan?
Pagi hari pas hari libur, ketika duduk di teras depan rumah ditemani secangkir teh hangat, tiba-tiba ingin menyapa Pa RT yang lewat, atau bertanya ke penjual nasi uduk di depan rumah, :”Wah..Ibu ga ada liburnya..ya?”

Masuk kedalam rumah dan berniat untuk mandi, liat istri sibuk di dapur, lebih suka bertanya pada istri:” Semalam mimpi apa, kok tidurnya nyenyak banget?”

Atau berharap Istri memberi tau, handuk dan pakaian ganti sudah disiapkan di kamar?

Selesai mandi, anak nomor dua yang baru lulus SD ada di samping sedang membersihkan sepedanya. Dengan sigap kita langsung tanya:”Mau jalan-jalan kemana, nak?”

Atau dalam hati lebih suka dia bilang, ‘Ayah keren pake kaos warna biru itu!’

Di mana pun dan kapan pun kita selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan, bahkan sering pilihan itu kita sendiri yang menciptakan.

Pilihan apa pun yang lalu kita putuskan, secara pasti akan menjelaskan siapa kita, karena manusia dewasa serta sehat akan membuat pilihan atas dasar pengetahuan, pengalaman dan apa yang menjadi dasar harapan dan cita-citanya, dan sebagai seorang Muslim, pilihan itu harus selalu disandarkan pada nilai Agama.

Jika pilihan itu semata untuk kesenangan dan kemaslahatan pribadi, sekalipun mungkin tidak merugikan orang lain, sejatinya kita melepaskan kaidah utama dalam Muamalah, yaitu hubungan sesama manusia, selain hubungan dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Karena pilihan sikap sekecil apapun adalah Amal, setiap amal tergantung Niat, dan itulah nilai yang akan menjadi kwalitas dihadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Membutuhkan orang lain itu keniscayaan sebagai mahluk sosial, sebagaimana sesekali orang pun membutuhkan kita.

Masalahnya, apakah orang lain memahami kita dan jika pun faham, apakah dia suka melakukan itu semua demi kita. Inilah peran komunikasi yaitu harus dua arah, jika salah satu atau kedua belah pihak cuma ingin memanfaatkan, di sinilah ketimpangan terjadi, motifnya sudah bergeser dan tidak tulus lagi.

Jika kita harus bercermin, bukankah kita memilih cermin yang paling jernih, yang mampu menampilkan kita seperti apa adanya.

Tapi terkadang mengapa kita masih suka kecewa dengan apa yang ditampilkan cermin, justru karena juga memperlihatkan cacat dan noda yang menempel di tubuh.

Begitulah, karena kita…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *