Rumini dan Siskaee
‘’Nduk, anakku Rumini, mlayu o nduk, ibu wes 70 tahun wes ra mampu mlayu…wedus gembel Semeru bakal ngubur deso iki lan makhluk penghunine…Wes nduk ndang mlayu o…iklasno ibu istirahat panjang neng kene…’’
(‘’Nduk, anakku Rumini, larilah anakku, ibu sudah 70 tahun sudah tidak mampu lari, wedus gembel Semeru bakal mengubur desa ini dan makhluk penghuninya…Sudahlah nduk, segeralah lari, ikhlaskan ibu istirahat panjang di sini…’’)
‘’Mboten, buk, rogo iso mlayu…Tapi ati iki ora iso…Ra sanggup tego niggalne ibu dewean…’’
(Tidak, bu, raga ini bisa lari…Tapi hatiku tidak bisa…Tidak sanggup tega meninggalkan ibu sendirian….’’)
KEMPALAN: Dialog Nenek Salamah (70 tahun) dan putrinya Rumini (28 tahun) itu viral di media sosial. Bersama dialog itu ada ilustrasi kartun yang menggambarkan Rumini memeluk ibunya yang tergeletak tidak berdaya. Di latar belakang tampak debu tebal ‘’wedus gembel’’ dari awan panas Gunung Semeru bergulung-gulung melindas apa saja.
Dialog itu adalah pembicaraan terakhir Salamah dan Rumini. Keduanya kemudian ditemukan tewas dalam kondisi berpelukan di dapur rumah (5/12). Jenazah ibu beranak itu terbenam di kedalaman debu yang mengeras ketika ditemukan oleh kerabatnya.
Dari 34 korban meninggal yang sudah ditemukan akibat erupsi Gunung Semeru, kisah Rumini dan ibunya menjadi yang paling mengharu-biru. Desa Kobokan, Candipuro menjadi salah satu desa yang lenyap ditelan debu dengan jumlah korban paling banyak. Rumini dan Bu Salamah termasuk di dalamnya.
Rumini bisa saja melarikan diri ketika mendengar suara gelegar muntahan lahar panas dari puncak gunung. Ia punya waktu dan kekuatan untuk lari. Tetapi, Rumini tidak tega membiarkan ibunya yang hampir lumpuh sendirian di rumah. Rumini memilih menemani ibunya, dengan risiko kematian, ketimbang meninggalkan sang ibu sendirian menghadapi maut.
Rumini hanya berdua dengan ibunya di rumah. Suaminya, Imam Syafii, bekerja sebagai pekerja tambang pasir di desa sebelah. Pagi itu Imam pamit kepada istri dan ibu mertuanya. Rumini memeluk hangat suaminya. Imam mengingat momen itu, tetapi dia tidak menyangka bahwa pelukan itu menjadi yang terakhir dari istrinya. Seandainya Imam tahu, ia akan tinggal di rumah supaya bisa menyelamatkan istri dan mertuanya.
Rumini memilih untuk tetap di rumah dan tidak meninggalkan ibunya yang sudah tidak mampu berjalan. Setiap hari Bu Salamah tergeletak di tempat tidur dan harus dibantu untuk bisa berjalan. Rumini tidak punya cukup tenaga untuk menggendong tubuh sang ibu untuk menghindari terjangan wedus gembel.
Naluri kecintaannya kepada ibu membuatnya bertahan menghadapi maut. Ketika jenazahnya ditemukan, posisi Rumini ada di atas tubuh ibunya dengan tangan memeluk sang ibu. Rumini berusaha memberikan perlindungan terakhir kepada ibunya sebelum akhirnya terkubur bedua.
Naluri Rumini sebagai seorang perempuan–yang melindungi dan mencintai ibunya sampai tarikan nafas terakhir–membuat terharu warganet. Masih hangat dalam ingatan warganet kisah Bu Trimah, seorang nenek di Malang, Jawa Timur, yang diserahkan ke panti jompo oleh ketiga anak kandungnya, Oktober lalu.
Anak-anak Bu Trimah sibuk dengan pekerjaan dan, mungkin, mengalami kesulitan ekonomi. Merawat orang tua yang setengah lumpuh dan agak cerewet pasti merepotkan. Tetapi hal itu tidak cukup menjadi alasan untuk meninggalkan orang tua ke panti jompo.
Naluri dasar manusia mengajarkan untuk mendahulukan keselamatan dirinya sendiri. Itu adalah basic instink, naluriah dasariah, yang dimiliki manusia primitif. Setiap menghadapi ancaman keselamatan, dari alam maupun dari binatang buas, manusia primitif akan memilih menyelamatakan dirinya sendiri ketimbang keluarga atau pun orang lain.
Prinisp’’survival of the fittest’’ berlaku di setiap keadaan. Siapa yang paling kuat dan paling bisa beradaptasi dialah yang akan bertahan hidup. Jika harus mengorbankan keselamatan kelompok atau keluarganya, manusia primitif akan melakukannya untuk keselamatan diri sendiri.
Manusia primitif hidup…