Percuma Lapor Polisi

waktu baca 6 menit
Ilustrasi tagar Percuma Lapor Polisi.

KEMPALAN: Lapor kehilangan ayam malah kehilangan kambing, lapor kehilangan kambing malah kehilangan sapi, lapor kehilangan sapi malah kehilangan motor. Begitu bunyi pameo mengenai ruwetnya lapor ke polisi. Urusan tidak cepat ditangani, tapi malah pelapor keluar uang lebih banyak.

Itu bukan kejadian di Indonesia. Polisi yang tidak responsif itu hanya ada di cerita film India. Atau kejadian itu hanya dijumpai di Republik Tanzania di Afrika. Di Indonesia mah polisi sudah baik, meskipun sesekali masih ada yang brengsek. Misalnya Randy Bagus yang memerkosa mahasiswi sampai hamil dua kali lalu memaksa aborsi, sampai akhirnya mahasiswi itu mati bunuh diri di makam ayahnya.

Pameo kehilangan ayam itu sangat populer di masa lalu. Sekarang polisi sudah berbenah untuk memperbaiki citra itu. Polisi mengaku sudah bekerja keras melakukan trust building supaya lebih bisa dipercaya oleh masyarakat. Bahwa sebuah survei oleh SMRC (Saiful Mujani Reasearch Center) menempatkan polisi sebagai institusi yang paling kurang dipercaya, itu adalah bagian dari proses.

Seminggu terakhir muncul tagar ‘’Percuma Lapor Polisi’’ di media sosial. Tagar menjadi viral setelah muncul berita penghentian kasus penyidikan dugaan perkosaan seorang bapak terhadap tiga anak kandungnya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Polisi menghentikan penyidikan kasus itu karena tidak cukup bukti.

Para aktivis gerakan perempuan dan perlindungan anak bereaksi keras terhadap penghentian kasus itu. Kalau para korban perkosaan harus menunjukkan bukti dan saksi, maka sampai kapan pun kasus perkosaan akan sulit dibuktikan. Kasus inces di Luwu Timur itu dilakukan bapak terhadap anak-anaknya di rumahnya sendiri, sehingga hampir mustahil menemukan barang bukti dan saksi.

Tagar ‘’Percuma Lapor Polisi’’ pun muncul menjadi trending topic selama berhari-hari. Cara-cara polisi menangani kasus itu dianggap tidak profesional dan tidak update, sehingga dianggap percuma melapor ke polisi.

Tidak mau kalah, polisi pun membuat tagar ‘’Polisi Sudah Sesuai Prosedur’’ untuk membela diri. Perang tagar pun ramai di media sosial. Polisi membantah sengaja melakukan perang tagar. Yang dilakukan adalah memberikan penjelasan kepada masyarakat bahwa polisi sudah menangani kasus itu sesuai prosedur.

Alih-alih mereda, kecaman terhadap polisi makin ramai setelah muncul kasus Novia Widyasari. Mahasiswa perguruan tinggi negeri di Malang itu bunuh diri minum racun sianida di atas makam ayahnya di daerah Mojokerto, Jawa Timur. Novia menjadi korban perkosaan sampai hamil dua kali oleh anggota polisi yang kemudian memaksa Novita melakukan aborsi.

Novita memilih jalan nekat itu karena merasa tidak ada lagi jalan keadilan yang bisa diambil. Mungkin Novita berpikir ‘’Percuma Lapor Polisi’’ karena dia pasti menghadapi prosedur yang sulit dan malah bisa menjebak dirinya sendiri. Membuktikan terjadinya perkosaan sistematis dan paksaan melakukan aborsi, pasti bukan sesuatu yang mudah dilakukan oleh seorang korban. Apalagi pelakunya adalah polisi. Bunuh diri pun diambil sebagai jalan pintas untuk mengakhiri masalah.

Polisi jadi sasaran kecaman lagi. Anggota DPR RI menganggap polisi lelet dalam mengantisipasi kasus ini. Polisi baru bergerak setelah kasus ini viral di media sosial dan media mainstream. Alurnya mirip dengan kasus perkosaan di Luwu, dibikin viral dulu baru polisi bertindak.

Dalam kasus Novia akibatnya menjadi fatal karena korban menjadi depresi dan memilih jalan pintas. Kasus yang sama bisa saja terjadi terhadap korban perkosaan di Luwu, kalau tidak ada penanganan hukum yang memadai.

Dua kasus ini menambah daftar panjang kontroversi polisi di tengah masyarakat dalam beberapa bulan terakhir. Kasus smackdown yang dilakukan polisi terhadap mahasiswa pendemo di Tangerang menjadi sorotan tajam masyarakat, karena polisi dianggap tidak profesional dalam bertindak.

Kasus smackdown lainnya dilakukan seorang kapolres di Kalimantan Utara yang menghajar anak buahnya sendiri sampai KO terjungkal di lantai. Dua kasus kekerasan itu viral di media sosial, dan memantik kecaman terhadap budaya kekerasan yang dianggap masih subur di lingkungan polisi.

Ada juga kasus yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *