Boikot

waktu baca 6 menit
Habib Muhammad Rizieq Shihab.

KEMPALAN: Muhammad Riziq Shihab atau yang lebih dikenal sebagai Habib Riziq Shihab (HRS) menyerukan boikot terhadap Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran dan Pangkostrad TNI Letjen Dudung Abdurrahman. HRS menyerukan kepada pengikutnya agar tidak mengundang kedua tokoh itu. HRS juga menyerukan boikot terhadap acara yang menghadirkan dua tokoh itu.

HRS menganggap dua tokoh itu punya kaitan dengan terbunuhnya enam pengawal HRS dalam insiden yang dikenal sebagai ‘’peristiwa KM 50’’ Desember 2020. Persidangan yang dilakukan sekarang ini, oleh HRS, dianggap sebagai persidangan yang tidak sesuai prosedur.

Masih harus dilihat apakah seruan boikot ini efektif atau tidak. Seruan boikot ini seolah menjadi senjata terakhir setelah berbagai upaya formal melalui jalur hukum dirasa mentok. Seruan boikot menjadi senjata bagi mereka yang tidak bersenjata. Jika seruan ini diikuti secara luas dampak politiknya akan terasa.

Dalam sejarah gerakan politik, seruan boikot menjadi salah satu cara yang efektif untuk melawan. Dalam sejarah gerakan buruh, boikot menjadi senjata yang efektif untuk memperjuangkan kepentingan. Boikot adalah bagian dari gerakan civil disobedience, perlawanan rakyat, terhadap peraturan pemerintah, misalnya dengan cara menolak membayar pajak.

Civil disobedience dalam bentuk penolakan membayar pajak mempunyai implikasi politik dan hukum yang serius, karena penguasa bisa mengambil tindakan represif dalam bentuk penangkapan dan penahanan. Boikot semacam ini masuk dalam kategori ‘’direct boycott’’, boikot langsung, yang lebih berisiko menimbulkan ‘’violent retaliation’’ pembalasan yang keras, dari penguasa.

Boikot tidak langsung, atau indirect boycott, bisa menjadi alternatif untuk menghindari pembalasan dari penguasa. Apa yang diserukan HRS adalah bentuk boikot tidak langsung dengan risiko hukum yang relatif kecil. Boikot terhadap dua tokoh itu dianggap sebagai test case atau ujicoba. Jika efektif maka seruan boikot akan diperluas.

Cara lain yang dilakukan untuk melawan kekuasaan adalah dengan melakukan pemogokan atau strike. Cara ini lebih efektif dan dampaknya terasa langsung ketika dilakukan para pekerja atau kalangan buruh dalam jumlah besar dan serentak.

Di negara-negara yang punya organisasi buruh kuat, pemogokan menjadi senjata yang efektif. Setiap kali ada keputusan yang dianggap merugikan para buruh dan perundingan tidak menghasilkan keputusan yang maksimal, maka gerakan mogok akan dipakai sebagai senjata pamungkas.

Sampai sekarang, gerakan pemogokan menjadi andalan para aktivis buruh di Inggris dan Australia. Di kedua negara itu gerakan buruh menjadi gerakan politik yang kuat dan partai buruh selalu menjadi kekuatan yang efektif melawan partai konservatif. Setiap kali buruh melakukan pemogokan, hampir bisa dipastikan layanan publik akan terpengaruh, dan akan memaksa penguasa untuk memberikan konsesi dan menuruti tuntutan buruh.

Gerakan buruh yang paling fenomenal terjadi di Polandia pada 1980 dengan berdirinya organisasi ‘’Solidarisnoc’’ atau Solidaritas yang dipimpin oleh Lech Walesa. Saat itu rezim komunis Polandia memerintah dengan sangat represif.

Kaum buruh yang dipelopori oleh pekerja di galangan kapal di Gdansk kemudian melakukan perlawanan dengan melakukan pemogokan besar-besaran dipimpin oleh Lech Walesa. Militer Polandia merespons dengan mengirim puluhan tanks dan tentara bersenjata untuk membubarkan demonstrasi buruh yang makin meluas.

Lech Walesa terus…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *