Dan, Menangislah Petani Porang
Catatan Ekonomi Bambang Budiarto
KEMPALAN: Mendengar nama Bagus Kahfi ingatan publik tentu melayang-layang ke bintang muda masa depan Indonesia yang saat ini bermain di Jong Utrecht. Dengan skill diatas rata-rata, harapan dan masa depan sepak bola tanah air seolah dibebankan pada si kribo ini. Namun apa daya, harapan tak selalu berbuah nyata, sang rising star mengalami cedera patah kaki. Sudah barang tentu akhirnya cukup menjadi penonton di saat rekan-rekan se-timnya memeras keringat di atas lapangan hijau.
Sesaat setelah kesembuhannya, anak kembar ini seolah ingin membuktikan telah kembalinya pada kondisi semula. Benar saja, akhirnya tergabung di rumput hijau kasta dua liga Belanda. Semoga sukses bintang muda.
Kemeriahan atas lahirnya bintang baru ternyata juga terjadi di ekonomi pertanian. Porang, memang belum se-populer jagung, kedelai, atau singkong apalagi padi. Sebagai kelompok tanaman pangan, kehadirannya cukup menyita perhatian publik. Tak kurang dari presiden, pun minta untuk men-seriusi komoditi rising star ini. Pabrik olahan porang pun sudah siap.
Guna berproses produksi mewujudkan mimpi untuk mampu ekspor porang, tidak hanya dalam bentuk mentahan, sebisa mungkin dalam wujud setengah jadi, tepung. Selanjutnya, ekspor beras porang adalah mimpi terindahnya.
Jika ini benar terjadi, tentu dalam kajian tataran makro ekonomi memiliki multiplier effect yang sangat berkontribusi positif bagi pembangunan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Temuan bahwa porang memiliki tingkat kalori rendah (low calori), kadar gula rendah, dan bebas gluten adalah fakta yang cukup menjanjikan ekonomi petani porang untuk dapat naik kelas. Dengan kemampuan 1 hektare lahan porang mampu menghasilkan 15-20 ton porang, tentu ini sebuah nilai yang sangat besar.
Sebagai makanan masa depan dengan pasar ekspor yang cukup terbuka lebar, budi daya porang seolah begitu mencuri perhatian. Fakta lain, China sebagai adidaya ekonomi ternyata mencukupi kebutuhan porangnya dari Indonesia. Semua potensial dan semua begitu menjanjikan. Beberapa investor ekonomi pertanianpun mulai saling lirik di tanaman pangan ini. Namun, semua keindahan itu satu demi satu harus mulai dikubur.
Sampai pertengahan 2020 harga porang masih perkasa di kisaran Rp 16.000,00 per kilogram, saat ini di hampir semua titik budidaya porang di daerah, petani menjerit, menjadi Rp 4.000,00. Stok porang menumpuk dimana-mana dan harga ini masih dimungkinkan untuk turun terus di level Rp 3.000,00 jika masih tetap hanya mengandalkan pasar ekspor.
Bermain di pasar ekspor memang memiliki ketergantungan eksternal sangat tinggi. Begitu China memberikan ketentuan Kode HS Porang (konjac chips) versi China 1212 999 yang terjadi data ekspor porang kita menjadi tidak valid, sebab yang ada HS 1212 9990 dan 0714 1011. Episode sedih ini mulai 1 Juni 2020, dan sejak saat itulah porang tidak dapat masuk ke China karena ketiadaan dokumen risk management.
Belum selesai sampai di sini, ternyata porang kemudian juga dianggap tidak sejalan dengan food safety law of the people’s republic of China yang tentu saja berakibat porang tidak diizinkan masuk ke pasar China. Beruntunglah Belgia, Korea Utara, Myanmar, dan Jepang yang masih mampu memiliki akses dan legalitas ekspor porang ke China. Keberagaman syarat dan ketentuan ini tampaknya menadi pembelaaran bagi semua pihak tidak hanya pada porang. Petani porang pun harus mulai memahami dan melakukan budidaya porang yang ketelusuran dan keamanannya terjamin, sesuai SOP importir.
Di sisi yang lain, para pengambil kebijakan terkait porang harus mampu memberikan jaminan kelengkapan administratif dan kesesuaian prosedur dalam bertransaksi, utamanya di pasar internasional. Selanjutnya, untuk menghindari terun bebasnya harga porang, petani dapat menunda musim panen porang dan berkreasi di pasar domestik. Memahami hal yang demikian, pertanyaannya sekarang adalah mampukah petani porang menunda untuk tidak panen porang? Salam.
(Bambang Budiarto–Dosen Ubaya, Pengamat Ekonomi ISEI Surabaya, Redaktur Tamu Kempalan.com)
Editor: Freddy Mutiara