Pandemi dan Kepalan Tinju Gaib

waktu baca 7 menit
WHO, penyelamat atau penjahat?

KEMPALAN: Kondisi pandemi di Indonesia yang makin memburuk membuat beberapa negara di dunia menempatkan Indonesia dalam daftar cekal. Sementara Jepang memutuskan untuk mengevakuasi warganya dari Indonesia untuk alasan keselamatan.
Ada lebih dari 50 negara yang mencekal warga negara Indonesia masuk ke wilayahnya. Ini adalah prosedur standar untuk mencegah penularan virus yang makin mengganas. Bukan hanya Indonesia, banyak warga negara lain yang juga dicegah tangkal masuk ke berbagai negara.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa virus varian Delta menyusup dengan cepat melalui jalur penerbangan internasional. Sebuah pesawat carter dari India yang masuk ke Indonesia, Mei lalu, dicurigai sebagai salah satu sebab bobolnya Indonesia oleh varian virus Delta, yang kali pertama diketahui muncul di India.

Krisis Covid 19 makin memburuk

Kebobolan dan kecerobohan semacam ini diantisipasi oleh semua negara. Indonesia sekarang masuk dalam jajaran negara dengan tingkat penularan paling tinggi di dunia dengan angka penularan hampir tembus 50 ribu kasus perhari. Karena alasan itu pemerintah Jepang memutuskan mengevakuasi warganya dari Indonesia.
Keputusan seperti ini merupakan standar dalam hubungan internasional. Ketika kondisi sebuah negara dianggap tidak aman dan membahayakan keselamatan maka prosedur evakuasi akan diambil. Sebaliknya, sebuah negara juga mengingatkan warganya untuk tidak mengunjungi sebuah negara yang berbahaya. Peringatan dilakukan dengan memberikan travel warning.
Beberapa perusahaan Jepang yang berada di Indonesia memulangkan sejumlah pegawainya ke Jepang karena alasan keselamatan. Kantor berit Jepang, NHK, melaporkan bahwa dari 26 Juni sampai 12 Juli 2021 tercatat sembilan warga Jepang yang meninggal dunia akibat terjangkit virus di Indonesia.
Kedubes Jepang menambahkan, beberapa dari yang meninggal dunia berusia 30-an sampai 40-an. Kondisi darurat itu menjadi dasar beberapa perusahaan Jepang membawa kembali warganya bersama keluarga. Salah satu perusahaan Jepang telah memesan pesawat carter untuk mengevakuasi warganya kembali pada Rabu (14/7).
Tindakan ini diambil untuk mentaati perintah pemerintah di Tokyo.
Menteri Sekretariat Kabinet Jepang Katsunobu Kato mengatakan pemerintahnya mendukung evakuasi warganya dari Indonesia. Maskapai komersial Jepang akan dipakai untuk operasi itu. Belum diketahui berapa banyak warga Jepang yang akan dievakuasi. Tetapi, Tokyo menegaskan akan bertindak cepat melindungi warga negaranya yang ingin dievakuasi secepatnya dan sebanyak mungkin.
Di sisi lain, Presiden Joko Widodo mengimbau negara-negara dunia agar tidak mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kerjasama internasional. Berpidato dalam Sidang Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa yang disiarkan secara virtual, Rabu (14/7), Jokowi mengingatkan pentingnya kerjasama internasional dalam penanganan pandemi.

Pandemi Covid-19 yang melanda saat ini membuat ekonomi global luluh lantak. Oleh sebab itu Presiden Joko Widodo meminta negara-negara di dunia tetap solid agar perekonomian bisa pulih bersama. Jokowi meminta tidak ada negara yang mendahulukan kebijakan ‘Me First’, atau kepentingannya lebih dulu di masa sulit ini.
Semua kerja sama dan kemitraan antar negara harus diperkuat. Semangat ini akan dibawa Indonesia dalam forum ‘’Presidency G-20’’ dengan visi ‘‘Recover Together, Recover Stronger’’.
Pandemi telah menghilangkan pekerjaan 255 juta orang di dunia, 110 juta orang kembali ke jurang kemiskinan. Lebih mengerikan lagi, 83 sampai 132 juta penduduk terancam kelaparan dan malnutrisi.

Dalam kondisi demikian dunia internasional tidak bisa bersikap business as usual. Kerja sama dan solidaritas harus diperkuat. Dunia internasional harus memastikan roda ekonomi dunia pulih bersama, tapi tetap memprioritaskan aspek kesehatan untuk menjamin keselamatan semua orang sebagai anggota global citizen.
Politik vaksin internasional menunjukkan adanya gejala ‘’Me First’’ itu. Beberapa negara maju seperti Amerika mempunyai stok yang jauh melebihi kebutuhannya sendiri. Ada semacam ‘’nasionalisme vaksin’’ di kalangan negara-negara maju, sehingga ada keengganan untuk berbagi dengan negara yang membutuhkan.
Selain itu, negara-negara penghasil vaksin terlihat masih ingin memanfaatkan situasi pandemi ini untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. WHO sebagai otoritas kesehatan internasional, sudah menyerukan agar negara-negara maju rela berbagi vaksin. WHO juga mengingatkan agar negara-negara pemilik paten vaksin merelakan paten itu untuk dilepas, sehingga setiap negara bisa memproduksinya.
Organisasi Perdagangan Internasional, WTO, juga mengingatkan jangan sampai terjadi komersialisasi pandemi melalui perdagangan vaksin yang tidak fair. WTO mengingatkan bahwa diskriminasi vaksin akan memperlambat recovery dunia dari pandemi.
Diplomat dan ilmuwan hubungan internasional Singapura Prof. Kishore Mahbubani mengingatkan pentingnya ‘’Great Convergence’’ di antara negara-negara kaya dan negara berkembang di dunia. Ibarat sebuah kapal, sekarang harus muncul kesadaran bahwa kapal besar sedang terancam oleh badai dahsyat.
Di masa lalu, orang bisa berpikir mencari keselamatan dengan masuk ke kabin masing-masing dan mengunci dari dalam. Dengan begitu mereka masing-masing merasa bisa aman, meskipun kapal besar akan tenggelam.
Di tengah dunia yang makin mengglobal seperti sekarang, pandangan sektarian dan parokial seperti itu tidak bisa dilakukan. Kalau semua orang masuk ke kabin masing-masing untuk menyelamatkan diri sendiri maka semua akan ikut karam ketika kapal besar tenggelam.
Kapitalisme global yang bersendikan persaingan bebas, tidak bisa lagi diandalkan untuk bisa menyelesaikan krisis besar ini. Mekanisme ‘’tangan gaib’’ (invisible hand) yang selama ini dianggap sakti dalam mengatur mekanisme pasar, telah gagal membawa perbaikan.
Sebaliknya, kalau mekanisme pasar tangan gaib dipakai untuk mengatur distribusi vaksin maka yang terjadi adalah kehancuran bagi negara-negara yang tidak mampu. Kalau negara yang tidak mampu itu kolaps, maka akibatnya akan merantak ke negara lain, dan pada akhirnya negara-negara kaya pun akan ikut ambruk.
Ketimpangan ekonomi global makin menganga. Sepuluh persen negara kaya menguasai 90 persen resource dunia. Negara kaya seperti Amerika menguasai sampai 90 persen paten dunia. Ditambah lagi dengan hak lisensi yang 95 persen mengalir ke Amerika. Justru ketika globalisasi memuja pasar bebas, yang terjadi justru pasar yang sama sekali tidak bebas.
Para pengecam globalisasi menyebut lembaga internasional seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia sebagai representasi penjahat internasional, karena mereka menjadi kaki tangan negara-negara maju. PBB pun menjadi representasi negara-negara kaya yang mendapatkan pampasan perang gratis sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua.
Para aktivis LSM internasional menyebut lembaga-lembaga dunia internasional itu seperti preman global yang bertindak seperti tukang pukul yang akan menghajar siapa saja yang beda pendapat. Invisible hand, si tangan gaib, tidak akan bisa beroperasi kalau tidak ada ‘’kepalan tainju gaib’’ yang bertindak sebagai anjing penjaga dan sekaligus penghajar lawan yang beda pendapat.

Vaksin menjadi komoditi dagang

Penganut kapitalisme neo-liberal garis keras seperti Thomas L. Friedman sendiri mengakui bahwa ‘’the invicible hand’’ tidak akan bisa berjalan dengan mulus tanpa ada dukungan dari ‘’the invicible fist’’ alias kepalan tinju gaib. Harus ada kekuatan koersif yang memaksa supaya pasar bekerja sesuai mekanismenya.
Pandangan ini terasa ironis. Bagaimana mungkin sebuah mekanisme yang, katanya, bisa secara otomatis menciptakan market equilibrium, keseimbangan pasar, melalui mekanisme demand and supply, masih harus membutuhkan kekuatan pemaksa.
Kepalan tinju gaib itu bisa berwujud kekuatan koersif langsung semacam ‘’hard power’’ dalam bentuk kekuatan militer, bisa juga dalam bentuk soft power dalam bentuk pengaruh dan dominasi seperti yang disinyalir Gramsci.
Hard power dipraktikkan oleh militer Amerika Serikat dengan melakukan invasi terhadap negara-negara yang dianggap sebagai penghalang dominasi. Penyerbuan ke wilayah Timur Tengah oleh militer Amerika adalah bentuk dukungan kepalan tinju gaib untuk memperkuat ekspansi kapitalisme global.
Kekuatan soft power dalam bentuk dominasi berwujud pemaksaan kebenaran tunggal mengenai pandemi oleh badan kesehatan dunia WHO. Lembaga ini menjadi pemegang otoritas tunggal dan menjadi satu-satunya penafsir kebenaran atas pandemi.
Kekuatan apa pun yang berseberangan dengan WHO akan diberangus. Siapa pun yang beda pendapat dengan WHO akan ditangkap dan dipenjarakan. Siapa yang tidak percaya dan menolak akan ditangkap dan dipenjarakan.
Dokter Lois Owien hanya sebuah suara opoisi kecil. Tapi, dia harus ditangkap karena akan menjadi ancaman monopoli kebenaran oleh WHO. Pandemi tidak hanya menghancurkan kemanusiaan, tapi sekaligus menghancurkan demokrasi.
Pada akhirnya solusi pandemi hanya ada satu sesuai dengan rekomendasi WHO, yaitu vaksin. Karena vaksin sudah menjadi monopoli kapitalisme global maka mau tidak mau seluruh dunia harus menjadi konsumen yang tidak punya pilihan di tengah pasar yang seharusnya bebas.
Tata dunia yang tidak adil ini akan membuat penanganan pandemi lambat dan akan makin buruk. Vaksin bukan komoditi dagang, vaksin adalah bagian dari ‘’global public good’’ yang harus didistribusikan sesuai dengan alokasi kebutuhan negara yang membutuhkan. Kapitalisme global dengan mekanisme tangan gaib dan tinju gaib tidak akan mampu menyelesaikan problem besar ini.
Ketika kapitalisme global dianggap gagal, apakah komunisme internasional akan menjadi alternatif? Itulah tantangan dan pilihan yang harus dijawab oleh masyarakat internasional, termasuk kita di Indonesia. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *