Populer di Masa Pandemi, tapi Dibayangi Konten Pornografi
KEMPALAN: Sudah setahun pandemi Covid19 melanda Indonesia. Wajar saja masyarakat sudah mulai jenuh dengan kegiatan mager dan rebahan. Ada banyak cara agar kejenuhan itu tidak membuat mati rasa, salah satunya dengan menulis novel melalui aplikasi digital.
Selain nge-drakor (istilah untuk nonton drama Korea), aplikasi membaca novel melalui aplikasi digital kini menjadi pilihan favorit. Sebenarnya, membaca secara daring atau yang dikenal dengan e-book sudah cukup lama dikenal oleh masyarakat. Tetapi kala itu akses maupun pengakses e-book masih terbatas pada kalangan tertentu saja.
Pada akhirnya, pandemi memunculkan banyak aplikasi yang bisa jadi pilihan masyarakat dalam membaca buku. Yang populer saat ini adalah aplikasi membaca novel seperti Cabaca, KBM, Storial, Hinovel, Innovel, Noveltoon, Novelme dan lain-lain.
Melesatnya kepopuleran aplikasi ini disambut gembira sejumlah penulis. Sebut saja Wulan Kenanga, penulis Wattpad yang popular dengan novelnya berjudul After Wedding.
Aktif menulis sejak 2016 lalu, perempuan 30 tahun itu menuturkan, pandemi membuat novel-novelnya banyak diserbu pembaca. “Saya juga sempat syok karena novel bisa dibaca sampai 1 juta kali perbulan selama pandemi Covid19,” katanya dihubungi Senin (15/3).
Tentu saja hal ini membuat hatinya bungah. Karena dia baru saja meneken kontrak dengan pihak aplikasi Wattpad yang membuat tulisan-tulisannya berbayar. Meski ada beberapa protes dari beberapa pembacanya, keberhasilannya meneken kontrak adalah sebuah pencapaian yang tidak pernah dia kira sebelumnya.
“Awalnya nulis di Wattpad agar bisa menerbitkan buku di penerbit mayor. Tapi jodohnya ternyata di Wattpad. Gak pernah mengira bisa menghasilkan uang di aplikasi ini,” tutur alumnus Teknik Informatika Unesa ini.
Untuk diketahui, aplikasi membaca novel digital menerapkan sistem koin pada novel-novel favorit. Biasanya ada beberapa bab yang gratis diakses pembaca. Setelah itu ketika kisahnya makin rumit, akan ada permintaan membeli koin dengan mentransfer sejumlah uang ke penyedia aplikasi.
Koin-koin inilah yang menjadi sumber pendapatan bagi penulis.
Tiap aplikasi menerapkan harga koin yang berbeda-beda. Bagi penulis, upah menulis di tiap aplikasi berbeda-beda. Ada aplikasi yang menyaratkan dana yang terkumpul minimal Rp 2 juta baru bisa dicairkan, ada pula yang menerapkan sistem persentase.
“Setahu saya di Wattpad menerapkan persentase. Penulis 55 persen, pengelola aplikasi 45 persen. Pencairan dananya juga ada sistem tersendiri, harus menunggu beberapa bulan baru bisa ditransfer ke rekening,” katanya blak-blakan.
Wulan mengaku, sejak dikontrak sejak Agustus 2020 dia menangguk upah yang menurutnya lumayan.Apalagi Wattpad menerapkan pembayaran fee menggunakan mata uang dolar. “Kalau dihitung-hitung sih dapat 1.300 dolar,” katanya.
Jika menggunakan kurs Rp14 ribu perdolar, itu artinya Wulan menghasilkan duit sekitar Rp18 juta. Gadis kelahiran Mojokerto itu mengaku bersyukur tapi pendapatannya termasuk kecil dibandingkan dengan penulis lain. “Kalau (penghasilan) saya termasuk kecil karena koin di Wattpad termasuk murah. Tulisan saya hanya butuh 58 koin, itu sekitar Rp 65 ribu saja,” ungkapnya.
Dihubungi terpisah, penulis novel Eni Martini menilai aplikasi menulis digital memberikan beberapa keuntungan bagi penulis, di antaranya, memudahkan penulis mengunggah tulisannya. “Tidak seperti kalau menggunakan penerbit mayor yang ketat dalam menerbitkan buku. Aplikasi ini membuka kesempatan bagi semua orang menerbitkan tulisannya,” katanya.
Dari segi fee, Eni tidak menampik bila uang yang dihasilkan lebih banyak ketimbang dari penerbitan buku. Dia mencontohkan salah satu koleganya yang menulis di Komunitas Belajar Menulis (KBM) ada yang menangguk keuntungan hingga ratusan juta. Keuntungan ini berasal dari koin-koin yang dibeli oleh para pembacanya. “Ada salah satu teman penulis yang bisa dapat Rp 200 juta dalam empat bulan saja,” kata penulis yang tinggal di Depok itu.
Keuntungan finansial ini jelas menggiurkan, terutama bila dibandingkan dengan keuntungan jika menjual buku fisik. Dia membandingkan novel fisik biasanya dibatasi jumlah halamannya dan dipatok harga jualnya. “Kalau buku saya, saat best seller royaltinya sekitar Rp 30 jutaan. Royalti pun gak langsung kita terima, masih harus menunggu dari penerbit. Jadi menulis di aplikasi digital memang menggiurkan,” ujar penulis dikenal dengan nickname Meliana Vendder ini.
Jalur Cepat Capai Ketenaran
Selain keuntungan finansial, Wulan juga mengaku mendapat ketenaran lebih cepat dengan menulis di aplikasi Wattpad. Awalnya dia mengharapkan bila sukses di aplikasi menulis digital maka akan dilirik penerbit mayor. Setelah itu dirinya akan mendapatkan ketenaran dari kesuksesan buku-bukunya. “Ternyata di Wattpad nama saya lebih lebih cepat dikenal sih,” katanya.
Aplikasi juga memungkinkan adanya interaksi antara penulis dengan penggemarnya. Untuk yang satu ini, Wulan mengaku masih kerap terkejut dengan komentar pembaca di novel-novelnya. “Sampai sekarang masih suka deg-deg an. Tulisan aku diterima atau gimana,” ujar perempuan kelahiran 1 Maret 1991 itu.
Penulis buku Red Thread , Reffi Dhinar membenarkan menulis di aplikasi menulis digital membaca memberi banyak keuntungan. Salah satunya adalah kemudahan interaksi antara penulis dengan pembacanya. “Jadi platform ini memudahkan penulis membangun fandom dan personal branding lebih cepat,” kata Reffi.
Ketenaran akan makin cepat diperoleh bila novel-novel yang ditulis memiliki pembaca militan. Dan biasanya pembaca meminta agar penulis tidak buru-buru mengakhiri kisah yang ditulis. “Kalau banyak pembaca, satu judul bisa sampai ratusan chapter. Jelas hal ini tidak akan terjadi ketika buku diterbitkan,” tutur perempuan yang juga jadi coaching penulis muda pemula.
Keuntungan finansial jelas tidak ditampik Reffi, yang tiap aplikasi menerapkan sistem berbeda-beda. Meski memiliki sistem pembagian keuntungan yang berbeda-beda, penulis tidak perlu khawatir bila tulisannya tidak dihargai. “Kalau buku fisik, ketika dijual dan tidak laku kan harganya diobral. Kalau diobral tidak laku, ya jadi bubur kertas. Berbeda dengan menulis di platform digital, harganya tetap sama sampai kapanpun,” kata penulis 14 buku fisik dan digital itu.
Namun, perempuan yang tinggal di Sidoarjo itu mengamati bila perilaku pembaca novel digital sangat berbeda dengan pembaca buku pada umumnya. Ada yang terpengaruh karena memang ceritanya menarik, ada yang beralasan menyukai penulisnya, ada juga karena novel tersebut update setiap hari, pun kadang dipengaruhi promosi gencar penulis. “Behaviour pembaca novel digital memang unik,” tuturnya.
Marak Konten Pornografi
Di tengah melesatnya performa aplikasi membaca digital, terbersit kekhawatiran tersendiri. Eni menilai banyak tulisan seronok, cenderung berbau pornografi, yang muncul di platform menulis ini. Juga banyak novel yang ditulis tanpa mematuhi kaidah menulis novel pada umumnya.
Menurut Eni hal ini dipicu tidak adanya editor yang menyeleksi tulisan yang dikirim dan dimuat di aplikasi tersebut. “Memang tidak semua aplikasi, ada juga aplikasi memiliki editor. Tapi itu bisa dihitung dengan jari,” ujarnya.
Dia memahami bila penyedia aplikasi mengharapkan keuntungan dengan jumlah pengunduh. Namun, Eni berharap pihak penyedia aplikasi ikut berpartisipasi dalam menciptakan iklim membaca yang kondusif. “Syukur-syukur ikut berpartisipasi dalam peningkatan literasi masyarakat kita. Cuan (uang) memang penting, tapi setidaknya pihak penyedia layanan bisa ikut memunculkan tulisan bermutu,” katanya.
Dia juga mengajak partisipasi dari penulis-penulis ternama ikut dalam aplikasi ini supaya masyarakat memahami bagaimana standar kepenulisan yang bermutu. “Tentu harapan lain adalah ketersediaan editor di aplikasi digital,” harapnya.
“Kalau saya berharap penerbit mayor tidak memberikan peluang bagi karya berbau pornografi ini diterbitkan dalam bentuk fisik,” imbuh Wulan.
Wulan mengatakan beberapa bulan sebelumnya ada penulis muda yang karyanya berbau pornografi mendapatkan tawaran diterbitkan dalam bentuk buku. Jelas saja hal ini menimbulkan protes keras. Pada akhirnya, rencana penerbitan buku berdasarkan kisah kurang senonoh itu tidak bergaung lagi.
“Gak bisa berkata apa-apa, kok bisa tulisan seperti itu malah diterbitkan jadi buku. Kita yang menulis dengan kaidah yang ada, belum diterbitkan buku,” akunya kesal.
Maraknya novel-novel berbau pornografi ini diamini oleh Reffi. Dia juga sependapat bila hal ini dikarenakan tidak semua aplikasi membaca digital menyediakan editor yang menyunting tulisan penulis. Sebenarnya hal ini bisa diantisipasi andaikata para penulis di aplikasi digital memiliki misi dalam menulis. Dia tidak menyalahkan jika ada penulis yang sangat ingin mengejar keuntungan saat menulis di aplikasi digital.
“Sekali lagi kembali ke penulis itu, apakah sudah puas hanya dengan memenuhi hasrat pembacanya atau ingin membuat tulisan berkualitas, yang bisa membawa dampak positif dunia literasi kita,” ujarnya.
Yakin Buku Eksis
Meski aplikasi menulis digital tengah gencar digandrungi masyarakat, Eni dan Reffi tetap optimistis buku fisik masih dibutuhkan. Apalagi bagi penulis yang sudah memiliki penggemar tersendiri. “Dari penggemar saya, memang rata-rata memilih menunggu terbitan buku fisik saja. Katanya tidak enak karena novel online kurang ada alur cerita yang menghanyutkan saat membacanya,” kata Eni.
Memang tantangan penulis buku fisik tidak hanya dari aplikasi digital, tapi penerbitan juga banyak yang ambruk dan toko buku juga tidak sebanyak dahulu. Di sisi lain, pembeli buku fisik juga makin menurun, terutama bagi kalangan anak milenial. Mereka memilih membaca menggunakan ponsel karena tidak mau direpotkan membaca buku tebal dan harus menyimpan di rak buku.
“Kalau menurut aku sih bagaimanapun selama masih ada orang-orang garis keras mencintai buku, maka tetap akan ada,” ujar ibu empat orang anak itu optimistis.
Senada, Reffi juga tetap optimistis buku fisik akan tetap mendapat tempat di hati pembaca novel. Dikatakannya, menulis buku juga memiliki kebanggaan tersendiri. “Kalau bisa dicetak menjadi sebuah buku, ada semacam legacy sebagai penulis,” pungkasnya. (nani mashita)
