Moeldoko-AHY Kompromi atau “Mo Go Bo To Ngo”

waktu baca 2 menit
Fahrul Muzaqqi dalam bedah buku "Diskursus Demokrasi Deliberatif di Indonesia" yang diadakan Klub Seri Buku pada 23 Februari 2021/Instagram Klub Seri Buku

SURABAYA-KEMPALAN: Partai Demokrat sedang dilanda permasalahan internal akibat konflik Moeldoko vs Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang memperebutkan posisi ketua umum partai.

Dalam perseteruan itu, Ketua Majelis Tinggi Susilo Bambang Yudhoyono memprotes pelaksanaan Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Sumatera Utara pada 6 Maret 2021 yang memilih Moeldoko sebagai ketua umum partai berwarna biru itu.

Kempalan mewawancarai Fahrul Muzaqqi, dosen Ilmu Politik, Universitas Airlangga yang mengampu mata kuliah Demokrasi dan Demokratisasi berkenaan dengan permasalahan partai ini.

Fahrul berpendapat, sehubungan dengan kepemimpinan yang turun-temurun ini “kurang bagus dalam pembangunan kelembagaan maupun kultur berdemokrasi.”

Pendapat yang sama juga ia katakan berkenaan dengan upaya “kudeta” Moeldoko.

“Masalah apapun tentang politik di negara kita, dalam pandanganku, memang sangat ditentukan inisiatif para elitenya. Karena gak bisa dipungkiri, struktur sosio-kultural masih kuat mode patronase. Jadi kalau patronnya masih tidak merelakan ya akan tetap seperti ini,” ujar Fahrul Muzaqqi ketika dihubungi Kempalan melalui WhatsApp pada Jumat (12/3).

Menurutnya, inisiatif para petinggi partai politik untuk merelakan kekuasaannya pada mekanisme demokratis adalah jalan yang baik untuk membangun kultur maupun kelembagaan yang demokratis.

Ia menganalisis dalam perspektif elitis, “Sekarang adalah momen pancaroba bagi elite untuk saling adu bargain. Rakyat dalam posisi ini hanya menjadi instrumen pembenar saja. Nanti ada saatnya ketika di antara elite menemukan semacam ekuilibrium baru,” ungkapnya.

Bagi Fahrul, bisa jadi pada akhirnya Moeldoko menjadi capres sementara AHY menjadi Menko. Moeldoko menang dan SBY sekaligus AHY tersungkur, atau kedua kubu saling binasa seperti aksara Jawa “mo go bo to ngo” (semuanya binasa, red).

Adapun dosen Unair tersebut menyampaikan bahwa SBY tidak memberikan posisi ketua selain kepada AHY, karena ia sulit percaya kepada orang lain. (rez)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *