Dungu Kebangetan atau Pekerja Keras yang Extraordinary?

waktu baca 6 menit

Menurut tradisi China, hari ini tahun baru. Dan tahun ini giliran Kerbau berpadu Logam menjadi simbol spiritualnya: Kerbau Logam. Secara semiotika, kerbau merepresentasi dua hal, kedunguan dan kerja keras. Dan logam mencerminkan kekuatan. Jadinya, kalau dipadukan, maknanya menjadi dungu yang kebangetan atau kerja keras yang extraordinary.

Memperhatikan capaian ekonomi Indonesia, Setahun terakhir kita dalam keadaan resesi. Pertumbuhan ekonomi 2020 minus 2,3 persen. Di kalangan ekonom pemerintah, minus setinggi itu dianggap hebat. Ini bandingannya dengan banyak negara kuat di dunia yang minusnya lebih parah dari negeri kita.

Namun capaian Indonesia sepatutnya tidak sedemikian. Mengapa?

Karena jika mencermati kebijakan pemerintah dan juga pemerataan kekayaan, tentunya jurus jitu pemerintah tidak menjawab persoalan. Tim Nasional Pecepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) melaporkan pada 2019, hampir separuh aset nasional dimiliki 1 persen masyarakat saja.

Tidak jauh berbeda, Global Wealth Report 2018 yang memuat bahwa 1 persen orang terkaya Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan nasional. Jika persentasenya dinaikkan menjadi 10 persen orang terkaya di Indonesia, akumulatif mereka menguasai 75,3 persen nilai kekayaan Indonesia. Dalam sembilan tahun terakhir pemusatan kekayaan cenderung semakin memburuk.

Pencapaian Indonesia bisa jadi lebih buruk dari apa yang telah dicapai saat ini, ditambah lagi pada masa pandemi.

Catatan pentingnya adalah, karena adanya kesenjangan tersebut, yang survive, yang meningkat atau stabil ekonominya itu sebenarnya menurut riset Bank Dunia bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 hanya memberi manfaat kepada 20 persen orang paling kaya di Indonesia saja. Ini nyata sekali di Indonesia antara yang miskin dan kaya. Jauh sekali bedanya. Kita itu nomor 4 setelah Rusia, India, dan Thailand. Satu persen orang di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional, Jika naikkan jadi 10 persen keluarga maka ini menguasai 70 persen (aset negara). Artinya sisanya 90 persen penduduk memperebutkan 30 persen sisanya.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini hanya menumbuhkan ekonomi orang kalangan “the have” saja dan menjadi kebanggaan pemerintah sebagai capaian ekonomi. Sementara “the have not” seperti tidak terfikirkan. Apalagi di masa pandemi di mana orang kelas bawah banyak terdampak. Ini karena pembatasan sosial berdampak langsung bagi mereka yang pergerakan ekonominya bergantung pada transaksi langsung seperti warung, kantin sekolah/kantor, toko kelontong, pengrajin, home industry, pasar, dan sebagainya.

Angka pengangguran dan juga angka kemiskinan naik cukup signifikan. Dimana kemiskinan diprediksi akan naik sekitar 3,02 hingga 5,71 juta orang dan pengangguran meningkat kurang lebih 4,03 juta orang hingga 5,23 juta orang.

Ditambah lagi fakta bahwa uang tidak banyak beredar. Uang di masa pandemi banyak diparkir di bank. Data Bank Indonesia (BI) mencatat Dana Pihak Ketiga (DPK) naik dari 11,64 persen yoy pada Agustus 2020 menjadi 12,88 persen yoy pada September. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), nilai DPK di perbankan pada Agustus 2020 senilai Rp6.487,84 triliun. Sementara simpanan masyarakat pada September 2019 tercatat senilai Rp5.891,92 triliun.

Di tengah kondisi ekonomi yang masih lesu akibat pandemi Covid-19, simpanan masyarakat di perbankan terus meningkat. Kebanyakan nasabah atau debitur pastinya tengah mengerem kredit di masa pandemi. Walhasil, bisa dibilang dana-dana tersebut sedang diparkir di instrumen Dana Pihak Ketiga (DPK). Pada pertumbuhan 12,88 persen tersebut nominal simpanan di perbankan mencapai Rp6.650,79 triliun. Dalam sebulan, simpanan tersebut naik Rp162,95 triliun.

Nilai DPK itu bahkan melebihi nilai PDB Indonsia 2020. Jika dibandingkan dengan PDB Perekonomian Indonesia berdasarkan besaran PDB atas dasar harga berlaku triwulan II-2020 mencapai Rp3.687,7 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp2.589,6 triliun

Tentunya DPK di atas, jika di break down, kita akan menemukan bahwa terbanyak pemiliknya tentu kalangan yang masuk dalam 1 persen penduduk yang menguasai 50 persen kekayaan seluruh Indonesia. Mayoritas penduduk bisa jadi memarkir uangnya di perbankan, atau malah bisa jadi tidak sama sekali. Hanya orang yang bankable saja yang menaruh uangnya di bank.

Namun hingga kini belum ada formulasi jitu yang bisa menggelontorkan dana ribuan triliun tersebut untuk memenuhi berbagai permintaan ekonomi di masyarakat yang meningkat, yang mennyebabkan naiknya harga kebutuhan bahan-bahan pokok dan lainnya di masyarakat.

Lalu, dalam kondisi demikian, di bawah kertas, bagaimana Indonesia itu bisa survive?

Secara empiris, kita ketahui bahwa bangsa Indonesia itu bangsa yang suka gotong royong, tolong menolong, bahu membahu. Ini bisa jadi cerminan identitas pribadi mayoritas penduduk Indonesia.

Bangsa Indonesia itu penduduknya “loman.” Bagaimana tidak, setiap orang kemudian dikenai wajib pajak. Tapi juga di satu sisi lain ia juga suka sedekah. Sedekah wajib dalam bentuk zakat dan sedekah sunnah dalam bentuk infaq.

Ini terlihat ketika dalam kondisi bencana, tiba-tiba sebelum pemerintah memberikan bantuan, warga sudah beramai-ramai memberikan sumbangan bantuan bencana, dan nilainya pun fantastis.

Secara formal di tahun 2019, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menyebut potensi zakat di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai Rp. 233,6 T. Di antara provinsi lainnya di Indonesia. Setiap tahun, penghimpunan zakat nasional mengalami pertumbuhan rata-rata 30,55 persen. Namun yang bisa dikumpulkan oleh lembaga amil zakat yang tercatat dalam Baznas  hanya Rp. 5 triliun.

Secara teoretis, zakat ini adalah dana hasil pemotongan, ambil secara umum, sebesar 2,5 persen dari kekayaan seorang muslim, terlepas ada penghitungan yang 5 persen. Jika dihitung berdasarkan potensi zakat Rp. 233,6 T dikalikan 40, maka sebenarnya kekayaan total muslim Indonesia adalah Rp. 9.344 triliun. Tidak mengherankan sebenarnya Indonesia itu insya Allah bisa survive dalam kondisi krisis ekonomi, meski pemerintah, dalam kondisi ekstrem misalnya tidak ambil tindakan mengatasinya. Dan ini sudah terbukti bahwa Indonesia bisa merdeka karena karakter penduduknya yang care satu sama lain dalam tolong-menolong dan bahu membahu, atau ta’awun yang menjadi motivasi dasarnya.

Dana tersebut belum lagi dana sedekah infaq yang tersebar tidak tercatat dalam bentuk pemberian langsung muzakki kepada mustahik. Dana yang diberikan langsung ini tidak tecatat pada lembaga resmi pemungut zakat. Ini mencerminkan bagaimana Indonesia adalah orang-orang pekerja keras yang extraordinary yang tanpa pamrih, tidak terlihat.

Jika secara kultural bangsa Indonesia adalah orang yang pekerja keras, tidak malas, maka penyebeb kemiskinan itu bisa dipastikan adalah faktor struktural, yakni kemiskinan yang disebabkan oleh karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang pada umumnya terjadi pada suatu tatanan sosial budaya ataupun sosial politik yang kurang mendukung adanya pembebasan kemiskinan. Dan ini ranahnya kebijakan pemerintah untuk membuka peluang ekonomi yang membebaskan warga dari kemiskinan.

Tentunya dari gambaran di atas, pemerintah sepatunya berterima kasih kepada warga Indonesia, bukan malah secara struktural membebani dengan berbagai tarif-tarif, kenaikan harga bahan pokok, kenaikan tarif dasar listrik dan air, transportasi, dsb. Ini akan menggambrkan kedunguan kebangetan dari sang pengelola. Dan Lebih parah lagi adanya tindak korupsi, dan dahsyatnya korupsi bantuan sosial yang semoga Allah melaknat para koruptor itu dan koruptor lainnya dunia dan akhirat. Aamiin yaa rabbal alamin.

Wallahu’alam.

(Dr. Kumara Adji Kusuma adalah dosen Ekonomi Syariah di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *