Lampard Dipecat, Ole Masih Oke, Siapa Berikutnya?

waktu baca 6 menit

KEMPALAN: Sepakbola memang kejam. Katanya menjunjung tinggi respek, menang kalah soal biasa. Tapi, ternyata, menang itu soal biasa, kalau kalah bisa celaka. Semua tahu Frank Lampard adalah legenda Chelsea yang dipuja oleh fans di Stamford Bridge. Masa-masa kejayaan paling gemerlap dalam sejarah Chelsea terjadi ketika Lampard menjadi pemain selama 13 musim sejak 2001. Dalam kurun waktu itu Chelsea memenangkan 11 tropi, sebuah capaian yang luar biasa.

Chelsea dibeli oleh triliuner Rusia Roman Abramovich pada 2003. Dia kemudian mendatangkan Jose Mourinho sebagai pelatih yang merekurt pemain-pemain hebat seperti Didier Drogba, Michael Essien, Peter Cech, dan beberapa lainnya. Bersam kapten John Terry, Lampard menjadi pemain lokal Inggris yang paling dihormati dan dicintai oleh fans Chelsea.

Setelah pensiun pada 2017 Lampard melatih tim Championship Derby County pada musim kompetisi 2018-2019. Tahun berikutnya dengan pengalaman yang belum benar-benar matang Lampard diminta untuk melatih Chelsea.

Harapan membubung tinggi di pundak Lampard. Ia diberi anggaran besar untuk mendapatkan pemain-pemain top. Tanpa banyak cingcong Chelsea merekurt pemain-pemain muda terbaik Eropa seperti Timo Werner, Kai Havertz, Hakim Ziyech, Chistian Pulisic, dan veteran Thiago Silva. Dengan komposisi seperti ini Chelsea layak menjadi juara.

Sepakbola tidak sama dengan mi instan sekali beli, diaduk, langsung siap saji dimakan sampai kenyang. Para bos Chelsea maunya sukses instan, dan Chelsea harus juara tahun ini.

Nyatanya tidak semudah membuat mi instan. Lampard butuh waktu untuk memadukan kekuatan pemain-pemain muda yang lambat beradaptasi. Timo Werner yang jagoan di Bundesliga Jerman dan menjadi predator gol paling mengerikan di depan gawang mendadak macet dan kebingungan menyesuaikan diri dengan gaya permainan Inggris.

Kai Havertz yang jago dribel di Jerman dan selalu enteng melewati hadangan pemain belakang lawan tiba-tiba menjadi pucat setiap kali bermain dan kehilangan kepercayaan diri.

Christian Pulisic ketika di Jerman juga jagoan sprint dan menjadi pemain paling diwaspadai lawan. Tapi di Chelsea kemampuannya seperti lenyap seketika dan sangat tidak konsisten dengan penampilannya.

Werner dan Havertz disebut-sebut sulit beradaptasi karena faktor bahasa. Tapi, Pulisic yang berwarga negara Amerika Serikat juga tidak bisa maksimal meskipun tidak ada kendala bahasa. Kesimpulannya, ada faktor lain selain bahasa.

Faktor apa itu? Owner Roman Abramovich tidak mau tahu dan tidak peduli. Ia yang dekat dengan Lampard secara pribadi tidak tahan melihat klasmen liga Inggris dan menemukan Chelsea kancrit di posisi kesembilan. Kesabarannya habis dan pisau guilotin pun jatuh menggorok leher Lampard.

Inilah hukum besi, iron law, sepakbola modern sekarang ini. Kemenangan menjadi tuhan baru. Tak peduli main pakai strategi parkir bus atau parkir sepur yang penting menang dan owner senang. Jose Mourinho di Spurs dianggap merusak filosofi menyerang klub itu. Tapi kalau nanti Spurs juara Piala Carabao mau apa? Apalagi kalau bisa juara Piala FA atau Liga Europa. Persetan dengan gaya permainan.

Nasib Lampard akan dialami oleh semua pelatih Liga Inggris maupun liga lain di Eropa. Thomas Tuchel baru saja membawa Paris Saint German (PSG) masuk grand final Piala Champions 2020, tapi beberapa bulan kemudian ia dipecat. Kabarnya Tuchel segera direkurt untuk menggantikan Lampard di Chelsea. Chelsea mencari manajer Jerman untuk bisa memaksimalkan potensi Werner dan Havertz.

Nasib Tuchel mirip Mauricio Pochettino yang pernah membawa Tottenham Hotspur menjadi finalis Champions dan dipecat musim berikutnya. Sekarang Pochettino menggantikan Tuchel di PSG dan targetnya tahun ini wajib juara Champions kalau tidak mau menganggur lagi.

Ole Gunnar Solksjaer sekarang lagi bernasib mujur. Dua bulan yang lalu rumah-rumah taruhan menempatkan namanya paling atas sebagai pelatih yang dipecat di akhir tahun. Tapi Mang Ole ini seperti penjual odading di Bandung yang mujur karena mendadak viral dan dagangannya laris manis.

Manchester United tiba-tiba seperti ketiban pulung dan main kesetanan kemudian nangkring di puncak klasmen dua minggu terakhir.

Kendati demikian hampir semua pundit tidak menjagokan Mang Ole bisa membawa MU juara tahun ini. Hanya Wayne Rooney saja yang percaya MU bisa juara tahun ini. Pundit lain yang mantan MU seperti Roy Keane dan Garry Neville meragukan kemampuan Ole.

Ole diledek sebagai mirip guru olahraga daripada pelatih profesional. Penampilannya yang humble dan adem beda jauh dari Jurgen Klopp yang berapi-api atau pun Pep Guardiola yang penuh energi. Ole duduk tenang di bench atau di tribun dan hanya sesekali turun ke technical area.

Jangan harap bisa mendengar komentar panas dan psy war dari Ole sebagaimana yang biasa dilakukan Sir Alex Ferguson. Ole selalu santuy dan tidak emosional. Ia cenderung kurang karismatis. Karena itu agak diremehkan lawan dan pundit.

Tapi, minggu-minggu ini Ole mendapat perhatian serius dari lawan-lawannya, terutama setelah menjungkalkan Liverpool dari ajang Piala FA di Old Trafford melalui pertandingan yang mengasyikkan dengan skor akhir 3-2. Ole makin pede dan kelihatannya sudah bisa mengembalikan “fear factor” yang dulu selalu menggentarkan lawan-lawan MU.

Jurgen Klopp sudah merasakan hal itu. Liverpool memang sedang menurun dan tercecer di posisi keempat dengan 34 poin, selisih enam poin dari MU di puncak klasmen. Klopp berusaha tenang. Tapi, tentu ia panik. Musim lalu, di Januari seperti sekarang The Reds ada di puncak klasmen dengan selisih 13 poin dari runner up Manchester City.

Liverpool terdepak di babak 16 besar Champions, gagal di Piala Liga, dan dilibas MU di Piala FA. Satu-satunya yang menyelamatkan karir Klopp adalah menjadi juara kompetisi tahun ini kalau tidak ingin diusir dari Anfield di akhir kompetisi karena tahun ini nir tropi alias kembali puasa gelar lagi.

Di Arsenal Mikel Arteta juga menghitung hari setiap saat. Arsenal ada di urutan ke-11 klasmen liga. Beberapa pertandingan terakhir Arsenal main bagus dan menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Tapi, kalau di akhir musim kompetisi Aresenal rela jadi tim medioker di papan tengah maka nasib Arteta akan selamat. Tapi, kalau Arsenal masih cukup ambisius maka nasib Arteta akan jadi pertaruhan, apalagi kalau Spurs juara Carabao dan finis di kompetisi dengan posisiĀ  lebih tinggi.

Si Tetangga Gaduh Manchester City tampak lebih ayem. Pep bisa membawa pasukannya membayangi MU di urutan kedua dengan satu sisa pertandingan lebih. City juga menunggu partai final Piala Carabao melawan Spurs. Di Piala FA City juga lolos ke babak kelima.

Ujian bagi Pep ada di Liga Champions. Sejak hengkang dari Barcelona 2014 Pep Guardiola belum pernah memenangkan Liga Champions.

Kalau tahun ini Pep gagal lagi di Eropa mungkin owner City, Syekh Mansur, masih bisa bersabar karena masih mengharapkan kedatangan Lionel Messi untuk reuni dengan Pep di City. Tapi, kalau Messi lebih memilih PSG, dan Pep tidak bisa membawa pulang Si KupingĀ  Besar Piala Champions, nasibnya bakal sama dengan Lampard. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *