Catatan Kecil Reuni Alumni AWS ’83

waktu baca 4 menit
Usia boleh tua, gaya tetap muda (*)

KEMPALAN: Di tengah sejuknya udara Lawang yang membelai lembut pepohonan dan membawa nostalgia ke masa-masa muda yang penuh idealisme, para alumni Akademi Wartawan Surabaya’ 83 kembali bersua.

Pertemuan yang berlangsung pada 15 Juni 2025 ini bukan sekadar reuni dalam arti biasa. Ia menjadi semacam upacara batin—sebuah ritual merayakan perjalanan panjang kehidupan, tidak hanya sebagai individu, tetapi sebagai insan yang pernah disatukan oleh semangat jurnalistik dan idealisme yang mengakar.

Dalam suasana penuh kehangatan itulah, Dhimam Abror, jurnalis senior yang telah malang melintang di dunia media Indonesia, menyampaikan sambutan yang mencerminkan kebijaksanaan usia dan ketajaman intuisi seorang penulis yang telah menempuh jalan panjang dalam dunia kata.

Dengan kalimat sederhana namun sarat makna, Dhimam mengajak semua yang hadir untuk tidak terjebak dalam perhitungan usia yang kerap mengekang langkah dan mimpi. “Usia tidak usah dihitung. Itu hanya deretan angka,” ujarnya ringan.

Kalimat ini, walau terucap dengan nada bersahaja, membawa bobot pemikiran yang dalam. Ia mengandung undangan untuk melepaskan diri dari stigma sosial bahwa kreativitas memiliki batas usia.

Justru sebaliknya, semakin tua seseorang, seharusnya semakin jernih pandangannya, semakin dalam pemahamannya, dan semakin tajam daya tangkapnya terhadap kehidupan. Dan menulis, adalah salah satu bentuk perayaan tertinggi atas kesadaran tersebut.

Di tengah wajah-wajah yang mungkin telah dihiasi keriput dan rambut yang tak lagi hitam, semangat dan rasa ingin tahu tidak tampak surut. Sorot mata para alumni masih menyimpan bara.

Mereka yang pernah diasah dalam fasilitas akademi yang sederhana namun penuh makna, kini tersebar di pelbagai media besar tanah air, membawa semangat dan prinsip-prinsip jurnalistik yang mereka pelajari sejak dulu.

Maka tidak heran jika reuni ini bukan hanya ajang temu kangen, tapi juga menjadi perayaan diam-diam atas apa yang telah mereka capai.

Termasuk salah satunya adalah peluncuran novel NaiNai Dhodhori, karya perdana seorang alumni, Dra. Sri Puri Suryandari, M.Si—atau yang akrab disapa Puri.

Novel ini bukan semata kisah duyung yang menyelam dalam legenda, melainkan kisah yang menyelami lebih jauh: tentang warisan ide, darah yang membawa pesan, dan pencarian makna manusia dalam samudra kehidupan.

Peluncuran ini seperti menjadi penegasan bahwa usia hanyalah angka, tetapi semangat berkarya adalah pilihan sadar untuk tetap hidup dalam arti yang sesungguhnya.

Bahkan bisa dikatakan, karya yang lahir di usia matang membawa nilai yang lebih dalam. Ia tak lagi mengejar popularitas atau euforia pasar, melainkan hendak menyampaikan makna—dan makna adalah inti dari segala yang bernilai dalam dunia tulis-menulis.

Dhimam mengajak semua yang hadir untuk menepikan hitungan waktu, memeluk tawa, dan menjadikan silaturahmi sebagai energi baru. Ajakan ini bukan hanya pesan persahabatan, tetapi juga pesan spiritual yang dalam.

Di tengah dunia yang semakin pragmatis, kemampuan untuk berhenti sejenak, berbagi cerita, mengenang idealisme masa lalu, dan merenungkan masa depan adalah laku yang tidak kalah penting dibanding pencapaian material.

Dalam ruang yang hangat itu, semangat menulis kembali membara. Ia menyala bukan dari kebutuhan eksistensi, tetapi dari kesadaran untuk memberi—memberi inspirasi, memberi makna, memberi jejak.

Dalam konteks inilah, apa yang dikatakan oleh motivator dunia terkenal, Les Brown, menjadi sangat relevan: “You are never too old to set another goal or to dream a new dream.”

Ungkapan ini seperti menjadi gema dari apa yang terjadi di Lawang hari itu. Para alumni membuktikan bahwa mimpi tak lekang oleh usia, dan menulis adalah cara paling elegan untuk terus bermimpi.

Novel yang diluncurkan hari itu menjadi bukti bahwa api imajinasi tak padam hanya karena rambut memutih. Justru pada senja usia, cahaya batin makin terang, dan karya bisa menjadi mercusuar bagi generasi berikutnya.

Kita hidup di zaman yang serba cepat, yang sering kali membuat orang lupa bahwa menulis bukan hanya keterampilan teknis, melainkan bentuk perenungan terdalam.

Dalam tulisan, seseorang bisa berbicara dengan dirinya sendiri, menyeberangi waktu, dan berdialog dengan masa depan. Karena itu, peluncuran NaiNai Dhodhori tidak bisa hanya dibaca sebagai lahirnya sebuah buku.

Ia adalah bukti bahwa alumni Akademi Wartawan Surabaya masih terus berkarya, masih terus menyala. Bahwa dari kampus dengan fasilitas yang mungkin sederhana, telah lahir tokoh-tokoh yang ikut menentukan arah pemberitaan dan wacana publik di negeri ini.

Dan kini, di tengah kebersamaan yang syahdu di Lawang, bukan hanya buku yang lahir, tetapi juga keyakinan baru: bahwa menulis adalah cara untuk tetap hidup, bahkan ketika waktu terus menggerus.
Dalam setiap kalimat yang ditulis, ada jejak keabadian.

Dalam setiap cerita yang dibagikan, ada harapan yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Maka, mari kita terus menulis, bukan karena ingin dikenang, tetapi karena ingin tetap hidup—dalam makna, dalam cahaya, dan dalam cinta yang abadi pada kata.

             ******

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *