Kasus Sukatani: Buruk Muka Polisi, Cermin Dibelah

waktu baca 3 menit
Sukatani (*)

KEMPALAN: Di negeri ini, hukum seringkali bukan panglima melainkan ilusi lentur di tangan yang berkuasa. Dalam pusaran kekuasaan, institusi kepolisian menjadi aktor yang selalu ingin menang sendiri, menciptakan lanskap hukum yang timpang, tajam ke bawah tumpul ke atas.

Kasus Sukatani, band street punk asal Purbalingga menjadi cermin buram betapa kebebasan berekspresi di bidang seni terus mendapat tekanan. Album mereka “Bayar Bayar Bayar” yang secara terang-terangan mengkritik praktik korupsi di tubuh kepolisian menjadi pemantik api yang akhirnya membakar diri sendiri. Sukatani digelandang ke kantor polisi, dipaksa meminta maaf, lalu direkam dalam sebuah video. Kesan intimidasi begitu kuat terbaca. Ini bukan sekadar intervensi, ini adalah pembungkaman.

Meski Sukatani bisa kembali tampil menyapa penggemarnya namun grup street punk ini tidak berani lagi menyajikan lagu Bayar Bayar Bayar yang sedang trending. Why? Ditengarai ada trauma yang dialami oleh Muhammad Syifa Al Ufti alias Electroguy (gitaris) dan Novi Chitra Indriyaki alias Twistter Angels (vokalis), yang menjadi pilar grup punk asal Kota Purbalingga tersebut.

Menanggapi sikap kepolisian terhadap Sukatani, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai bahwa lagu tersebut bukan tindak pidana dan tidak bisa dianggap sebagai penghinaan terhadap polisi.

Band punk, dari generasi ke generasi, selalu menjadi corong kritik sosial. Dari The Clash hingga Sex Pistols di Barat, dari Bongkar Iwan Fals hingga Hio Sawung Jabo di Indonesia, musik telah menjadi medium bagi mereka yang suaranya kerap diabaikan. Namun di tangan aparat yang alergi kritik, kebebasan bermusik bisa menjadi jerat yang menyesakkan.

TEBANG PILIH

Ketika Sukatani bersuara polisi bereaksi dengan sigap. Tetapi di mana keberanian yang sama ketika kritik dialamatkan kepada institusi lain? Ketika Presiden Prabowo maupun Presiden Jokowi dihina habis-habisan oleh Rocky Gerung dan Faizal Assegaf ketika narasi liar ditebarkan oleh para provokator politik seperti Refly Harun, Ray Rangkuti, Abraham Samad, kepolisian justru memilih diam. Kemana ketegasan yang digembar-gemborkan? Kenapa hukum bisa begitu selektif?

Ada adagium yang mengingatkan kita, “Jika ingin selamat, hindari empat urusan, yaitu jangan sampai berurusan dengan polisi, pengadilan, rumah sakit maupun wartawan bodrek.” Adagium ini bukan sekadar lelucon kacangan melainkan refleksi dari pengalaman riil masyarakat.

Bertemu polisi bukan soal mencari keadilan tetapi soal seberapa tebal isi dompetmu. Hampir 90% dari mereka yang berurusan dengan kepolisian tau bahwa hukum bisa dinegosiasikan, asal ada pelumasnya. Testimoni tersebut diperoleh dari pelaku judi online maupun narkoba.

Lihatlah betapa ironi merajalela. Saat mengurus SIM diwajibkan tes psikologi dan tes kesehatan, ternyata hanya formalitas kosong yang tak lebih dari upaya pemerasan sistemik. Spanduk besar bertuliskan “No Korupsi” terpampang di setiap sudut kantor polisi, tetapi realita di dalamnya justru penuh transaksi kotor. Ini bukan hanya wajah buruk institusi, ini adalah borok yang terus dibiarkan bernanah.

DIBISUKAN

Kasus Sukatani harus menjadi momentum untuk bertanya ulang, apakah kepolisian benar-benar menjalankan tugasnya sebagai pelindung rakyat atau justru sebagai alat represif bagi mereka yang berani mengkritik? Jika aparat memiliki taji, tunjukkan keberanian yang sama terhadap semua pihak bukan hanya kepada sekelompok anak punk yang bersuara lantang.

Mereka yang bersuara adalah mereka yang masih peduli. Namun di negeri ini, keberanian berbicara malah bisa berujung pada represi. Polisi yang seharusnya menjadi cermin keadilan kini memilih membelah cermin itu agar kebusukan wajahmya tidak tampak.

Indonesia butuh kedewasaan berdemokrasi bukan demokrasi yang dibatasi oleh ketakutan. Suara rakyat tak bisa dibungkam. Jika Sukatani telah dibisukan maka akan ada suara lain bermunculan, lebih keras, lebih nyaring, lebih mengguncang!!

Rokimdakas
Wartawan & Penulis
26 Februari 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *