Prof. Bambang Menjaga Kewarasan Dengan Melukis
Di antara deretan angka, strategi bisnis dan konsep ekonomi yang kompleks, Prof. Dr. Bambang Tjahjadi, SE, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga menemukan ketenangan di tempat yang tak terduga, yakni di atas kanvas. Seperti maestro yang menggubah simfoni dengan kuas, akademisi yang akrab disapa Mas Mbeng ini melukis bukan sekadar hobi tetapi sebagai bentuk perlawanan halus terhadap kepenatan intelektual.
Bagi Mas Mbeng melukis bukan sekadar aktivitas selingan melainkan pemanjaan batin. “Jika ada yang memilih bertamasya ke pegunungan, saya justru memindahkan gunung dan flora ke atas kanvas,” katanya sembari tersenyum. Ruang estetik yang ia ciptakan menjadi tempat pelarian dari hiruk-pikuk dunia akademik.
Sejak 2005 puluhan karyanya lahir dari perpaduan ekspresi dan presisi. Tak heran jika dalam pameran tunggalnya di Gedung Balai Pemuda Surabaya, 4–9 Februari 2025, atmosfer yang tercipta bukan hanya sekadar visual tetapi juga narasi kebebasan. Dengan sentuhan peragaan keris, wayang krucil, dan batik, pameran ini menyerupai altar keindahan budaya.
RUANG TERAPI
Di tengah rutinitas akademiknya, melukis menjadi bentuk healing, cara Mas Mbeng menjaga kewarasan. “Melukis itu terapi, menenangkan pikiran dan menyegarkan jiwa,” ujarnya. Seperti seorang empu yang menempa keris, dibentuknya keseimbangan hidup di antara warna-warna yang memenuhi kanvas.
Tak sedikit yang memilih berwisata alam atau menikmati kuliner untuk mengusir kejenuhan tetapi Mas Mbeng justru tenggelam dalam cat dan kuas. Baginya, setiap sapuan warna adalah luapan emosi, setiap garis adalah jejak perjalanan batin. Seni bukan hanya estetika tetapi juga medium refleksi diri, terapi ekspresif yang tak selalu bisa diungkapkan dalam bahasa lisan.
GARIS TAKDIR
Kecintaan Mas Mbeng pada seni rupa telah bersemi sejak remaja. Dulu, ketika masih SMA di Probolinggo bercita-cita kuliah di Institut Seni Rupa di Yogyakarta. Namun ayahnya mengarahkan langkahnya ke jurusan ekonomi di Universitas Airlangga. Takdir mungkin membawanya ke dunia akademik namun hasratnya terhadap seni tak pernah padam.
Kini, di usianya yang ke-68, Mas Mbeng tetap setia pada dua dunia, ekonomi dan seni rupa. Bahkan gaya khasnya yang selalu mengenakan sarung modis, termasuk saat mengajar di kampus, mencerminkan karakter unik yang memadukan intelektualitas dan kebebasan berekspresi.
Pameran tunggal Mas Mbeng bukan sekadar perayaan seni, tetapi juga penghormatan dari mahasiswa dan alumni. Salah satunya adalah Joseph Theodorus Wulianadi, pendiri Jogger Bali. “Saya salut pada Mas Mbeng karena tetap meluangkan waktu untuk mengekspresikan diri dalam seni rupa,” ujarnya.
Eko Bening, koordinator pameran sekaligus civitas ekonomi Unair, menegaskan bahwa acara ini juga merupakan bentuk penghargaan atas dedikasi Mas Mbeng dalam dunia akademik. “Ini adalah apresiasi yang kami haturkan bertepatan dengan hari ulang tahun beliau,” katanya.
Di atas kanvas Mas Mbeng menemukan kebebasan yang mungkin tak bisa ia temukan di ruang kuliah. Seperti seorang penari yang meliuk mengikuti irama, ia menari dengan kuas, menciptakan harmoni yang menyegarkan pikiran dan menenangkan jiwa. Seni bukan sekadar hobi baginya, melainkan jembatan antara realitas dan imajinasi, antara logika dan intuisi.
Di sana, di atas kanvasnya penuh warna, Mas Mbeng menjaga kewarasan dalam tarian estetik tiada henti.
Oleh:
Rokimdakas
Wartawan & Penulis
7 Februari 2025
