Tambal Sulam Pemberantasan Korupsi

waktu baca 2 menit
Harvey Moeis: (*)

KEMPALAN: Banyak kasus korupsi melibatkan elite politik dan pejabat tinggi. Penerapan hukuman mati dapat memicu konflik politik dan resistensi dari kelompok-kelompok yang memiliki pengaruh kuat yang pada akhirnya bisa melemahkan kebijakan tersebut.

Selama belum ada keberanian politik serta sistem hukum yang independen maka penerapan hukuman mati bagi koruptor akan sulit dilaksanakan. Jika kondisi tersebut terus dibiarkan, upaya pemberantasan korupsi hanya tambal sulam.

Korupsi merupakan masalah serius yang merusak tatanan sosial, ekonomi, dan kepercayaan masyarakat namun korupsi ibarat gunung es. Berlimpahnya kasus yang terungkap sebenarnya hanya permukaannya semata karena praktik korupsi tidak pernah tunggal namun dilakukan secara kolektif, terstruktur, sistematis dan “silent action”. Oleh sebab itu pemerintah Indonesia benar-benar menghadapi tantangan serius jika ingin menerapkan hukuman mati koruptor.

Beberapa faktor penghambat penerapan hukuman mati koruptor antara lain, Indonesia belum memiliki dasar hukum yang tegas untuk menjatuhkan hukuman mati bagi koruptor. UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001) hanya mengatur hukuman mati dalam situasi tertentu, seperti korupsi yang dilakukan dalam kondisi bencana atau krisis ekonomi. Akan tetapi implementasinya tidak pernah dilaksanakan.

ELITE POLITIK

Sebagai negara yang menjunjung nilai-nilai Hak Azasi Manusia, pemerintah cenderung berhati-hati dalam menerapkan hukuman mati. Hukuman mati sering dianggap melanggar prinsip HAM dan Indonesia bakal mendapat tekanan dari komunitas internasional serta organisasi HAM.

Masalah lainnya, banyak kasus korupsi melibatkan elit politik dan pejabat tinggi. Hukuman mati dapat memicu konflik politik dan resistensi dari kelompok-kelompok yang memiliki pengaruh kuat yang pada akhirnya melemahkan kebijakan tersebut.

Penghambat lainnya adalah, sistem peradilan di Indonesia masih menghadapi persoalan integritas, seperti suap dan tekanan politik. Jika penegakan hukuman mati dilakukan tanpa reformasi sistem peradilan ada risiko salah vonis atau pelanggaran keadilan.

Beberapa ahli berpendapat bahwa hukuman mati tidak selalu efektif dalam mencegah korupsi. Sebaliknya, upaya penguatan sistem transparansi, reformasi birokrasi dan pemberdayaan lembaga antikorupsi dianggap lebih strategis.

Korupsi seringkali melibatkan jaringan sistemik yang melibatkan banyak pihak. Menghukum mati koruptor tanpa mengatasi akar masalah struktural dapat dianggap sebagai solusi instan yang tidak menyelesaikan inti persoalan.

Jika korupsi diibaratkan pohon, dari akar, batang hingga ranting dan dedaunan sudah terpapar virus korup. Tak ada yang bisa diharapkan selain memotong pohon tersebut kemudian menanam tunas baru. Pada generasi penerus itulah diberikan pendidikan antikorupsi. Mengubah pola pikir anak-anak untuk tidak toleran terhadap korupsi dalam bentuk apapun. ()

Rokimdakas
Wartawan & Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *