KH Syaiful Ulum Nawawi dan Pondok Pesantren Darul Ibadah Al-Baiad, Pandugo, Surabaya (5)
KEMPALAN: Sebagaimana disinggung pada tulisan sebelumnya bahwa sosok muda Syaiful Ulum memiliki semangat belajar yang tinggi, baik secara akademis maupun otodidak — mengantarkannya meraih gelar : Drs., SE., dan MM. Bahkan dari UIPM Amerika Serikat pada tahun 2024 memperoleh gelar akademis kehormatan S3 – Doctor Honoris Causa (DR.HC.). Jadi kalau ditulis lengkap begini : DR. (HC). Drs. KH. Syaiful Ulum Nawawi SE. MM.
Sedangkan secara otodidak, pengalaman empirisnya diraih dengan banyak membaca buku –baik buku-buku keagamaan, filsafat, kesufian, maupun buku ilmu pengetahuan berbasis ekonomi, sosial, budaya, dan politik– adalah bekal untuk masa depannya menjadi orang yang berguna di jalan Alloh SWT.
Tentu saja secara literatif, sosok kyai kharismatik ini, banyak membaca tentang sosok-sosok yang dikaguminya : Bung Karno, KH. Hasyim Asy’ari, dan Gus Dur. Baik buku-buku yang ditulis oleh yang bersangkutan, maupun yang ditulis oleh intelektual lain yang menyangkut tiga tokoh besar tersebut.
“Namun, manakala pada akhirnya saya menjadi ulama, itu bukan tujuan saya. Jika saya menjadi sebagaimana saat ini, adalah semata karena takdir Alloh,” ujarnya mantap dan ramah — tampak jelas karena disusuli senyum.
Rangkaian ke-otodidak-an lainnya, semasa muda sosok tinggi tegap ini adalah seorang aktivis.
Pengalaman empiris otodidak ini menyangkut dengan terminologi “pergerakan”.
“Saat masih remaja saya termasuk aktivis organisasi pemuda,” papar Pak Kyai. “Tenaga dan pengetahuan, saya interaksikan dengan aktivitas kepemudaan, baik yang bersangkut-paut dengan ormas kader keagamaan maupun kegiatan sosial.”
Lebih lanjut dinyatakan beliau bahwa di saat usia muda, organisasi kepemudaan maupun kemahasiswaan mewarnai dalam kehidupan sehari-hari.
“Saya pun secara personal terlibat bergaul dan berteman dengan para pemuda dan mahasiswa — di luar kampus maupun di dalam kampus,” jelasnya.
“Dari ‘titik’ ini dipertemukan Alloh, atas kehendakNya, ada teman mahasiswi yang akhirnya menjadi jodoh saya,” tutur beliau dengan menyertakan senyumnya.
“Saya tidak menolak istilah pacaran. Namun, secara sublimatif, lebih menukik ke dalam nilai-nilai agama dan spiritual: Ta’aruf adalah menjemput takdir Alloh.”
“Pada akhirnya pasangan saya dalam konteks hubungan suami-istri adalah “terminologi” yang urutannya adalah : jodoh, menikah, dan beribadah di jalan Alloh.”
Lantas : “Yang pada akhirnya berikrar berjuang bersama, membangun Pondok Pesantren Darul Ibadah Al-Baiad, sampai sekarang.” (Amang Mawardi – Bersambung).
