KH. Syaiful Ulum Nawawi dan Pondok Pesantren Darul Ibadah Al-Baiad, Pandugo, Surabaya (2)
KEMPALAN : Beruntung saya sudah mengenal sejak lama sosok ramah, humble, blater, dan siap melayani setiap pertanyaan dari santri-santri jamaahnya ini. Matur suwun Pak Kyai.
Rasa terima kasih juga saya sampaikan kepada Mas Suyarso Subardjo kakak kelas dua angkatan di atas saya saat kami menimba ilmu di STM Negeri II Kimia Industri, Surabaya. Beliau yang mengenalkan saya kepada Pak KH. Syaiful Ulum Nawawi, yang lantas saya ikuti kajian-kajian tasawufnya, kendati cuma 5 kali sebagaimana saya kemukakan pada seri ke-1 tulisan ini.
“Saya tidak lupa lho dengan wajah Pak Amang,” ucap beliau membuka percakapan siang itu, disusul dengan senyum ramahnya. “Hanya yang bikin saya agak pangling, dulu panjenengan sedikit kurus ya, sekarang lebih gemukan…,” ucap beliau disusuli lagi dengan senyum ramahnya.
Saya pun membatin, ‘dulu saya 54 kilogram, saat ini 62 kilogram.’
Lantas saya menimpali, “Tapi saya tidak pangling dengan panjenengan, Pak Kyai. Mungkin ingatan diperkuat dengan hadirnya saya di sejumlah pengajian panjenengan, lebih-lebih saat di kediaman Pak Win di Rungkut Harapan, Surabaya. Dari dekat saya bisa melihat wajah dan sosok Pak Kyai,” yang lantas saya lanjutkan, “Apalagi setelah itu disusul dengan dialog interaktif antara santri jamaah dengan panjenengan”.
Pak Susiono dan Pak Khamdi yang duduk di sebelah kanan saya mendengar dengan seksama percakapan KH. Syaiful Ulum Nawawi dengan saya.
Sementara Pak Bambang Wahyudi, dan Mas Mashudi yang menyusulkan kehadirannya, tersenyum menanggapi.
Sesekali Pak Bambang menimpali dengan celetukan menyemangati.
Sebelum wawancara ini, melalui Pak Bambang Wahyudi, saya banyak dibantu dengan jawaban-jawaban tertulis dari Pak KH. Syaiful Ulum Nawawi atas sejumlah pertanyaan saya yang saya sampaikan via Pak Bambang.
Misalnya tentang sejarah berdirinya Pondok Pesantren Darul Ibadah Al-Baiad.
Oleh sebab itu, insyaAllah, saya cukup bekal untuk mewawancarai beliau.
Menurut beliau, secara resmi pondok pesantren ini berdiri pada tahun 2002.
Sebelum tahun itu, aktivitas mengaji sudah ada.
Dan, Majelis Ta’lim Ahad Dluha menjadi embrio lahirnya Pondok Pesantren Darul Ibadah Al-Baiad.
Majelis Ta’lim ini, tulis beliau, dilaksanakan setiap hari Ahad sekitar pukul 09.00 WIB. Oleh karena itu dinamakan Ahad Dluha. Pengajian ini hingga sampai menjelang Dhuhur.
Setiap pertemuan dihadiri kurang lebih 50-an santri mahasiswa dan karyawan.
Pengajian diasuh langsung oleh KH. Syaiful Ulum Nawawi dimana majelis ini sudah ada sekitar tahun 1994-1995.
Adapun sebelum tahun 2002, aktivitas Madrasah Al-Qur’an Pelita Hati Az-Zahro sebagai unit kegiatan santri-santri usia TK dan SD, dimulai dengan santri awal berjumlah kurang lebih 5 orang yang terdiri dari putra-putri KH. Syaiful Ulum Nawawi dengan Ibu Hj. Asmaniyah serta putra-putri tetangga di sekitar pondok.
Kegiatan ini diasuh langsung oleh KH. Syaiful Ulum Nawawi dan Ibu Hj. Asmaniyah. Materi ngaji antara lain belajar membaca Al-Qur’an dan Praktik Sholat Fardlu.
Saat ditanya, berapa jumlah santri saat ini di Pondok Pesantren Darul Ibadah Al-Baiad, Pak Kyai memberi jawaban begini : “Dinamika zaman mencatat naik-turunnya jumlah santri yang mondok di pondok pesantren Darul Ibadah Al-Baiad. Begitu pula jumlah ustadz/ustadzah yang mengajar.”
“Saat ini jumlah santri tercatat ada 90 orang, terbagi dalam beberapa unit kegiatan,” papar beliau lagi. “Sedangkan jumlah asatidz (para pengajar) ada 10 orang,” lanjut ayah 3 orang anak (1 putra dan 2 putri) ini.
Yang menjadikan saya tersenyum dan boleh jadi juga tersanjung, ketika saya membuka wawancara siang itu dengan kalimat begini: “Pak Kyai, ngapunten, mohon maaf, saya ini orang yang tidak pandai…”.
Saat saya hendak melanjutkan kalimat di atas, beliau tersenyum lebar, lantas dengan tangkas bilang begini: ” Ini sudah menjadi semacam aksioma ya…biasanya awal ucapan yang tersusun menjadi kalimat semacam ini, orangnya pandai lho …he-he-he…”
Lantas (dengan segala maaf), ucapan beliau saya potong : “Serius Pak Kyai, saya bukan orang yang pandai,” kata saya. “Karena saya tidak pandai, maka setiap aktivitas yang saya lakukan, seringkali dengan sungguh-sungguh…,” kata saya lagi.
Saat baru saja saya menyelesaikan kalimat susulan itu, tersadarlah saya bahwa itu bermuatan riya’. Sombong.
Ya, Alloh…ampunilah hambamu ini.
Sebagai salah satu ulama besar yang banyak menularkan makna ketasawufan, saya yakin Pak Kyai paham betul gesture “kesombongan” saya itu. Tapi saya pun yakin, karena beliau sosok yang bijak, maka yang barusan saya ucapkan, akan ditanggapi dengan bijak. Dan itu terpancar dari gesture beliau: Tetap tenang, ramah, dan senyum yang tak pernah tertinggal. (Amang Mawardi – Bersambung).
