Negeri Koruptor. Ketika 300 Triliun Hanya Seharga 6,5 Tahun

waktu baca 2 menit
Protes vonis ringan Harvey Moeis (*)

Ketika rakyat bersiap menyambut tahun baru, sebuah berita menggemparkan mengguncang jiwa dan raga mereka. Harvey Moeis, sang maestro korupsi dengan “prestasi” merampok 300 triliun rupiah dari PT Timah hanya divonis 6,5 tahun penjara. Dalam hitungan kasar, itu berarti hanya sekitar 50 juta rupiah per detik untuk menikmati “menginap” di hotel prodeo. Hakim Ketua, Eko Aryanto, dengan gagah berani menyebut hukuman tersebut sudah mempertimbangkan “sikap sopan” Harvey di persidangan. Rupanya, di negeri ini, sopan santun punya harga jauh lebih mahal daripada keadilan.

PAHLAWAN KELUARGA

Bayangkan betapa cerah masa depan keluarga Harvey. Dengan 300 triliun, dari sepupu hingga sepuluh kali lipat keponakan bisa hidup nyaman tanpa khawatir tentang nasib. Apa perlu kerja keras kalau satu orang saja cukup berkorban untuk menjadi pahlawan keluarga? Mungkin nanti setelah bebas Harvey bisa “madhep mandita” atau menyelenggarakan umrah akbar untuk satu kampung dan semua dosanya dihapus. Lucu? Tidak. Tragis.

Dalam dunia alternatif para hakim, rupanya ada standar baru untuk keadilan, yaitu sopan santun di ruang sidang. Harvey juga “punya tanggungan keluarga” dan “belum pernah dihukum sebelumnya.” Jadi, selama belum pernah dihukum, Anda bisa mencuri 300 triliun rupiah tanpa takut dihukum berat. Hebat bukan? Betul kata orang, negeri ini lucunya tiada lawan.

GERTAKAN 50 TAHUN

Tak ketinggalan Presiden Prabowo ikut mengkritik ringan tangan hakim. “Vonisnya ya kira-kira 50 tahun gitu lah,” ujarnya dalam nada tegas. Tapi sayangnya, ini hanya gertak sambal politik tanpa daya eksekusi. Rakyat butuh tindakan nyata bukan hanya retorika yang hilang bersama angin Musrenbang.

KEADILAN PALSU

Jaksa akhirnya mengajukan banding. Tapi publik tau, upaya itu seperti menabuh genderang perang dengan pedang tumpul. Apa banding ini benar-benar demi keadilan atau hanya sekadar formalitas menyenangkan rakyat?

Vonis ini bukan hanya soal Harvey atau Eko Aryanto. Ini adalah preseden buruk bagi sistem hukum di Indonesia. Jika 300 triliun hanya dihargai 6,5 tahun, berapa harga korupsi 1 triliun? Atau 1 miliar? Rakyat kini berani bertanya, apakah hukum masih ada atau hanya ilusi di negeri yang menjadikan korupsi sebagai budaya?

Selamat datang di Republik Koruptor, tempat di mana rasa keadilan dihargai lebih murah daripada nasi bungkus.

Rokimdakas
Wartawan & Penulis
30 Desember 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *