Kenaikan PPN 12%: Kebijakan yang Mengorbankan Banyak untuk Sedikit Kebahagiaan?
Oleh: Sultoni Fikri (Peneliti di Nusantara Center for Social Research dan Dosen di Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya)
KEMPALAN – Kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada Januari 2025, jika ditelaah melalui teori utilitarianisme, akan memunculkan pertanyaan: apakah keputusan ini, dalam seluruh dampaknya yang luas dan kompleks, benar-benar dapat dikatakan mencapai “kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbesar”?
Teori utilitarianisme, sebagaimana dirumuskan oleh Jeremy Bentham dan diperhalus oleh John Stuart Mill, menuntut bahwa hukum dan kebijakan harus menjadi sarana untuk memaksimalkan kesejahteraan bersama, di mana setiap individu yang terkena dampaknya dihitung sebagai unit moral yang setara. Kenaikan tarif PPN, keseimbangan antara manfaat bersama dan penderitaan individual yang timbul menjadi titik krusial. Kebijakan ini, sebagaimana ditekankan, bertujuan menjaga stabilitas fiskal negara dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Secara prinsip, tujuan ini mungkin tampak selaras dengan ideal utilitarian untuk menjamin kesejahteraan masyarakat secara makro. Namun, jika ditelaah lebih mendalam, utilitarianisme tidak sekadar menghitung manfaat kolektif secara agregat, melainkan mempertimbangkan distribusi manfaat dan beban tersebut. Maka, beban yang tidak proporsional pada kelompok rentan menjadi argumen yang melemahkan validitas utilitarian dari kebijakan ini.
Tarif PPN, sebagai pajak konsumsi, memiliki implikasi langsung terhadap daya beli masyarakat, terutama bagi golongan menengah ke bawah, yang proporsi pendapatannya lebih banyak digunakan untuk kebutuhan konsumsi. Utilitarian yang sejati menolak segala bentuk kebijakan yang membebankan penderitaan besar kepada kelompok rentan demi keuntungan kecil yang dinikmati oleh kelompok lainnya, sekalipun kelompok tersebut merupakan mayoritas.
Ketika harga barang dan jasa meningkat akibat kenaikan tarif ini, terutama barang-barang yang tidak masuk dalam kategori bebas pajak tetapi tetap esensial, penderitaan yang dialami kelompok ini menjadi bukti konkret dari ketidakadilan distribusi kebahagiaan. Selain itu, utilitarianisme tidak hanya mengevaluasi dampak langsung, tetapi memperhitungkan dampak jangka panjang pada struktur sosial dan kesejahteraan umum. Melemahnya daya beli masyarakat, khususnya perekonomian yang rapuh pasca-pandemi, dapat memicu serangkaian efek negatif yang merembet: penurunan konsumsi domestik, melemahnya produktivitas usaha, hingga berkurangnya peluang kerja. Rantai sebab-akibat ini, alih-alih menciptakan kebahagiaan bersama, justru memperbesar ketimpangan sosial dan ekonomi yang pada akhirnya merugikan kebanyakan orang.
Berdasarkan utilitarianisme, tuntutan terhadap eksplorasi alternatif yang lebih adil dalam mencapai tujuan kebijakan publik. Langkah-langkah seperti memperbaiki administrasi perpajakan, menutup celah penghindaran pajak, dan memperluas basis pajak menawarkan jalan yang lebih seimbang, di mana manfaat dapat diperoleh tanpa membebankan penderitaan yang besar pada kelompok tertentu. Pilihan ini, yang tidak menambah kesulitan bagi masyarakat rentan, lebih selaras dengan prinsip-prinsip moral yang diusung oleh teori utilitarianisme. Lebih jauh, argumen pemerintah tentang menyesuaikan tarif dengan standar internasional juga patut dipertanyakan dari sudut pandang utilitarian.
Negara-negara maju yang sering dijadikan pembanding memiliki sistem perlindungan sosial yang kuat untuk mengimbangi dampak beban pajak, sehingga masyarakatnya tetap dapat menikmati kesejahteraan meskipun tarif pajak tinggi. Indonesia, dengan tantangan dalam menyediakan perlindungan sosial yang memadai, berada dalam posisi yang jauh berbeda. Kesenjangan ini memperlemah klaim bahwa kebijakan ini menghasilkan kebahagiaan terbesar.
Pada akhirnya, kebijakan kenaikan PPN ini menunjukkan cacat fundamental dalam kalkulasi moralnya. Alih-alih menghasilkan kebahagiaan terbesar, kebijakan ini tampaknya memperbesar penderitaan kelompok rentan tanpa jaminan bahwa manfaat yang dijanjikan akan terdistribusi secara adil. Filosofi utilitarianisme, dalam interpretasi sederhananya, menuntut bahwa setiap kebijakan tidak hanya bertujuan mencapai kesejahteraan bersama, tetapi melindungi individu dari penderitaan yang tidak perlu. Kebijakan kenaikan PPN ini tampaknya gagal memenuhi prinsip dasar “kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbesar.”
Beban sosial yang diciptakan lebih besar dibandingkan manfaat yang diharapkan, sementara alternatif kebijakan yang lebih adil dan minim dampak negatif belum sepenuhnya dieksplorasi. Kebijakan ini membutuhkan evaluasi ulang untuk memastikan bahwa benar-benar melayani kesejahteraan bersama, bukan hanya keuntungan fiskal jangka pendek. (*)