Citra Pers Rusak Akibat Ulah Wartawan
KEMPALAN: Teman-teman yang dulu tumbuh bersama semasa muda, tidak sedikit diantaranya yang perkembangannya menggembirakan. Di era 1980an, bersama Abror, kami lahir di bangku yang sama, dia tumbuh berkembang sebagai wartawan Jawa Pos sedangkan saya di Surabaya Post.
Berikut dialog Rokimdakas bersama Dr. Dhimam Abror Djuraid, Ketua Dewan Pakar PWI Pusat periode 2024-2029.
Kim : Keberadaan media sekarang terkesan overlapping, tumpang tindih. Jika pada masa orde baru jumlahnya sekitar 289 media, pasca reformasi ambyar jadi 60.000 dan tidak sampai 2.000 media yang sudah diverfikasi oleh Dewan Pers. Bagaimana formulanya untuk mengatasi?
Abror : Belum ada formula yang manjur untuk mengatasi semua kasus.
Kim : Lalu masyarakat pers menyerah begitu saja? Apa tidak ada kemungkinan masyarakat pers bersama pemerintah melakukan regulasi yang lebih ketat?
Abror : Pemerintah tidak boleh melakukan regulasi terhadap pers karena bertentangan dengan kebebasan pendapat yang dijamin Undang Undang Dasar.
Kim : Di atas kebebasan adalah kepentingan umum. Kalau hanya untuk menjunjung kebebasan berpendapat tapi merusak nilai-nilai sosial, apa artinya kebebasan?
Abror : Aku setuju.
Kim : Apa fenomena seperti ini juga berlangsung di negara lain.
Abror : Memang, fenomena jurnalisme yang ada juga terjadi di seluruh dunia. Ada istilah ‘yellow journalism’ atau jurnalisme kuning yang dipelopori Joseph Pulitzer. Gaya penulisannya lebih menonjolkan sensasional daripada fakta guna menarik perhatian dan keuntungan, sehingga seringkali kurang etis dan tidak memiliki standar etika jurnalistik.
Berkat jurnalisme kuning Joseph Pulitzer menjadi kaya raya tapi di akhir hayatnya dia insyaf kemudian menghibahkan seluruh kekayaannya untuk mendukung pertumbuhan jurnalisme berkualitas, sampai sekarang.
Kim : Pers yang dulu terhormat kenapa sekarang bisa jadi begini?
Abror : Yang terjadi sekarang itu jawaban atas tuntutan masyarakat pers pada pemerintah untuk tidak mengekang kebebasan pers. Tuntutan itu dikabulkan kemudian masyarakat pers membentuk Dewan Pers yang tugasnya mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik.
Kedua, fenomena ini akibat dari mudahnya persyaratan membuat media. Cukup mengurus akte notaris sama surat keterangan dari Kemenkumham, sudah. Penerbitan atau penayangan media sudah bisa dilakukan. Sekarang ini lebih sulit mengelola pembuatan tempe dibanding menerbitkan media.
Kim : Ada kabar akan ada even penting membahas jurnalistik, kapan?
Abror : Memang pada bulan Nopember 2024 di Bali diselenggarakan pembahasan tentang dinamika jurnalistik kontemporer Indonesia.
Kim : Awakmu dadi peserta atau pembicara?
Abror : Aku diminta untuk jadi pembicara dalam kapasitas Dewan Pakar PWI.
Kim : Tema apa sing mbok usung?
Abror : Saya berangkat dari membaca kenyataan dunia pers masa kini. Begitu banyak media yang belum dikelola dengan baik, tanpa standar manajemen yang benar, wartawannya belum memiliki kompetensi juga belum mematuhi kode etik jurnalistik.
Kim : Skema apa sing mbok tawarkan untuk mengatasi kondisi sekarang?
Abror : Aku menawarkan dua pilihan, merger atau ditutup. Untuk media yang tidak memenuhi persyaratan menejemen dan kompetensi bisa menduplikasi skema kementrian pendidikan, yaitu perusahaan media yang tidak dikelola dengan benar didorong melakukan merger dengan perusahaan yang sehat.
Tawaran kedua, ditutup. Media yang tidak memenuhi syarat untuk merger juga tidak mampu memenuhi ketentuan Dewan Pers, ditutup saja.
Kim : Rusaknya suatu bangsa justru dilakukan oleh bangsanya sendiri. Begitu juga rusaknya citra pers justru akibat ulah jurnalis?
Abror : Kasihan media yang dikelola secara profesional akhirnya terkena getah akibat ulah wartawan yang tidak baik.
Kim : Sejauhmana otoritas Dewan Pers untuk melakukan penutupan pada media yang tidak dikelolah dengan baik?
Abror : Itulah dilematis. Tidak ada otoritas Dewan Pers untuk menutup perusahaan media.
Kim : Apa berhenti sampai di situ?
Abror : Yang bisa dilakukan Dewan Pers adalah memberikan status pada media “terverifikasi”. Selanjutnya seleksi alam yang akan menentukan.
Seleksi alam dimaksud adalah, publik harus berani mengoreksi legalitas wartawan? Dengan begitu lambat laun akan meruntuhkan kredibilitas wartawan yang tidak memenuhi syarat profesionalitas. Kalangan instansi yang biasa memberikan donasi pemuatan iklan juga harus berani menetapkan syarat sudah diverifikasi Dewan Pers. Dengan begitu medianya akan berhenti, bubar dengan sendirinya karena tidak ada dukungan dana.
Kim : Apa pihak aparat atau instansi berani setegas itu?
Abror : Jika mereka lurus-lurus saja ngapain takut. Orang takut bersikap karena diam-diam korupsi.
Kim : Itu sih nyopet duwite perampok?
Wuahahahahhhh….
Rokimdakas
Wartawan & Penulis
17 Oktober 2024