Kotak Kosong Bukti Kegagalan Partai Politik
Oleh: Bambang Eko Meiyanto (Jurnalis, alumnus Stikosa-AWS)
SURABAYA-KEMPALAN: Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah momentum penting dalam sistem demokrasi Indonesia, di mana rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpin daerah mereka secara langsung. Namun, fenomena kotak kosong yang muncul dalam beberapa Pilkada belakangan ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang peran partai politik dalam proses demokrasi, terutama dalam hal pencetakan kader-kader pemimpin masa depan.
Kehadiran kotak kosong dianggap sebagai cerminan kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsi utamanya, yaitu mencetak dan menyiapkan kader-kader pemimpin yang berkualitas untuk rakyat.
Salah satu fungsi utama partai politik dalam sistem demokrasi adalah sebagai wadah pengkaderan pemimpin. Partai politik diharapkan mampu mencetak pemimpin-pemimpin yang memiliki integritas, kompetensi, dan komitmen untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
Dalam konteks ini, partai politik memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa setiap calon yang mereka usung dalam Pilkada adalah individu yang layak memimpin, bukan hanya berdasarkan popularitas atau kekuatan finansial, tetapi juga kapasitas kepemimpinan dan visi untuk membangun daerah.
Selain itu, partai politik di Indonesia mendapatkan sumber pendanaan dari anggaran negara yang notabene berasal dari uang rakyat. Artinya, rakyat secara tidak langsung turut membiayai operasional dan kegiatan partai politik, termasuk pengkaderan.
Namun, jika pada kenyataannya partai politik gagal menghasilkan calon pemimpin yang kompeten sehingga menyebabkan munculnya kotak kosong dalam Pilkada, maka ini adalah tanda adanya ketidakseimbangan antara kewajiban partai politik dan hasil yang diperoleh rakyat dari dana yang mereka keluarkan.
Fenomena kotak kosong adalah sebuah bukti partai-partai politik gagal atau tidak mau mengajukan kandidat alternatif yang dapat bersaing. Keberadaan kotak kosong tentu bukan hal yang diharapkan dalam sistem demokrasi yang sehat, karena demokrasi seharusnya memberikan pilihan yang beragam kepada rakyat.
Kehadiran kotak kosong ini juga mengindikasikan adanya masalah serius dalam internal partai politik, termasuk minimnya kader yang mumpuni untuk diusung dalam Pilkada.
Partai politik seharusnya menjadi garda depan dalam menjamin tersedianya calon pemimpin yang memiliki visi dan misi jelas untuk membangun daerah.
Ketika hanya ada satu pasangan calon yang maju, hal ini menunjukkan bahwa partai-partai politik mungkin tidak serius dalam menyiapkan kader-kader yang layak, atau bisa jadi partai-partai hanya berfokus pada kepentingan pragmatis tanpa memperhatikan kualitas pemimpin yang dihasilkan.
Partai politik sering kali lebih tertarik pada kekuasaan daripada menjalankan fungsi pengkaderan yang sesungguhnya. Mereka mungkin lebih memilih untuk mengusung kandidat yang memiliki potensi finansial atau popularitas tinggi, daripada kader yang mungkin lebih kompeten tetapi kurang populer.
Ketika partai gagal menjalankan fungsi pengkaderan ini, maka kualitas pemimpin yang muncul juga menjadi dipertanyakan.
Pengkaderan yang lemah ini jelas berbahaya bagi masa depan demokrasi Indonesia. Jika partai politik terus-menerus gagal menyiapkan kader pemimpin yang berkualitas, rakyat akan kehilangan kepercayaan terhadap proses demokrasi itu sendiri.
Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengarah pada krisis kepemimpinan di berbagai level pemerintahan, karena tidak ada regenerasi yang kuat dan berkelanjutan.
Penting untuk diingat bahwa partai politik di Indonesia dibiayai oleh uang rakyat melalui anggaran negara. Artinya, setiap rakyat memiliki hak untuk menuntut akuntabilitas dan transparansi dari partai politik dalam menjalankan peran dan fungsinya, termasuk dalam hal pengkaderan. Jika partai politik tidak mampu menggunakan dana tersebut dengan baik untuk mencetak kader yang berkualitas, maka ada kegagalan besar dalam sistem ini.
Rakyat berhak mendapatkan pemimpin yang mampu memperjuangkan kepentingan mereka, bukan hanya pemimpin yang dipilih secara pragmatis oleh partai politik untuk memenangkan pemilu. Oleh karena itu, partai politik harus melakukan evaluasi serius terhadap fungsi pengkaderannya. Jika tidak, fenomena kotak kosong dalam Pilkada akan terus berulang, dan demokrasi Indonesia akan terus berada dalam ancaman kegagalan. (Izzat)
